PERANAN TEKNOLOGI PENANGANAN DAN
PENGOLAHAN
Dalam Peningkatan PRODUKSI, Mutu dan Keamanan Susu Sapi Segar DI INDONESIA
Abubakar
Balai Besar
Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
Email: abu.028@gmail.com
ABSTRAK
Dampak dari peningkatan
kesejahteraan, pendapatan, pendidikan dan ketaqwaan masyarakat, maka kebutuhan
akan pangan asal hewan termasuk susu yang berkualitas, bergizi, aman dan halal
dikonsumsi akan terus menjadi tuntutan.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan susu tersebut diatas, maka diperlukan
teknologi penanganan dan pengolahan. Booming permintaan susu dalam negeri terjadi, akibat peningkatan harga susu
dunia yang mencapai US $ 4000 per ton. Hal ini dipicu
oleh kebijakan Uni Eropa dan beberapa negara penghasil susu yang mengurangi
subsidi bagi usaha peternakan sapi perah, sehingga tidak ada insentif bagi
peternak negara asing untuk mengembangkan usahanya. Kondisi ini
menguntungkan bagi peternak sapi perah Indonesia karena akan terjadi
peluang untuk meningkatkan posisi tawar kepada buyer susu dan industri pengolahan susu. Usaha peningkatan
produksi susu sapi dalam negeri terus dilakukan dan selalu diikuti dengan penerapan
teknologi pascapanen tepat guna, hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai
tambah susu, maupun dalam rangka meningkatkan pertumbuhan agroindustri
persusuan di daerah pedesaan. Sampai saat ini produksi hasil ternak terutama
susu dirasakan pemanfaatannya belum optimal oleh karena sifatnya mudah rusak,
sehingga masih terdapat susu sapi yang dibuang, beragamnya mutu produk, keamanannya
belum terjamin (TPC masih tinggi), belum diterapkannya HACCP, kurang berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, serta lemahnya sistem pemasaran. Untuk itu
diperlukan teknologi penanganan dan pengolahan, sistem pengendalian
yang intensif berupa pengamanan sejak pra-produksi, hingga pemasaran (preharvest food safety program), pengendalian
infrastruktur dan penerapan UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen dan Sk Menteri
tentang produksi dan keamanan susu sapi.
Kata kunci: Mutu susu sapi, penanganan dan pengolahan
ABSTRACT. Abubakar.
2011.The role of handling and processing technology improvement in production,
quality and safety of fresh milk cows in Indonesia. The impact of increased welfare, income, education and faith communities,
the need for food of animal origin including milk quality, nutritious, safe and
lawful consumption will continue to be demand. In order to meet the milk
requirement of the above, it would require the handling and processing
technologies. Booming domestic demand for milk is the case, due to an increase
in world dairy prices reached US. $ 4,000 per ton. This is triggered by the
policy of the European Union and some milk-producing countries that reduce
subsidies for dairy farm businesses, so there is no incentive for farmers of
foreign countries to develop their business. This condition is favorable for
dairy farmers because it will happen Indonesia opportunity to improve their
bargaining position to the buyer of milk and dairy processing industries.
Efforts to increase domestic production of dairy cows continue to be done and
is always followed by application of appropriate post-harvest technology, this
needs to be done to improve the value-added milk, and in order to enhance the
growth of dairy agro-industry in rural areas. Until now the production of
livestock products especially milk has not been optimal utilization perceived
by their nature are easily damaged, so there is still a cow's milk is removed,
the diversity of product quality, safety is not guaranteed (TPC still high),
yet the implementation of HACCP, use of less powerful ways of handling and
processing, and poor marketing system. It required the handling and processing
technologies, intensive form of control system security since the
pre-production, to marketing (preharvest food safety program), control
infrastructure and the application of the Food Act, Consumer Protection Law and
Sk Minister of cow's milk production and security.
Key words: Quality of cow's milk, handling and processing
PENDAHULUAN
Pemasok susu terbesar di Indonesia
berasal dari pulau Jawa, dari 95 koperasi susu di pulau Jawa, 45 berada di Jawa
Timur, 25 di Jawa Tengah dan 25 di Jawa Barat dengan produksi 1-1,2 juta liter/hari.
Jumlah ini akan bertambah seiring dengan kenaikan harga susu, karena adanya
kesadaran para peternak dan pengusaha untuk meningkatkan jumlah sapi perah
sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Sedangkan Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Riau, Lampung, Kalimantan Selatan, Bali, dan
Gorontalo merupakan beberapa daerah selain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur yang dijadikan daerah pengembangan sentra produksi susu. “Bahkan ada
beberapa daerah seperti Kerinci bekerjasama dengan Kanada dalam hal pengadaan
sapi perah,” Kerinci bersedia membuka lahan sekitar 5000 hektar untuk penanaman
tanaman kentang, dengan kompensasi 2 ekor sapi perah untuk setiap hektar lahan
yang ditanami. Dalam hal ini, otonomi daerah diharapkan memberikan pengaruh yang
baik bagi peternak dalam mengambil keputusan yang tepat bagi usaha ternaknya
(Dirjen Peternakan, 2009). Pengembangan sentra produksi baru di luar Jawa,
diharapkan dapat meningkatkan populasi sapi perah di Indonesia. Pelaksanaan
program yang telah ditetapkan pemerintah secara konsisten, diperkirakan dapat
meningkatkan produksi susu domestik hingga 40% di tahun 2010, sedangkan untuk
mencukupi kebutuhan susu nasional hingga 100% diperlukan populasi sapi sekitar
4 kali dari populasi yang ada sekarang (377.772 ekor), yaitu sekitar 2 juta
ekor sapi. Pengembangan sapi yang direncanakan tersebut juga dirancang untuk
dapat meningkatkan konsumsi susu 50 ml/hari/kapita atau sekitar 25% dari
konsumsi ideal 200 ml/hari/kapita mulai Tahun 2008.
Pada tahun 2010 populasi penduduk akan
mencapai 240 juta (Pertumbuhan 1,49% /tahun), 91,2 juta diantaranya adalah
generasi muda usia wajib sekolah (<19tahun 1="" 4="" gelas="" hari="" idealnya="" juta="" konsumsi="" memerlukan="" sementara="" strong="" susu="" tahun="" ton="">harga susu19tahun>
Untuk meningkatkan mutu dan keamanan
susu segar dapat diupayakan melalui penerapan teknologi pascapanen dan
penetapan CCP (Critical Control Point) pada tahap pemerahan, penanganan,
pengolahan, pengemasan, penyimpanan dingin dan transportasi. Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point) pada keseluruhan tahap proses produksi merupakan usaha perbaikan manajemen
penanganan susu segar, bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk pertanian
dan menjamin keamanan pangan (SNI, 2002).
KONDISI, MASALAH DAN
ARAH PENGEMBANGAN
MUTU DAN KEAMANAN SUSU
SAPI SEGAR
Kondisi
dan Masalah
Tujuan peningkatan mutu susu adalah
mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan susu melalui
perlakuan dan teknologi yang bertitik tolak pada penyebab kerusakan. Indikator
yang digunakan adalah standar mutu pada proses produksi, pelayanan hasil
produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum (Agriculture
Canada, 1993). Menurut Buckle et al. (1987), kerusakan
susu akibat aktivitas mikroorganisme antara lain: (1) pengasaman dan
penggumpalan karena fermentasi laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan
turunnya pH dan terjadinya penggumpalan kasein; (2) berlendir seperti tali
karena terjadinya pengentalan dan pembentukan lendir akibat pengeluaran bahan
seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri; dan (3) penggumpalan
susu yang timbul tanpa penurunan pH disebabkan oleh Bacillus cereus yang menghasilkan enzim yang mencerna lapisan tipis
fosfolipid di sekitar butir-butir itu menyatu membentuk suatu gumpalan yang timbul
ke permukaan susu (Handerson, 1981). Susu
mengandung bermacam-macam unsur dan zat makanan yang juga diperlukan bagi
pertumbuhan bakteri. Susu dalam ambing ternak yang sehat tak bebas hama dan
mungkin mengandung sampai 500 sel/ml. Jika ambing tersebut sakit maka jumlahnya dapat meningkat lebih besar dari
20.000 sel/ml. Selain mikroorganisme yang biasanya ada dalam susu dan ambing
ada juga pencemaran yang ada dalam wadah saat pemerahan. Jenis-jenis micrococcus dan Corybacterium sering terdapat dalam susu yang baru diperah.
Pencemaran juga timbul dari sapi, alat pemerahan yang kurang bersih dan
tempat-tempat penyimpanan (Sri
Usmiati dan Abubakar, 2007).
Setelah susu diperah, kandungan mikro organisme pada susu merupakan fungsi dari
umur susu yang menentukan tingkat perkembangan flora alam, penanganan susu yang
menentukan jenis mikroorganisme yang terbawa dan suhu penyimpanan yang
menentukan kecepatan perkembangbiakan semua jenis mikroorganisme.
Sebagian besar susu dihasilkan dari
peternakan sapi perah rakyat dengan kepemilikan beberapa ekor sampai belasan
ekor, dengan modal yang rendah mengakibatkan kandang, peralatan pemerahan,
ketersediaan air sangat terbatas mengakibatkan rendahnya mutu susu yang
dihasilkan terutama TPC tinggi sehingga test alkohol positif (Abubakar, 2009). Hal ini yang memicu susu dibuang karena penolakan susu
oleh IPS. Konsumsi susu segar paling besar adalah IPS, sehingga
persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh IPS harus yang di sepakati antara
peternak melalui koperasi dan IPS. Adanya
sikap ”dengan cara sederhana dan seadanya seperti yang dilakukan setiap hari
saja susu yang dihasilkan dibeli oleh koperasi (laku dijual)”, anggapan
salah tersebut perlu diubah, diperbaiki dan disadarkan kembali mengenai makna
keamanan pangan yang akan berimbas terhadap peningkatan pendapatan peternak
(bonus harga atas mutu dan keamanan susu yang baik).
Kesehatan
ternak dan TPC pada susu
Menurut Dirjenak bahwa 80% sapi laktasi
Indonesia menderita mastitis subklinis. Mastitis pada ambing merupakan masalah
utama kesehatan ternak yang dapat menurunkan produksi susu sebesar 20%. Hal ini
sangat terkait dengan kebersihan kandang dan peralatan yang digunakan saat
pemerahan sangat menentukan jumlah total bakteri susu yang dihasilkan. Sampai
saat ini fasilitas, infrastruktur dan penerapan hygiene sanitasi penanganan susu segar pada tingkat TPS (tempat
penampungan susu) yang masih terbatas dan belum efektif, sekitar 30% susu segar
dalam negeri memiliki TPC (Total Plate
Count) lebih dari standar yang berlaku di Indonesia (SNI, harus kurang dari
1 Juta CFU/ml). Residu antibiotik yang terdapat pada susu juga mulai
diperhatikan oleh pemerintah, untuk itu peningkatan pembinaan teknis dan
pelatihan-pelatihan, khususnya dalam penerapan hygiene sanitasi saat pemerahan
(GFP), sebagai upaya untuk menjamin keamanan dan mutu susu segar baik oleh
Dinas Peternakan Daerah maupun oleh Direktorat Jenderal Peternakan perlu
dilakukan. GKSI sendiri untuk menjamin kualitas susu di tingkat peternak,
dilakukan Quality Control terhadap
pemberian pakan, sanitasi kandang, kesehatan sapi dan peternak serta lingkungan
oleh penyuluh teknis di tiap-tiap koperasi primer. Sedangkan ditingkat pusat,
dilakukan negosiasi secara kontinu terhadap pemerintah dalam pemberantasan
mastitis klinis, sub klinis serta penyakit keguguran (Brucellosis). ”Dengan peningkatan lahan dan pemberantasan mastitis,
kenaikan produksi susu akan meningkat 10% tanpa harus menambah jumlah sapi”
(Food Review, 2009).
Arah Pengembangan Keamanan pangan dan Standar mutu susu
Dalam upaya meningkatkan ketahanan
pangan selain memperhatikan kuantitas, kualitas susu perlu mendapat perhatian
termasuk faktor keamanan produk yang bersangkutan, antara lain bebas dari
cemaran kimia, fisik dan mikrobiologis. Keamanan pangan susu adalah interaksi antara status gizi, toksisitas
mikrobiologis dan kimiawi yang saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi. Kualitas susu memperhatikan asas Aman, Sehat, Utuh dan
Halal (ASUH). Keamanan pangan susu ditentukan pada saat-saat panen, pemerahan
susu, pengolahan produk menjadi bahan pangan, serta ketika melalui rantai
pemasaran. Suatu konsep jaminan mutu yang khusus diterapkan untuk pangan
dikenal dengan Hazard Analysis Critical
Control Points (HACCP) yaitu sistem pengawasan mutu industri pangan yang
menjamin keamanan pangan dan mengukur bahaya atau resiko yang mungkin timbul,
serta menetapkan pengawasan tertentu dalam usaha pengendalian mutu pada seluruh
rantai produksi pangan (BSN, 2002).
UU Pangan No.7 Th 1996 telah ditetapkan dan kemudian di
jabarkan dalam PP No. 28 Th 2004. Tiga unsur penting yang digunakan dalam
pembuatan UU tersebut adalah: 1) pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, 2)
pangan yang aman, bermutu, bergizi dan beragam merupakan prasyarat utama untuk
kesehatan, dan 3) pangan sebagai komoditas dagang memerlukan sistem perdagangan
yang jujur dan bertanggung jawab. Kesadaran terhadap mutu harus dimulai pada
tahap sangat awal yaitu gagasan konsep produk setelah persyaratan-persyaratan
konsumen di definisikan (Suratmono,
2005). Persyaratan mutu susu berdasarkan SNI dan Direktorat Jenderal
Peternakan atas nilai TPC dan cemaran mikrobiologis patogen tertera pada Tabel
1.
Tabel
1. Syarat mutu susu
Komponen
|
Syarata
|
Syaratb
|
Cemaran mikroba, maksimum:
Total mikroba
Salmonella
E.coli
(patogen)
Caliform
Streptococcus Group B
Staphylococcus aureus
|
3
juta per cc
-
-
-
-
|
1 juta CFU/ml
Negatif
Negatif
20/ml
Negatif
1 x 102/ml
|
Kuman patogen dan benda asing
|
Negatif
|
Negatif
|
Jumlah sel radang
maksimum
|
-
|
4 x 105/ml
|
aDirektorat Jenderal Peternakan No. 17/KPTS/PJP/DEPTAN/93
bSNI 01-3141-1998
Khusus untuk mutu dan
keamanan pangan, WTO telah mengembangkan dua kesepakatan yaitu SPS (Sanitary and Phytosanitary) untuk
keamanan pangan dan TBT (Technical Barier
To Trade) untuk mutu pangan. Kedua kesepakatan tersebut dikembangkan antara
lain melalui ISO-9000, ISO-2000, HACCP,
GMP, dan TQM dalam pembinaan mutu dan keamanan pangan (Jablonski, 1991).
Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan
Indikator mutu susu sapi segar terkait dengan: a) mutu
fisik, yaitu warna, penampakan, kesegaran, konsistensi dll, b) mutu kimia, yaitu kandungan gizi, aroma,
rasa, bebas cemaran logam berat; c) mutu biologi, yaitu bebas dari kontaminasi
mikroba patogen yang membahayakan kesehatan.
Tujuan peningkatan mutu susu adalah
mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan pada susu melalui perlakuan dan teknologi yang
bertitik tolak pada penyebab kerusakan. Indikator yang di gunakan adalah
standar mutu pada proses produksi, pelayanan hasil produksi dan jasa pada
tingkat biaya yang efektif dan optimum (Agriculture Canada, 1993). Jaminan mutu
merupakan kegiatan yang terus menerus dilakukan agar fungsi mutu dapat dilakukan
dengan baik untuk membangun kepercayaan konsumen (Juran, 1989). Jaminan mutu
didasarkan pada aspek tangibles
(hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability
(keandalan), responsiveness
(tanggap), assurancy (rasa aman dan
percaya diri) dan emphaty (keramah
tamahan) (NACMF, 1992).
Menurut Ishikawa (1990) jaminan mutu
merupakan suatu jaminan bahwa produk akan dibeli konsumen dengan penuh ke
percayaan dan digunakan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dengan penuh
keyakinan dan kepuasan. Tiga langkah utama dalam peningkatan mutu yaitu,
menetapkan standar, menilai kesesuaian atau kinerja operasi (mengukur dan
membandingkan dengan standar) dan melakukan tindakan koreksi bila
diperlukan.
Pengembangan sistem mutu dan
keamanan pangan
DALAM INDUSTRI SUSU SAPI
Sistem Hazard
Analysis and Critical Control Point (HACCP)
Tuntutan dan kepedulian konsumen terhadap
mutu dan keamanan pangan serta kesehatan, mendorong terbitnya sistem HACCP. HACCP cukup penting dalam mengantisipasi liberalisasi perdagangan,
persaingan harga dan tuntutan kualitas yang semakin disadari oleh masyarakat
konsumen. Pada tahun 1993, Codex menetapkan
HACCP sebagai a food safety management tools
(Stevenson and Bernard, 1995).
HACCP adalah suatu piranti untuk menilai
suatu bahaya spesifik dan menetapkan sistem pengendalian yang di fokuskan pada
pencegahan daripada pengujian produk akhir.
HACCP pada industri persusuan adalah karena bahan-bahan yang digunakan
(baik bahan baku maupun bahan penolong) selama proses produksi memiliki peluang
terjadinya pencemaran yang dapat membahayakan konsumen. Pencemaran ini dapat
berupa pencemaran fisik (dari pekerja, sapi dan lingkungan misalnya logam,
kaca, pasir, bulu/rambut), kimia (bahan tambahan, fungisida, insektisida,
pestisida, migrasi komponen plastik, logam beracun) maupun mikrobiologis
(bakteri, fungi, protozoa, cacing, ganggang).
Sistem HACCP sesuai dengan Codex terdiri dari tujuh prinsip, yaitu:
(1) mengidentifikasi semua hazard dan
hazard analysis pada rantai pangan
dan menentukan tindakan pencegahan, (2) menetapkan Critical Control Point (CCP),
(3) menetapkan kriteria yang menunjukkan pengawasan pada CCP, (4) menetapkan prosedur untuk memonitor setiap CCP, (5) menetapkan tindakan apabila kriteria yang ditetapkan untuk
mengawasi CCP tidak sebagai mana
mestinya, (6) verifikasi menggunakan
informasi pendukung dan pengujian untuk meyakinkan bahwa HACCP dapat dilaksanakan dan (7) menetapkan cara pencatatan dan
dokumentasi (Bauman, 1990).
Dalam proses produksi selalu ada tindak
pengawasan dalam menjamin keamanan pangan. Ada dua tipe titik tindak pengawasan
yaitu tindak yang dapat menjamin keamanan susu sapi segar (food safety) dan tindak yang hanya memperkecil kemungkinan bahaya
yang timbul akibat pencemaran pada susu sapi. Food safety yang disarankan
para ahli adalah secara konvensional yaitu Good
Manufacturing Practices (GMP), Good
Distribution Practices (GDP), pengendalian higiene, dan pengujian produk
akhir. Sedangkan titik tindak untuk memperkecil
bahaya yang timbul yaitu dengan sistem HACCP. HACCP bukan
merupakan jaminan keamanan pangan yang zero-risk,
tetapi dirancang untuk meminimumkan risiko bahaya keamanan pangan dan sebagai
alat manajemen untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi
terhadap kontaminasi bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik (NACMF, 1992;
Winarno dan Surono. 2002).
Analisis
CCP (Critical Control Point) proses produksi susu sapi segar
Penetapan CCP melalui tahap analisis bahaya, yaitu analisis risiko peluang
kejadian yang menentukan apakah prosedur tersebut memiliki bahaya signifikan
atau tidak. Jenis bahaya meliputi kimia, fisika dan biologis di dalam atau
kondisi dari makanan dengan potensi untuk menyebabkan dampak merugikan
kesehatan. Kontaminasi kimia terjadi
pada tahap produksi, sampai produk akhir. Pengaruhnya terhadap konsumen
berjangka panjang (akut), misalnya bahan kimia yang dapat mencemari makanan:
deterjen, pestisida, herbisida, insektisida, nitrit, nitrat, migrasi komponen
plastik, residu antibiotika, aditif kimia dan logam berat beracun. Bahaya
fisik, berasal dari gelas, logam, batu, ranting, kayu, hama, pasir, rumput.
Bahaya biologis disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme seperti: bakteri,
fungi, virus, parasit, protozoa, ganggang dan toksin. Pada prinsipnya analisis CCP berkaitan dengan dua hal pokok yaitu: 1) bahan baku yaitu sapi
hidup dan susu sapi, dan 2) tahapan proses pemerahan, sehingga proses prapanen
dan pascapanen sejak pemerahan hingga pemasaran sangat menentukan mutu susu
sapi.
Analisis penetapan CCP
pada proses pemerahan susu sapi adalah sebagai berikut : Bahan baku, Sapi perah
dan susu sapi terkontaminasi benda-benda asing dari tanah, kotoran, kuman
patogen/virus dalam tubuh ternak sejak dibawa dari kandang, dan tempat
pemerahan. Air terkontaminasi kuman patogen dan pembusuk, terjadi saat
pencucian ambing, memandikan sapi dan tangan pekerja. Tindakan pengendaliannya:
sapi harus bersih, kandang harus higienis, tangan pekerja harus bersih,
pemerahan dilakukan secara benar, dan saniter, air pencuci harus bersih. Proses
pemerahan. Kontaminasi kuman
patogen/virus, Penyebabnya: ambing
kotor, tangan pekerja kotor, pengeluaran susu kurang sempurna, menyebabkan
masih ada sisa susu tertinggal dan menyebabkan kontaminasi. Tindakan
pengendaliannya: ambing harus bersih, tangan pekerja harus bersih, dan
dibersihkan dengan air panas untuk menghilangkan sisa mikroba yang tertinggal.
Peralatan pemerahan dan penyaringan susu: Fisik susu kotor dan terkontaminasi benda asing seperti tanah,
sisa pakan/rumput, rambut, bulu dan kuku operator. Penyebabnya: alat pemerah
dan penyaring kotor, wadah/ can kotor,
tangan pekerja kotor. Tindakan pencegahannya:
semua peralatan pemerahan dan
penyaringan harus bersih termasuk tangan pekerja.
Pengiriman / transportasi susu. Susu terkontaminasi bulu/rambut, kerikil, rumput, dan tanah, terutama bila
diangkut dalam bentuk curah. Kontaminasi Listeria,
E.coli dari air pencuci wadah/ susu
yang berbahaya. Penyebabnya: alat penyimpan dan pengangkut yang kotor, dan cara
pengangkutan yang tidak benar. Tindakan pencegahannya: alat angkut harus
bersih, can kering, saniter sampai tiba di tempat penampungan/ koperasi.
Terungkap juga adanya istilah susu oplosan yang dijual belikan, susu
oplosan merupakan susu sapi segar yang dioplos dengan santan, air, bahan lain
yang dapat meningkatkan kuantitas atau volume susu dan meningkatkan lemak serta
berat jenis. Ciri khas penampilannya adalah warna susu berubah, BJ meningkat,
atau turun, bau tidak khas, mungkin jumlah bakterinya meningkat, dan susu cepat
basi (Sirait dan Abubakar, 1989).
Hasil penelitian, sebagian besar usaha
peternakan sapi perah rakyat tidak memiliki izin operasional, tidak sesuai
dengan tata kota / RUTR, menimbulkan polusi. Aktivitas pemeliharaan/ pemerahan
tidak terkontrol dari aspek kesmavet, tidak melakukan labelisasi, dan sebagian besar tidak melakukan
penyimpanan dingin. Peternakan sapi perah rakyat juga tidak melakukan
pengawasan terhadap kesehatan sapi perahnya, dan kurang higienis pada tempat
pemerahan (Sirait dan Abubakar,1989).
Pada susu sapi segar ditemukan adanya
residu antibiotik dan pestisida yang melebihi batas ambang yang disyaratkan.
Residu antibiotik berasal dari pakan dan pemberian antibiotik lewat air minum
yang tidak memperhatikan waktu henti serta melebihi dosis takaran, sehingga
menimbulkan residu, sedangkan residu pestisida diduga berasal dari bahan
pembersih/ pestisida kandang, dan peralatan yang mengkontaminasi pakan
(Abubakar, 1996). Sampai saat ini
kondisi peternakan sapi perah rakyat di beberapa daerah di P Jawa sangat
memprihatinkan, baik dari segi kebersihan yang kurang memenuhi syarat, tempat
pemerahan yang bersatu dengan tempat penanganan/ pengolahan susu, lantai kurang
bersih, bahkan menggunakan air pencuci ambing / untuk memandikan sapi yang
berasal dari kali, sumur yang tercemar. Hal ini menyebabkan mutu susu yang sangat rendah, baik mutu fisik, kimiawi
dan mikrobiologi
Peran Penanganan dan Pengolahan dalam Peningkatan Produksi, Mutu dan Keamanan Pangan Susu
Sapi Segar
DI INDONESIA
Pada umumnya lokasi produksi susu berada
jauh dari konsumen, dengan jarak tertentu yang sebagian besar konsumen umumnya
berada diperkotaan. Jarak dan waktu tempuh akan memberikan konsekuensi tertentu
terhadap sifat fisik (kerusakan dan susut), sifat kimia dan sifat mikrobiologis
sebagai salah satu indikator mutu dan keamanan susu (Abubakar, 2010).
Susu pada umumnya mudah dan cepat rusak,
karena mengandung protein, lemak, mineral, air yang mudah bereaksi,
terdegradasi, mendorong aktivitas enzim serta
merupakan media yang baik untuk perkembangan mikroba, terutama pada
kondisi lingkungan dengan suhu dan kelembaban tinggi. Oleh sebab itu teknologi
pascapanen sebagai suatu inovasi, mulai dari pemerahan, penanganan, pengolahan,
pengemasan, penyimpanan dan pengawetan hingga transportasi sangat menentukan
tingkat kerusakan, mutu dan nilai ekonomi susu sapi segar. Proses pemerahan,
penanganan dan pengolahan susu di Indonesia, belum mendapat sentuhan inovasi
teknologi yang memadai, oleh karena keterbatasan sarana/ peralatan dan tempat
yang kurang memenuhi syarat. Oleh karena masih banyak dijumpai susu segar yang
belum sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.
Untuk memperoleh susu yang bermutu
tinggi diperlukan manajemen yang baik meliputi sanitasi alat-alat operasional
pemerahan dan lingkungan (pakan, kandang, operator), kebersihan dan kesehatan
ternak, serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan.
Hasil penelitian tahun 2005 di Kabupaten Bandung, diperoleh perubahan prilaku
peternak dalam manajemen/penanganan susu yaitu setelah dilakukan modifikasi dan
sosialisasi Standard Operational
Procedure (SOP) yang sebelumnya telah disusun dan diterbitkan oleh Ditjen
Peternakan Deptan, Dinas Peternakan Propinsi Jabar dan JICA (SOP lama). Salah
satu parameter perubahan prilaku peternak tampak dengan perubahan nilai TPC
susu menjadi lebih baik yaitu pagi 1.600.000 CFU/ml dan sore 1.580.000 CFU/ml
dari nilai TPC susu semula pagi 4.220.000 CFU/ml dan sore 4.270.000 CFU/ml.
Modifikasi SOP meliputi pembatasan cakupan
hanya pada manajemen pemerahan, menyederhanakan bahasa agar mudah
dimengerti oleh peternak/pengumpul, serta mengintroduksi alat pemerahan sederhana
dan pemanfaatan air yang telah didinginkan sebagai pendingin susu sementara
sebelum diambil/disetor kepada pengumpul (Sri Usmiati et al., 2006).
Berdasarkan
data/informasi, susu sapi di Indonesia sebagian besar masih memiliki nilai TPC
puluhan juta/ml. Standar nilai TPC menurut SNI dan Codex maksimum sebesar 1
juta/ml. Total mikroba susu di Jawa Barat menunjukkan angka yang tinggi
bervariasi antara 6,75-88,42 juta/ml (GKSI Jawa Barat, 2000). Nilai TPC susu di
Jawa Timur lebih rendah dibandingkan Jawa Barat namun masih lebih besar dari 1
juta/ml yaitu 2,20-7,60 juta/ml (GKSI Jawa Timur, 2000). Hasil penelitian Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian tahun 2004 di koperasi
Sarwamukti (Cisarua-Bandung) dan Tandangsari (Tanjungsari-Sumedang) menunjukkan
nilai TPC susu yang tinggi walaupun kandungan gizi susu sudah cukup baik
(Sunarlim et al., 2004). Kondisi
kandungan gizi susu yang lengkap merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroba, sehingga susu mudah terkontaminasi mikroba dari lingkungan (udara,
peralatan pemerahan, operator, ternak sapi) (Buckle et al., 1987). Mikroba yang mengkontaminasi susu dapat menyebabkan kerusakan
susu dan bisa bersifat patogen bagi manusia/konsumen.
Jarang sekali masyarakat di Indonesia mengkonsumsi susu segar. Susu lebih
banyak dikonsumsi dalam berbagai bentuk produk pengolahan, seperti yoghurt atau
susu fermentasi lainnya, es krim, permen susu, susu pasteurisasi maupun susu
UHT. Pengembangan produk daerah dinilai sangat potensial untuk meningkatkan
angka konsumsi susu di Indonesia, seperti misalnya produk dadih yang banyak
disukai oleh masyarakat Sumatera Barat, dangke yang merupakan hasil fermentasi
susu menggunakan getah pepaya atau enzim papain milik masyarakat Enrekang,
Sulawesi Selatan dan susu goreng yang diperkenalkan oleh masyarakat NTT. Beberapa
produk unggulan tersebut memiliki keunikan sehingga dapat dikembangkan lebih
lanjut . Perubahan pola konsumsi susu bubuk yang sangat mendominasi sekarang
ini kearah susu segar harus terus dilakukan. Budaya minum susu segar perlu
banyak disosialisasikan, terutama untuk anak usia sekolah yang sangat
membutuhkan protein untuk pertumbuhannya. Pemerintah sudah sering berpromosi
mengenai pentingnya konsumsi susu segar bagi tubuh, baik melalui penyebaran leaflet-leaflet maupun pembagian susu
gratis bagi anak usia sekolah. Untuk meningkatkan angka konsumsi susu Nasional
dan untuk memajukan agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia, peran dan
dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan (Food Review, 2009).
Pada proses pengolahan, pembuatan yoghurt diawali dengan pemilihan bahan baku. Tidak
semua suisu sapi dapat digunakan sebagai
bahan baku pembuatan yoghurt, hanya susu sapi yang berkualitas baik yang dapat
langsung digunakan sebagai bahan baku yoghurt (Setyanto et al.,
1999).
Sedangkan untuk susu sapi yang kurang baik perlu ada penambahan bahan pengental
lain agar yoghurt yang dihasilkan memiliki konsistensi yang baik . Susu sapi
segar dilakukan pemanasan dengan suhu 90
– 95oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dengan cepat sampai suhu 43 – 45oC,
tambahkan starter yoghurt sebanyak 2 – 3 % kemudian diinkubasikan pada suhu 40
– 45oC selama 3-4 jam. Dinginkan pada suhu 4 – 6 oC
selama 12 jam, penamb ahan gula dan perisa/buah-buahan sesuai selera, kemudian dilakukan pengemasan
dan selanjutnya penyimpanan pada suhu 4 - 6oC atau dibekukan. Berdasarkan hasil penelitian Abubakar dan Purwanti (2008), perbandingan starter ST:LB (1:1) sebanyak 3% menghasilkan
yoghurt dengan keasaman dan pH yang baik, sedangkan Penggunaan starter Streptococcus thermophilus atau Lactobacillus bulgaricus saja serta
perbandingan starter Streptococcus
thermophilus dan Lactobacillus
bulgaricus (1:1.2) menghasilkan
yoghurt dengan kadar asam laktat lebih tinggi dari perlakuan yang lain. Pada hasil penelitian pengolahan dadih susu sapi, menunjukkan bahwa
penambahan bahan pengental (BTP) dan tingkat
konsentrasinya tidak memberikan hasil yang berbeda terhadap sifat fisiko-kima
dan mikrobiologi dadih (Setyanto et al.,, 2009). Penggunaan BTP jenis Gelling agent dan Non Jelling
Agent, tidak berbeda nyata. Berdasarkan uji hedonik, penambahan BTP memberikan
perbedaan yang nyata. Panelis menilai bahwa penambahan agar-agar 0.1%
memberikan warna lebih baik, sedangkan aroma dadih lebih disukai pada
penambahan jelly 0.1%. Rasa dadih lebih
disukai paneli pada penambahan Jelly 0.15%, sedangkan dadih dengan penambahan
agar-agar 0.2% lebih disukai dari segi tekstur. Untuk penerimaan umum, dadih
dengan penambahan Jelly 0.1% lebih
disukai dibandingkan dadih yang lain Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa
dadih susu sapi dengan penambahan BTP
Jelly 0.2% memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan
perlakuan lainnya dalam proses pembuatan
dadih susu sapi (Abubakar dan Setyanto, 2010). Untuk penelitian pemanfaatan
susu pecah, atau low grade menunjukkan bahwa susu karamel asal
susu pecah dan susu segar dapat diterima baik secara organoleptik oleh panelis.
Mutu gizi susu karamel asal susu pecah: kadar air 8,81%, kadar abu 2,23%, kadar protein 19,15% dan kadar lemak 25,55%.
Sedangkan mutu gizi susu karamel asal susu segar: kadar air 9,43%, kadar abu
2,10%, kadar protein 19,29% dan kadar lemak 25,64%. Susu karamel asal susu
pecah dan susu segar baik yang dikemas kertas minyak maupun tidak dikemas dapat
dipertahankan mutunya selama penyimpanan
8 minggu (Abubakar dan Ilyas,
2005). Menurut Lampert (1980) dan Handerson (1981) penyimpanan susu setelah mengalami pengolahan tidak mempengaruhi warna produk, apalagi
dalam keadaan dikemas karena pengemasan dapat mempertahankan warna. Menurut Adnan (1994)
dan Singh et.
al
(1988) susu setelah mengalami pengolahan tidak mengalami perubahan rasa,
kecuali adanya penambahan bahan tertentu Selanjutnya
menurut Tamime dan
Deeth (1989) aroma dari
produk olahan susu Helferich dan Westhoff (1980) keempukan
produk olahan susu seperti karamel sangat dipengaruhi oleh komposisi susu, umur hewan,
perlakuan, pengemasan dan aktivitas bakteri. Penurunan kadar protein biasanya disebabkan
karena adanya reaksi antar gugus pereduksi dengan asam amino yang merupakan
pembentuk protein dan juga dari aktivitas mikroorganisme yang masih hidup pada
susu olahan / karamel susu (Robinson,
1991) dan Garrigga, et.al. 1993). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa susu karamel yang dikemas kadar proteinnya lebih tinggi. Menurut
Paskawaty (1997) pengemasan dapat menjamin kestabilan kadar
protein karamel selama penyimpanan, karena dengan pengemasan reaksi antar gugus
pereduksi dengan asam amino pembuat protein dan aktivitas mikoorganisme yang
ada dalam karamel susu yang dikemas dapat ditekan. Lemak
termasuk dalam kelompok senyawa yang disebut lipida yang pada umumnya mempunyai
sifat tidak larut dalam air dan merupakan bahan padat dalam suhu kamar serta
kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang secara kimia tidak mengandung
ikatan rangkap (Singh
et al.,
1988). Menurut Paskawaty (1997),
kadar lemak susu karamel cenderung meningkat dengan semakin lamanya
penyimpanan. Susu karamel asal susu pecah dan susu segar
mutunya dapat diterima baik secara organoleptik oleh panelis.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Untuk dapat
memproduksi susu sapi segar yang bermutu dan baik serta aman bagi kesehatan,
diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan
yang mantap. maka dipandang ada tiga unsur utama yang terlibat dalam
pengamanan/pengendaliannya yaitu:
(1) sistem pengendalian yang intensif berupa pengamanan
dilakukan sejak pra-produksi, hingga pemasaran (preharvest food safety program). Dalam pelaksanaannya sistem
pengamanan ditempuh melalui cara pengamatan (surveilance),
pemantauan (monitoring) dan
pemeriksaan (inspection) terhadap
setiap mata rantai pengadaan susu sapi, (2) pengendalian infrastruktur, antara
lain melalui perbaikan perangkat keras, misalnya perbaikan/ renovasi kandang
sapi, (3) perangkat pendukung adalah UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, Surat
Keputusan Menteri Pertanian dan Dirjen Peternakan yang berkaitan erat dengan
produksi dan keamanan susu sapi. Direktorat Kesmavet telah mencanangkan program
keamanan pangan produk ternak dengan membangun Siskesmavet dan Siskeswannas.
Beberapa
program yang dapat diusulkan kepada pemerintah dalam pemecahan masalah keamanan
pangan produk ternak khususnya susu sapi segar ditinjau dari aspek pascapanen:
(1) pendidikan, penelitian, mengembangkan dan membina aplikasi ilmu dan
teknologi pascapanen susu sapi, (2) menjaga ketersediaan susu sapi, (3)
melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan susu sapi, (4)
merencanakan dan melaksanakan program pencegahan masalah persusuan, (5) membentuk
sistem pengaturan distribusi produk susu sapi yang efisien, (6) melaksanakan
penyuluhan keamanan pangan susu sapi, (7) menjalin kerjasama internasional di
bidang: penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen, perdagangan,
teknologi distribusi, teknologi pengelolaan pangan susu, pencegahan dan penanggulangan
masalah persusuan (Wiradarya, 2005). Untuk itu perlu dilakukan penelitian dan
pengembangan oleh Litbang maupun perguruan Tinggi, secara terus menerus
terhadap teknologi penanganan dan pengolahan produk susu sapi. Hasil-hasil penelitian dan
pengembangan teknologi pascapanen produk ternak, khususnya penanganan dan
pengolahan susu serta model sistem HACCP
harus didiseminasikan dan dilakukan promosi kepada stakeholder, pelaku bisnis dan lain-lain. Teknik–teknik diseminasi
yang dapat dilakukan berupa penerbitan jurnal, bulletin, leafleat,
petunjuk teknis, seminar, penyuluhan, gelar teknologi dan lain sebagainya. Penanganan
dan pengolahan terpadu pada susu sapi perah khususnya pada industri pengolahan
susu cukup luas, tetapi faktor keamanan pangan dan masalah hieginis produk susu
belum terbina dengan baik sehingga perlu adanya reorientasi dan reaktualisasi
penanganan kesmavet. Untuk itu
diperlukan teknologi penanganan
dan pengolahan, sistem pengendalian yang intensif berupa pengamanan sejak
pra-produksi, hingga pemasaran (preharvest
food safety program), pengendalian infrastruktur dan penerapan UU Pangan,
UU Perlindungan Konsumen dan Sk Menteri tentang produksi dan keamanan susu
sapi.
Saran
1. Dalam rangka perlindungan konsumen terhadap produk susu
yang tidak memenuhi syarat mutu, dan keamanan pangan, pemerintah harus dapat
mengawasi secara ketat melalui instansi terkait.
2. Keamanan pangan adalah hak setiap anggota masyarakat,
sehingga peran pemerintah wajib memenuhi hak masyarakat tersebut, seperti
tertuang dalam UU Pangan No.7 th 1996 dan PP No 28 th 2004.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. 1996.
Deteksi antibiotika pada susu. Pros Sem
Nas Pet dan Vet. Bogor,18-19 November. Puslitbang Peternakan.
Abubakar dan Purwanti. 2008. Mutu yoghurt susu sapi pada berbagai
persentase penambahan starter. Proseding
Seminar Nasional “Pengembangan Usaha
Persusuan Nasional untuk Perbaikan Gizi Masyarakat dan Kesejahteraan Peternak”.
Kerjasama Fapet UGM dengan P2HP Departemen Pertanian, Yogyakarta 5 November.
Abubakar. 2009. Standar
mutu susu sapi di Indonesia. Proseding Seminar Nasional. BSN, Jakarta.
Abubakar dan M. Ilyas. 2005. Mutu susu karamel asal
susu pecah selama penyimpanan. Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Bogor,September 12-13. Puslitbang Peternakan, Bogor
Abubakar dan W. Broto.
2009. Strategi, kebijakan dan program teknologi pascapanen dan penerapan Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP) dalam peningkatan mutu dan keamanan pangan
susu sapi segar. Prosiding Simposium Teknologi Inovatif Pascapanen II, Bogor 14
Agustus. BBPascapanen Bogor.
Abubakar dan Hadi Setyanto. 2010. Pengaruh penambahan bahan pengental terhadap kualitas dadih susu sapi dengan starter Lactobacillus casei (belum terbit)
Abubakar. 2010. Teknologi pengolahan untuk peningkatan nilai tambah dan
daya saing mendukung pemasaran serta konsumsi susu di Indonesia. Makalah
disampaikan pada Koordinasi teknis dan Manajemen Penanganan Pascapanen Produk
Ternak Perah/Susu di Bandung, 8-11 Desember. Direktorat Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian-Kementerian Pertanian.
Adnan 1994. Kimia dan teknologi pengolahan air susu.
Penerbit Andi Offset Yogyakarta.
Alfa. 1992. Dairy Handbook. Dairy and Food
Enginering. Division Sweden 161-181.
Agriculture Canada. 1993. Food Safety
Enhancement Program. Guideline and Principles for the Development of HACCP
Generic Models. Implementation Manual: Volume 2, p15-16.
Buckle, K.A., RA. Edward.
GH. Fleet and M.Wooton.
1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan
Hari Purnomo dan Adiono. UI Press.
Jakarta
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2002. Pedoman
1004-2002 Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian
Titik Kritis (HACCP).
Bauman,
H.E., 1990. HACCP: Concept, Development and Application. Food Technology .44(5)
:156-158
Dirjen
Peternakan, 2008.
Prospek Pengembangan Sapi Perah di Indonesia. http://dirjenak.
go.id/indek=php?/option.com
Dirjen Peternakan, 2009. Buku Statistik Peternakan. Dirjen Bina Produksi Peternakan.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Food
Review. 2009. Strategi Nasional Meningkatkan Produksi Susu. Majalah bulanan
Food Review, July. http://www.food
review.biz/prevew.php?view.id=122
Garriga, M.Higes,
M.Aymerich and JM.Monfort. 1993.
Bacteriogenic activity of lactobacilli from fermented milk. J.Appl.Bact 73:140-141
GKSI Daerah
Jawa Barat, 2000. Laporan Produksi dan
Kualitas Susu Koperasi/KUD Jawa Barat Bulan Januari s.d Desember 2000.
GKSI Daerah
Jawa Timur, 2000. Laporan Produksi dan
Kualitas Susu Koperasi/KUD Jawa Timur Bulan Januari s.d Desember 2000.
Handerson.
JL.
1981. The Fluid Milk Industri (3 rd Ed). Connecticut: AVI Publishing Inc.
Helferich W, and D.Westhoff. 1980. All about yoghurt. Prentice Hall inc Inglewood Cliff New
Jersey.
Handerson, J.L.1981.
3The Fluid Milk Industries (3rd Ed) Connecticut AVI Publishing, Inc.
Ishikawa, K. 1990. Pengendalian Mutu Terpadu (terjemahan). PT. Remaja, Rosdakarya. Bandung.
Jablonski, J.R., 1991.
Implementing Total Quality Management-An Overview. Pfeiffer & Co., San
Diego CA. 39 pp
Setiyanto , Nurcahyadi, C H. Sirait 1999. Evaluasi Kualitas
Yoghurt di Wilayah Bandung. Prossiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan Bogor
Setiyanto.H, Abubaqkqr, W. Broto, S.Usmiyti, Miskiah dan E.Afdi
2009 Laporan akhir Kegiatan : Perbaikan Proses dan Pengemasan Dadih Sebagai
Propbiotik dengan Daya Simpan Sampai 20 Hari. Balai Besar Litbang Pascapanen
Bogor
Setiyanto H , Abubakar, W.Broto, Miskiah, S.Usmiyati, S.Yuliani
dan E.Afdi 2010. Laporan Tengah Tahun Inovasi Teknologi Pembuatan Starter
Kering untuk mendukung Agroindustri Dadih Skala 10 liter per hari. Balai Besai
Litbang Pascapanen Bogor.
Sunarlim, R., Munarso, S.J., Abubakar, Usmiati, S.,
Setiyanto, H., Triyantini, Misgiyarta, Nurdjannah, N., Richana, N.,
Muhadjir, I., Laksmanahardja, P., Imanuel, E., Sugiarto, Kusningsih, Adom, G.,
Herawati, H., dan Dewi, R. 2004. Penelitian Perbaikan Mutu dan Keamanan Pangan
Susu di Tingkat Peternak dan Koperasi Susu. Laporan akhir 2004. Balai Besar
Litbang Pascapanen Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Sirait, C.H. dan Abubakar. 1989.
Perubahan kualitas susu pada jalur pemasaran di daerah Jawa Tengah. Pros Sem Hasil Penelitian Pascapanen II.
Bogor,18 Desember. Puslitbang Peternakan
Stevenson and Bernard. 1995. HACCP
Establishing Hazard Analysis Critical Control Point Program, A Workshop Manual.
The Food Processors Institute, Washington, DC. p 23-24.
Sri Usmiati dan Abubakar. 2007. Teknologi Penanganan dan Penga,anan susu
segar dan Olahannya. Prosiding Seminar nasional hari pangan Sedunia XXVI.
Bogor.21 November. Puslitbang Peternakan Bogor.
Sri Usmiati,
Sunarlim, R, Pujoyuono dan Sugiarto. 2006. laporan Kegiatan Perbaikan mutu dan
keamanan pangan susu di tingkat peternak dan koperasi susu. BB Pascapanen,
Bogor
Suratmono, 2005.
Keamanan pangan produk olahan berbasis produk ternak. Pros Lokakarya Nasional
Keamanan Pangan Produk Peternakan, Puslitbang Peternakan, Bogor 14 September
2005. Hlm 44-46
The National Advisory
Committee on Microbiological Criteria for Foods. (NACMF).
1992. Hazard Analysis and Critical
Control Point System. Int’l J. Microbiol. 16:1-23.
Undang-undang
Nomor 7 tahun 1996. Tentang Pangan. Pemerintah Republik Indonesia.
Wiradarya, T.R., 2005. Keamanan Pangan Produk Peternakan
ditinjau dari Aspek Pascapanen: Permasalahan dan Solusi. Pros Lokakarya
Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Puslitbang Peternakan, Bogor 14
September 2005. Hlm 29-33
Winarno, F.G dan
Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya
dalam Industri Pangan. Cetakan 2, M-BRIO PRESS. Bogor.
Lampert, CM. 1980. Modern Dairy Product. New York
Publishing , Co. Inc.
Paskawaty, D.1997.
Perbaikan proses pembuatan caramel susu dengan penambahan
Natrium bicarbonate (NaHCO3).
Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian.
IPB Bogor.
Robinson, R.K. 1991. Dairy Microbiology Vol: I. Applied Science Pub. London.
Singh, J and H.Chander.1988, Effect of
Processing Temperature and Heat Treatment of
Milk from Cow and Buffalo. J.Food Protection , 24 : 39-40.
Tamime, AY and HC.Deeth.1989. Dairy technology and biochemistry. J. Food Prot. 73 : 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar