Kamis, 19 Januari 2012

MAKALAH : TEKNOLOGI PENANGANAN DAN PENGOLAHAN SUSU SAPI


PERANAN TEKNOLOGI PENANGANAN DAN PENGOLAHAN
Dalam Peningkatan PRODUKSI, Mutu dan Keamanan  Susu Sapi Segar DI INDONESIA

Abubakar  
Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor

ABSTRAK
      Dampak dari peningkatan kesejahteraan, pendapatan, pendidikan dan ketaqwaan masyarakat, maka kebutuhan akan pangan asal hewan termasuk susu yang berkualitas, bergizi, aman dan halal dikonsumsi akan terus menjadi tuntutan.  Dalam rangka memenuhi kebutuhan susu tersebut diatas, maka diperlukan teknologi penanganan dan pengolahan. Booming permintaan susu dalam negeri terjadi, akibat peningkatan harga susu dunia yang mencapai US $ 4000 per ton. Hal ini dipicu oleh kebijakan Uni Eropa dan beberapa negara penghasil susu yang mengurangi subsidi bagi usaha peternakan sapi perah, sehingga tidak ada insentif bagi peternak negara asing untuk mengembangkan usahanya. Kondisi ini menguntungkan  bagi peternak sapi perah Indonesia karena akan terjadi peluang untuk meningkatkan posisi tawar kepada buyer  susu dan industri pengolahan susu. Usaha peningkatan produksi susu sapi dalam negeri terus dilakukan dan selalu diikuti dengan penerapan teknologi pascapanen tepat guna, hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah susu, maupun dalam rangka meningkatkan pertumbuhan agroindustri persusuan di daerah pedesaan. Sampai saat ini produksi hasil ternak terutama susu dirasakan pemanfaatannya belum optimal oleh karena sifatnya mudah rusak, sehingga masih terdapat susu sapi yang dibuang, beragamnya mutu produk, keamanannya belum terjamin (TPC masih tinggi), belum diterapkannya HACCP, kurang berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, serta lemahnya sistem pemasaran. Untuk itu diperlukan teknologi penanganan dan pengolahan, sistem pengendalian yang intensif berupa pengamanan sejak pra-produksi, hingga pemasaran (preharvest food safety program), pengendalian infrastruktur dan penerapan UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen dan Sk Menteri tentang produksi dan keamanan susu sapi.


Kata kunci: Mutu susu sapi, penanganan dan pengolahan


ABSTRACT. Abubakar. 2011.The role of handling and processing technology improvement in production, quality and safety of fresh milk cows in Indonesia. The impact of increased welfare, income, education and faith communities, the need for food of animal origin including milk quality, nutritious, safe and lawful consumption will continue to be demand. In order to meet the milk requirement of the above, it would require the handling and processing technologies. Booming domestic demand for milk is the case, due to an increase in world dairy prices reached US. $ 4,000 per ton. This is triggered by the policy of the European Union and some milk-producing countries that reduce subsidies for dairy farm businesses, so there is no incentive for farmers of foreign countries to develop their business. This condition is favorable for dairy farmers because it will happen Indonesia opportunity to improve their bargaining position to the buyer of milk and dairy processing industries. Efforts to increase domestic production of dairy cows continue to be done and is always followed by application of appropriate post-harvest technology, this needs to be done to improve the value-added milk, and in order to enhance the growth of dairy agro-industry in rural areas. Until now the production of livestock products especially milk has not been optimal utilization perceived by their nature are easily damaged, so there is still a cow's milk is removed, the diversity of product quality, safety is not guaranteed (TPC still high), yet the implementation of HACCP, use of less powerful ways of handling and processing, and poor marketing system. It required the handling and processing technologies, intensive form of control system security since the pre-production, to marketing (preharvest food safety program), control infrastructure and the application of the Food Act, Consumer Protection Law and Sk Minister of cow's milk production and security.

Key words: Quality of cow's milk, handling and processing

PENDAHULUAN

       Pemasok susu terbesar di Indonesia berasal dari pulau Jawa, dari 95 koperasi susu di pulau Jawa, 45 berada di Jawa Timur, 25 di Jawa Tengah dan 25 di Jawa Barat dengan produksi 1-1,2 juta liter/hari. Jumlah ini akan bertambah seiring dengan kenaikan harga susu, karena adanya kesadaran para peternak dan pengusaha untuk meningkatkan jumlah sapi perah sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Sedangkan Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Riau, Lampung, Kalimantan Selatan, Bali, dan Gorontalo merupakan beberapa daerah selain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang dijadikan daerah pengembangan sentra produksi susu. “Bahkan ada beberapa daerah seperti Kerinci bekerjasama dengan Kanada dalam hal pengadaan sapi perah,” Kerinci bersedia membuka lahan sekitar 5000 hektar untuk penanaman tanaman kentang, dengan kompensasi 2 ekor sapi perah untuk setiap hektar lahan yang ditanami. Dalam hal ini, otonomi daerah diharapkan memberikan pengaruh yang baik bagi peternak dalam mengambil keputusan yang tepat bagi usaha ternaknya (Dirjen Peternakan, 2009). Pengembangan sentra produksi baru di luar Jawa, diharapkan dapat meningkatkan populasi sapi perah di Indonesia. Pelaksanaan program yang telah ditetapkan pemerintah secara konsisten, diperkirakan dapat meningkatkan produksi susu domestik hingga 40% di tahun 2010, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan susu nasional hingga 100% diperlukan populasi sapi sekitar 4 kali dari populasi yang ada sekarang (377.772 ekor), yaitu sekitar 2 juta ekor sapi. Pengembangan sapi yang direncanakan tersebut juga dirancang untuk dapat meningkatkan konsumsi susu 50 ml/hari/kapita atau sekitar 25% dari konsumsi ideal 200 ml/hari/kapita mulai Tahun 2008.
        Pada tahun 2010 populasi penduduk akan mencapai 240 juta (Pertumbuhan 1,49% /tahun), 91,2 juta diantaranya adalah generasi muda usia wajib sekolah (<19tahun), memerlukan susu idealnya 4,6 juta ton/tahun (konsumsi 1 gelas/hari). Sementara harga susu  di tingkat peternak pada saat ini telah mengalami peningkatkan dari harga Rp.1.450,-/l menjadi Rp.1.600/l –Rp.1.900,-/l, bahkan di tingkat koperasi sudah mencapai harga Rp.2.700/l, rata-rata Rp. 2.300,-/l. Perbedaan harga ini  tergantung dari kualitas susu yang dilihat  dari kandungan TS (Total Solid) dan TPC ( Total Plate Count) / kandungan bakteri di dalam susu segar. Sebagai contoh,  saat ini di Jateng TS tertinggi yang telah dicapai peternak kabupaten Semarang adalah 13,28 dan TPC antara 1,02 jt /ml sampai 5 juta /ml susu.       Menurut Dinas Peternakan Jateng, harga susu segar di Jawa Tengah lebih rendah jika dibandingkan dengan harga susu segar di Jawa Timur dan Jawa Barat, (Jawa Timur dan Jawa Barat harga susu segar rata-rata Rp.2.500,- Rp.3.500,-). Salah satu penyebab rendahnya harga susu di Jawa Tengah adalah kualitas susu yang masih rendah dan belum adanya  IPS (Industri Pengolah Susu) sendiri, sehingga untuk menuju ke IPS yang terletak di Jawa Barat/ Jawa Timur membutuhkan ongkos transportasi yang cukup mahal.
       Untuk meningkatkan mutu dan keamanan susu segar dapat diupayakan melalui penerapan teknologi pascapanen dan penetapan CCP (Critical Control Point) pada tahap pemerahan, penanganan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan dingin dan transportasi. Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada keseluruhan tahap proses produksi merupakan usaha perbaikan manajemen penanganan susu segar, bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk pertanian dan menjamin keamanan pangan (SNI, 2002).  

KONDISI, MASALAH DAN ARAH PENGEMBANGAN
MUTU DAN KEAMANAN SUSU SAPI SEGAR

Kondisi dan Masalah
       Tujuan peningkatan mutu susu adalah mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan susu melalui perlakuan dan teknologi yang bertitik tolak pada penyebab kerusakan. Indikator yang digunakan adalah standar mutu pada proses produksi, pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum (Agriculture Canada, 1993).  Menurut Buckle et al. (1987), kerusakan susu akibat aktivitas mikroorganisme antara lain: (1) pengasaman dan penggumpalan karena fermentasi laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya pH dan terjadinya penggumpalan kasein; (2) berlendir seperti tali karena terjadinya pengentalan dan pembentukan lendir akibat pengeluaran bahan seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri; dan (3) penggumpalan susu yang timbul tanpa penurunan pH disebabkan oleh Bacillus cereus yang menghasilkan enzim yang mencerna lapisan tipis fosfolipid di sekitar butir-butir itu menyatu membentuk suatu gumpalan yang timbul ke permukaan susu (Handerson, 1981).  Susu mengandung bermacam-macam unsur dan zat makanan yang juga diperlukan bagi pertumbuhan bakteri. Susu dalam ambing ternak yang sehat tak bebas hama dan mungkin mengandung sampai 500 sel/ml. Jika ambing tersebut sakit maka jumlahnya dapat meningkat lebih besar dari 20.000 sel/ml. Selain mikroorganisme yang biasanya ada dalam susu dan ambing ada juga pencemaran yang ada dalam wadah saat pemerahan. Jenis-jenis micrococcus dan Corybacterium sering terdapat dalam susu yang baru diperah. Pencemaran juga timbul dari sapi, alat pemerahan yang kurang bersih dan tempat-tempat penyimpanan (Sri Usmiati dan Abubakar, 2007). Setelah susu diperah, kandungan mikro organisme pada susu merupakan fungsi dari umur susu yang menentukan tingkat perkembangan flora alam, penanganan susu yang menentukan jenis mikroorganisme yang terbawa dan suhu penyimpanan yang menentukan kecepatan perkembangbiakan semua jenis mikroorganisme.
       Sebagian besar susu dihasilkan dari peternakan sapi perah rakyat dengan kepemilikan beberapa ekor sampai belasan ekor, dengan modal yang rendah mengakibatkan kandang, peralatan pemerahan, ketersediaan air sangat terbatas mengakibatkan rendahnya mutu susu yang dihasilkan terutama TPC tinggi sehingga test alkohol positif (Abubakar, 2009). Hal ini yang memicu susu dibuang karena penolakan susu oleh IPS. Konsumsi susu segar paling besar adalah IPS, sehingga persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh IPS harus yang di sepakati antara peternak melalui koperasi dan IPS.   Adanya sikap ”dengan cara sederhana dan seadanya seperti yang dilakukan setiap hari saja susu yang dihasilkan dibeli oleh koperasi (laku dijual)”, anggapan salah tersebut perlu diubah, diperbaiki dan disadarkan kembali mengenai makna keamanan pangan yang akan berimbas terhadap peningkatan pendapatan peternak (bonus harga atas mutu dan keamanan susu yang baik).
Kesehatan ternak dan TPC pada susu
       Menurut Dirjenak bahwa 80% sapi laktasi Indonesia menderita mastitis subklinis. Mastitis pada ambing merupakan masalah utama kesehatan ternak yang dapat menurunkan produksi susu sebesar 20%. Hal ini sangat terkait dengan kebersihan kandang dan peralatan yang digunakan saat pemerahan sangat menentukan jumlah total bakteri susu yang dihasilkan. Sampai saat ini fasilitas, infrastruktur dan penerapan hygiene sanitasi penanganan susu segar pada tingkat TPS (tempat penampungan susu) yang masih terbatas dan belum efektif, sekitar 30% susu segar dalam negeri memiliki TPC (Total Plate Count) lebih dari standar yang berlaku di Indonesia (SNI, harus kurang dari 1 Juta CFU/ml). Residu antibiotik yang terdapat pada susu juga mulai diperhatikan oleh pemerintah, untuk itu peningkatan pembinaan teknis dan pelatihan-pelatihan, khususnya dalam penerapan hygiene sanitasi saat pemerahan (GFP), sebagai upaya untuk menjamin keamanan dan mutu susu segar baik oleh Dinas Peternakan Daerah maupun oleh Direktorat Jenderal Peternakan perlu dilakukan. GKSI sendiri untuk menjamin kualitas susu di tingkat peternak, dilakukan Quality Control terhadap pemberian pakan, sanitasi kandang, kesehatan sapi dan peternak serta lingkungan oleh penyuluh teknis di tiap-tiap koperasi primer. Sedangkan ditingkat pusat, dilakukan negosiasi secara kontinu terhadap pemerintah dalam pemberantasan mastitis klinis, sub klinis serta penyakit keguguran (Brucellosis). ”Dengan peningkatan lahan dan pemberantasan mastitis, kenaikan produksi susu akan meningkat 10% tanpa harus menambah jumlah sapi” (Food Review, 2009).
Arah Pengembangan Keamanan pangan dan Standar mutu susu
       Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan selain memperhatikan kuantitas, kualitas susu perlu mendapat perhatian termasuk faktor keamanan produk yang bersangkutan, antara lain bebas dari cemaran kimia, fisik dan mikrobiologis. Keamanan pangan susu adalah interaksi antara status gizi, toksisitas mikrobiologis dan kimiawi yang saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi. Kualitas susu memperhatikan asas Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). Keamanan pangan susu ditentukan pada saat-saat panen, pemerahan susu, pengolahan produk menjadi bahan pangan, serta ketika melalui rantai pemasaran. Suatu konsep jaminan mutu yang khusus diterapkan untuk pangan dikenal dengan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) yaitu sistem pengawasan mutu industri pangan yang menjamin keamanan pangan dan mengukur bahaya atau resiko yang mungkin timbul, serta menetapkan pengawasan tertentu dalam usaha pengendalian mutu pada seluruh rantai produksi pangan (BSN, 2002). 
       UU Pangan No.7 Th 1996 telah ditetapkan dan kemudian di jabarkan dalam PP No. 28 Th 2004. Tiga unsur penting yang digunakan dalam pembuatan UU tersebut adalah: 1) pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, 2) pangan yang aman, bermutu, bergizi dan beragam merupakan prasyarat utama untuk kesehatan, dan 3) pangan sebagai komoditas dagang memerlukan sistem perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab. Kesadaran terhadap mutu harus dimulai pada tahap sangat awal yaitu gagasan konsep produk setelah persyaratan-persyaratan konsumen di definisikan (Suratmono,  2005). Persyaratan mutu susu berdasarkan SNI dan Direktorat Jenderal Peternakan atas nilai TPC dan cemaran mikrobiologis patogen tertera pada Tabel 1.
   Tabel 1. Syarat mutu susu
 Komponen
Syarata
Syaratb
Cemaran mikroba, maksimum:
     Total mikroba
     Salmonella
     E.coli (patogen)
     Caliform
     Streptococcus Group B
     Staphylococcus aureus

3 juta per cc
-
-
-
-

1 juta CFU/ml
Negatif
Negatif
20/ml
Negatif
1 x 102/ml
Kuman patogen dan benda asing
Negatif
Negatif
Jumlah sel radang maksimum
-
4 x 105/ml
   aDirektorat Jenderal Peternakan No. 17/KPTS/PJP/DEPTAN/93
   bSNI 01-3141-1998
Khusus untuk mutu dan keamanan pangan, WTO telah mengembangkan dua kesepakatan yaitu SPS (Sanitary and Phytosanitary) untuk keamanan pangan dan TBT (Technical Barier To Trade) untuk mutu pangan. Kedua kesepakatan tersebut dikembangkan antara lain melalui ISO-9000, ISO-2000, HACCP, GMP, dan TQM dalam pembinaan mutu dan keamanan pangan (Jablonski, 1991).
Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan
       Indikator mutu susu sapi segar terkait dengan: a) mutu fisik, yaitu warna, penampakan, kesegaran, konsistensi dll,  b) mutu kimia, yaitu kandungan gizi, aroma, rasa, bebas cemaran logam berat; c) mutu biologi, yaitu bebas dari kontaminasi mikroba patogen yang membahayakan kesehatan.
      Tujuan peningkatan mutu susu adalah mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan pada  susu melalui perlakuan dan teknologi yang bertitik tolak pada penyebab kerusakan. Indikator yang di gunakan adalah standar mutu pada proses produksi, pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum (Agriculture Canada, 1993).  Jaminan mutu merupakan kegiatan yang terus menerus dilakukan agar fungsi mutu dapat dilakukan dengan baik untuk membangun kepercayaan konsumen (Juran, 1989). Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability (keandalan), responsiveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya diri) dan emphaty (keramah tamahan) (NACMF, 1992).
        Menurut Ishikawa (1990) jaminan mutu merupakan suatu jaminan bahwa produk akan dibeli konsumen dengan penuh ke percayaan dan digunakan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dengan penuh keyakinan dan kepuasan. Tiga langkah utama dalam peningkatan mutu yaitu, menetapkan standar, menilai kesesuaian atau kinerja operasi (mengukur dan membandingkan dengan standar) dan melakukan tindakan koreksi bila diperlukan. 
Pengembangan sistem mutu dan   keamanan pangan
DALAM INDUSTRI SUSU SAPI

Sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
      Tuntutan dan kepedulian konsumen terhadap mutu dan keamanan pangan serta kesehatan, mendorong terbitnya sistem HACCP. HACCP cukup penting dalam mengantisipasi liberalisasi perdagangan, persaingan harga dan tuntutan kualitas yang semakin disadari oleh masyarakat konsumen. Pada tahun 1993, Codex menetapkan HACCP sebagai a food safety management tools  (Stevenson and Bernard, 1995). 
       HACCP adalah suatu piranti untuk menilai suatu bahaya spesifik dan menetapkan sistem pengendalian yang di fokuskan pada pencegahan daripada pengujian produk akhir. HACCP pada industri persusuan adalah karena bahan-bahan yang digunakan (baik bahan baku maupun bahan penolong) selama proses produksi memiliki peluang terjadinya pencemaran yang dapat membahayakan konsumen. Pencemaran ini dapat berupa pencemaran fisik (dari pekerja, sapi dan lingkungan misalnya logam, kaca, pasir, bulu/rambut),  kimia  (bahan tambahan, fungisida, insektisida, pestisida, migrasi komponen plastik, logam beracun) maupun mikrobiologis (bakteri, fungi, protozoa, cacing, ganggang).
       Sistem HACCP sesuai dengan Codex terdiri dari tujuh prinsip, yaitu: (1) mengidentifikasi semua hazard dan hazard analysis pada rantai pangan dan menentukan tindakan pencegahan, (2) menetapkan Critical Control Point (CCP), (3) menetapkan kriteria yang menunjukkan pengawasan pada CCP, (4) menetapkan prosedur untuk memonitor setiap CCP, (5) menetapkan tindakan  apabila kriteria yang ditetapkan untuk mengawasi CCP tidak sebagai mana mestinya, (6) verifikasi  menggunakan informasi pendukung dan pengujian untuk meyakinkan bahwa HACCP dapat dilaksanakan dan (7) menetapkan cara pencatatan dan dokumentasi (Bauman, 1990).
        Dalam proses produksi selalu ada tindak pengawasan dalam menjamin keamanan pangan. Ada dua tipe titik tindak pengawasan yaitu tindak yang dapat menjamin keamanan susu sapi segar (food safety) dan tindak yang hanya memperkecil kemungkinan bahaya yang timbul akibat pencemaran pada susu sapi. Food safety  yang disarankan para ahli adalah secara konvensional yaitu Good Manufacturing Practices (GMP), Good Distribution Practices (GDP), pengendalian higiene, dan pengujian produk akhir. Sedangkan titik tindak untuk memperkecil  bahaya yang timbul yaitu dengan sistem HACCP. HACCP bukan merupakan jaminan keamanan pangan yang zero-risk, tetapi dirancang untuk meminimumkan risiko bahaya keamanan pangan dan sebagai alat manajemen untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik (NACMF, 1992; Winarno dan Surono. 2002).
Analisis CCP (Critical Control Point) proses produksi susu sapi segar
       Penetapan CCP melalui tahap analisis bahaya, yaitu analisis risiko peluang kejadian yang menentukan apakah prosedur tersebut memiliki bahaya signifikan atau tidak. Jenis bahaya meliputi kimia, fisika dan biologis di dalam atau kondisi dari makanan dengan potensi untuk menyebabkan dampak merugikan kesehatan.  Kontaminasi kimia terjadi pada tahap produksi, sampai produk akhir. Pengaruhnya terhadap konsumen berjangka panjang (akut), misalnya bahan kimia yang dapat mencemari makanan: deterjen, pestisida, herbisida, insektisida, nitrit, nitrat, migrasi komponen plastik, residu antibiotika, aditif kimia dan logam berat beracun. Bahaya fisik, berasal dari gelas, logam, batu, ranting, kayu, hama, pasir, rumput. Bahaya biologis disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme seperti: bakteri, fungi, virus, parasit, protozoa, ganggang dan toksin.  Pada prinsipnya analisis CCP berkaitan dengan dua hal pokok yaitu: 1) bahan baku yaitu sapi hidup dan susu sapi, dan 2) tahapan proses pemerahan, sehingga proses prapanen dan pascapanen sejak pemerahan hingga pemasaran sangat menentukan mutu susu sapi.
       Analisis penetapan CCP pada proses pemerahan susu sapi adalah sebagai berikut : Bahan baku, Sapi perah dan susu sapi terkontaminasi benda-benda asing dari tanah, kotoran, kuman patogen/virus dalam tubuh ternak sejak dibawa dari kandang, dan tempat pemerahan. Air terkontaminasi kuman patogen dan pembusuk, terjadi saat pencucian ambing, memandikan sapi dan tangan pekerja. Tindakan pengendaliannya: sapi harus bersih, kandang harus higienis, tangan pekerja harus bersih, pemerahan dilakukan secara benar, dan saniter, air pencuci harus bersih. Proses pemerahan. Kontaminasi kuman patogen/virus,  Penyebabnya: ambing kotor, tangan pekerja kotor, pengeluaran susu kurang sempurna, menyebabkan masih ada sisa susu tertinggal dan menyebabkan kontaminasi. Tindakan pengendaliannya: ambing harus bersih, tangan pekerja harus bersih, dan dibersihkan dengan air panas untuk menghilangkan sisa mikroba yang tertinggal. Peralatan pemerahan dan penyaringan susu: Fisik susu kotor dan  terkontaminasi benda asing seperti tanah, sisa pakan/rumput, rambut, bulu dan kuku operator. Penyebabnya: alat pemerah dan  penyaring kotor, wadah/ can kotor, tangan pekerja kotor. Tindakan pencegahannya:  semua peralatan pemerahan dan  penyaringan harus bersih termasuk tangan pekerja.
       Pengiriman / transportasi susu. Susu terkontaminasi bulu/rambut,  kerikil, rumput, dan tanah, terutama bila diangkut dalam bentuk curah. Kontaminasi Listeria, E.coli dari air pencuci wadah/ susu yang berbahaya. Penyebabnya: alat penyimpan dan pengangkut yang kotor, dan cara pengangkutan yang tidak benar. Tindakan pencegahannya: alat angkut harus bersih, can kering, saniter sampai tiba di tempat penampungan/ koperasi. 
      Terungkap juga adanya istilah  susu oplosan yang dijual belikan, susu oplosan merupakan susu sapi segar yang dioplos dengan santan, air, bahan lain yang dapat meningkatkan kuantitas atau volume susu dan meningkatkan lemak serta berat jenis. Ciri khas penampilannya adalah warna susu berubah, BJ meningkat, atau turun, bau tidak khas, mungkin jumlah bakterinya meningkat, dan susu cepat basi (Sirait dan Abubakar,  1989).
       Hasil penelitian, sebagian besar usaha peternakan sapi perah rakyat tidak memiliki izin operasional, tidak sesuai dengan tata kota / RUTR, menimbulkan polusi. Aktivitas pemeliharaan/ pemerahan tidak terkontrol dari aspek kesmavet, tidak melakukan labelisasi,  dan sebagian besar tidak melakukan penyimpanan dingin. Peternakan sapi perah rakyat juga tidak melakukan pengawasan terhadap kesehatan sapi perahnya, dan kurang higienis pada tempat pemerahan (Sirait dan Abubakar,1989).
        Pada susu sapi segar ditemukan adanya residu antibiotik dan  pestisida  yang melebihi batas ambang yang disyaratkan. Residu antibiotik berasal dari pakan dan pemberian antibiotik lewat air minum yang tidak memperhatikan waktu henti serta melebihi dosis takaran, sehingga menimbulkan residu, sedangkan residu pestisida diduga berasal dari bahan pembersih/ pestisida kandang, dan peralatan yang mengkontaminasi pakan (Abubakar, 1996).  Sampai saat ini kondisi peternakan sapi perah rakyat di beberapa daerah di P Jawa sangat memprihatinkan, baik dari segi kebersihan yang kurang memenuhi syarat, tempat pemerahan yang bersatu dengan tempat penanganan/ pengolahan susu, lantai kurang bersih, bahkan menggunakan air pencuci ambing / untuk memandikan sapi yang berasal dari kali, sumur yang tercemar. Hal ini menyebabkan mutu susu  yang sangat rendah, baik mutu fisik, kimiawi dan mikrobiologi
Peran Penanganan dan Pengolahan dalam Peningkatan Produksi,  Mutu dan Keamanan Pangan Susu Sapi Segar DI INDONESIA

       Pada umumnya lokasi produksi susu berada jauh dari konsumen, dengan jarak tertentu yang sebagian besar konsumen umumnya berada diperkotaan. Jarak dan waktu tempuh akan memberikan konsekuensi tertentu terhadap sifat fisik (kerusakan dan susut), sifat kimia dan sifat mikrobiologis sebagai salah satu indikator mutu dan keamanan susu (Abubakar, 2010).
       Susu pada umumnya mudah dan cepat rusak, karena mengandung protein, lemak, mineral, air yang mudah bereaksi, terdegradasi, mendorong aktivitas enzim serta  merupakan media yang baik untuk perkembangan mikroba, terutama pada kondisi lingkungan dengan suhu dan kelembaban tinggi. Oleh sebab itu teknologi pascapanen sebagai suatu inovasi, mulai dari pemerahan, penanganan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pengawetan hingga transportasi sangat menentukan tingkat kerusakan, mutu dan nilai ekonomi susu sapi segar. Proses pemerahan, penanganan dan pengolahan susu di Indonesia, belum mendapat sentuhan inovasi teknologi yang memadai, oleh karena keterbatasan sarana/ peralatan dan tempat yang kurang memenuhi syarat. Oleh karena masih banyak dijumpai susu segar yang belum sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.
       Untuk memperoleh susu yang bermutu tinggi diperlukan manajemen yang baik meliputi sanitasi alat-alat operasional pemerahan dan lingkungan (pakan, kandang, operator), kebersihan dan kesehatan ternak, serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan. Hasil penelitian tahun 2005 di Kabupaten Bandung, diperoleh perubahan prilaku peternak dalam manajemen/penanganan susu yaitu setelah dilakukan modifikasi dan sosialisasi Standard Operational Procedure (SOP) yang sebelumnya telah disusun dan diterbitkan oleh Ditjen Peternakan Deptan, Dinas Peternakan Propinsi Jabar dan JICA (SOP lama). Salah satu parameter perubahan prilaku peternak tampak dengan perubahan nilai TPC susu menjadi lebih baik yaitu pagi 1.600.000 CFU/ml dan sore 1.580.000 CFU/ml dari nilai TPC susu semula pagi 4.220.000 CFU/ml dan sore 4.270.000 CFU/ml. Modifikasi SOP meliputi pembatasan cakupan  hanya pada manajemen pemerahan, menyederhanakan bahasa agar mudah dimengerti oleh peternak/pengumpul, serta mengintroduksi alat pemerahan sederhana dan pemanfaatan air yang telah didinginkan sebagai pendingin susu sementara sebelum diambil/disetor kepada pengumpul (Sri Usmiati et al., 2006).
       Berdasarkan data/informasi, susu sapi di Indonesia sebagian besar masih memiliki nilai TPC puluhan juta/ml. Standar nilai TPC menurut SNI dan Codex maksimum sebesar 1 juta/ml. Total mikroba susu di Jawa Barat menunjukkan angka yang tinggi bervariasi antara 6,75-88,42 juta/ml (GKSI Jawa Barat, 2000). Nilai TPC susu di Jawa Timur lebih rendah dibandingkan Jawa Barat namun masih lebih besar dari 1 juta/ml yaitu 2,20-7,60 juta/ml (GKSI Jawa Timur, 2000). Hasil penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian tahun 2004 di koperasi Sarwamukti (Cisarua-Bandung) dan Tandangsari (Tanjungsari-Sumedang) menunjukkan nilai TPC susu yang tinggi walaupun kandungan gizi susu sudah cukup baik (Sunarlim et al., 2004). Kondisi kandungan gizi susu yang lengkap merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba, sehingga susu mudah terkontaminasi mikroba dari lingkungan (udara, peralatan pemerahan, operator, ternak sapi) (Buckle et al., 1987). Mikroba yang mengkontaminasi susu dapat menyebabkan kerusakan susu dan bisa bersifat patogen bagi manusia/konsumen.
       Jarang sekali masyarakat di Indonesia mengkonsumsi susu segar. Susu lebih banyak dikonsumsi dalam berbagai bentuk produk pengolahan, seperti yoghurt atau susu fermentasi lainnya, es krim, permen susu, susu pasteurisasi maupun susu UHT. Pengembangan produk daerah dinilai sangat potensial untuk meningkatkan angka konsumsi susu di Indonesia, seperti misalnya produk dadih yang banyak disukai oleh masyarakat Sumatera Barat, dangke yang merupakan hasil fermentasi susu menggunakan getah pepaya atau enzim papain milik masyarakat Enrekang, Sulawesi Selatan dan susu goreng yang diperkenalkan oleh masyarakat NTT. Beberapa produk unggulan tersebut memiliki keunikan sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut . Perubahan pola konsumsi susu bubuk yang sangat mendominasi sekarang ini kearah susu segar harus terus dilakukan. Budaya minum susu segar perlu banyak disosialisasikan, terutama untuk anak usia sekolah yang sangat membutuhkan protein untuk pertumbuhannya. Pemerintah sudah sering berpromosi mengenai pentingnya konsumsi susu segar bagi tubuh, baik melalui penyebaran leaflet-leaflet maupun pembagian susu gratis bagi anak usia sekolah. Untuk meningkatkan angka konsumsi susu Nasional dan untuk memajukan agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia, peran dan dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan (Food Review, 2009).
         Pada proses pengolahan,  pembuatan yoghurt  diawali dengan pemilihan bahan baku. Tidak semua suisu sapi  dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan yoghurt, hanya susu sapi yang berkualitas baik yang dapat langsung digunakan sebagai bahan baku yoghurt (Setyanto et al., 1999). Sedangkan untuk susu sapi yang kurang baik perlu ada penambahan bahan pengental lain agar yoghurt yang dihasilkan memiliki konsistensi yang baik . Susu sapi segar  dilakukan pemanasan dengan suhu 90 – 95oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dengan cepat sampai suhu 43 – 45oC, tambahkan starter yoghurt sebanyak 2 – 3 % kemudian diinkubasikan pada suhu 40 – 45oC selama 3-4 jam. Dinginkan pada suhu 4 – 6 oC selama 12 jam, penamb ahan gula dan perisa/buah-buahan  sesuai selera, kemudian dilakukan pengemasan dan selanjutnya penyimpanan pada suhu 4 - 6oC atau dibekukan. Berdasarkan hasil penelitian Abubakar dan Purwanti (2008), perbandingan starter ST:LB (1:1) sebanyak 3% menghasilkan yoghurt dengan keasaman dan pH yang baik, sedangkan Penggunaan starter Streptococcus thermophilus atau Lactobacillus bulgaricus saja serta perbandingan starter Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus  (1:1.2) menghasilkan yoghurt dengan kadar asam laktat lebih tinggi dari perlakuan yang lain. Pada hasil penelitian pengolahan dadih susu sapi, menunjukkan bahwa penambahan bahan pengental (BTP) dan tingkat konsentrasinya tidak memberikan hasil yang berbeda terhadap sifat fisiko-kima dan mikrobiologi dadih (Setyanto et al.,, 2009). Penggunaan BTP jenis Gelling agent dan Non Jelling Agent, tidak berbeda nyata. Berdasarkan uji hedonik, penambahan BTP memberikan perbedaan yang nyata. Panelis menilai bahwa penambahan agar-agar 0.1% memberikan warna lebih baik, sedangkan aroma dadih lebih disukai pada penambahan jelly 0.1%.  Rasa dadih lebih disukai paneli pada penambahan Jelly 0.15%, sedangkan dadih dengan penambahan agar-agar 0.2% lebih disukai dari segi tekstur. Untuk penerimaan umum, dadih dengan penambahan Jelly  0.1% lebih disukai dibandingkan dadih yang lain Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dadih susu sapi dengan penambahan BTP  Jelly 0.2% memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan  lainnya dalam proses pembuatan dadih susu sapi (Abubakar dan Setyanto, 2010). Untuk penelitian pemanfaatan susu pecah, atau low grade menunjukkan bahwa susu karamel asal susu pecah dan susu segar dapat diterima baik secara organoleptik oleh panelis. Mutu gizi susu karamel asal susu pecah: kadar air 8,81%, kadar abu  2,23%, kadar protein 19,15% dan kadar lemak 25,55%. Sedangkan mutu gizi susu karamel asal susu segar: kadar air 9,43%, kadar abu 2,10%, kadar protein 19,29% dan kadar lemak 25,64%. Susu karamel asal susu pecah dan susu segar baik yang dikemas kertas minyak maupun tidak dikemas dapat dipertahankan mutunya selama  penyimpanan 8 minggu (Abubakar dan Ilyas, 2005). Menurut Lampert (1980) dan Handerson (1981) penyimpanan susu setelah mengalami pengolahan  tidak mempengaruhi warna produk, apalagi dalam keadaan dikemas karena pengemasan dapat mempertahankan warna. Menurut Adnan (1994) dan Singh et. al (1988) susu setelah mengalami pengolahan tidak mengalami perubahan rasa, kecuali adanya penambahan bahan tertentu Selanjutnya menurut Tamime dan Deeth (1989) aroma dari produk olahan susu Helferich dan Westhoff (1980) keempukan produk olahan susu seperti karamel sangat dipengaruhi oleh komposisi susu, umur hewan, perlakuan, pengemasan dan aktivitas bakteri. Penurunan kadar protein biasanya disebabkan karena adanya reaksi antar gugus pereduksi dengan asam amino yang merupakan pembentuk protein dan juga dari aktivitas mikroorganisme yang masih hidup pada susu olahan / karamel susu (Robinson, 1991) dan Garrigga, et.al. 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa susu karamel yang dikemas kadar proteinnya lebih tinggi.  Menurut Paskawaty (1997) pengemasan dapat menjamin kestabilan kadar protein karamel selama penyimpanan, karena dengan pengemasan reaksi antar gugus pereduksi dengan asam amino pembuat protein dan aktivitas mikoorganisme yang ada dalam karamel susu yang dikemas dapat ditekan. Lemak termasuk dalam kelompok senyawa yang disebut lipida yang pada umumnya mempunyai sifat tidak larut dalam air dan merupakan bahan padat dalam suhu kamar serta kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang secara kimia tidak mengandung ikatan rangkap (Singh et al., 1988). Menurut Paskawaty (1997), kadar lemak susu karamel cenderung meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan.  Susu karamel asal susu pecah dan susu segar mutunya dapat diterima baik secara organoleptik oleh panelis.

KESIMPULAN DAN SARAN
       Untuk dapat memproduksi susu sapi segar yang bermutu dan baik serta aman bagi kesehatan, diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan yang mantap. maka dipandang ada tiga unsur utama yang terlibat dalam pengamanan/pengendaliannya yaitu:
(1) sistem pengendalian yang intensif berupa pengamanan dilakukan sejak pra-produksi, hingga pemasaran (preharvest food safety program). Dalam pelaksanaannya sistem pengamanan ditempuh melalui cara pengamatan (surveilance), pemantauan (monitoring) dan pemeriksaan (inspection) terhadap setiap mata rantai pengadaan susu sapi, (2) pengendalian infrastruktur, antara lain melalui perbaikan perangkat keras, misalnya perbaikan/ renovasi kandang sapi, (3) perangkat pendukung adalah UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Dirjen Peternakan yang berkaitan erat dengan produksi dan keamanan susu sapi. Direktorat Kesmavet telah mencanangkan program keamanan pangan produk ternak dengan membangun Siskesmavet dan Siskeswannas.
      Beberapa program yang dapat diusulkan kepada pemerintah dalam pemecahan masalah keamanan pangan produk ternak khususnya susu sapi segar ditinjau dari aspek pascapanen: (1) pendidikan, penelitian, mengembangkan dan membina aplikasi ilmu dan teknologi pascapanen susu sapi, (2) menjaga ketersediaan susu sapi, (3) melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan susu sapi, (4) merencanakan dan melaksanakan program pencegahan masalah persusuan, (5) membentuk sistem pengaturan distribusi produk susu sapi yang efisien, (6) melaksanakan penyuluhan keamanan pangan susu sapi, (7) menjalin kerjasama internasional di bidang: penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen, perdagangan, teknologi distribusi, teknologi pengelolaan pangan susu, pencegahan dan penanggulangan masalah persusuan (Wiradarya, 2005). Untuk itu perlu dilakukan penelitian dan pengembangan oleh Litbang maupun perguruan Tinggi, secara terus menerus terhadap teknologi penanganan dan pengolahan produk  susu sapi. Hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen produk ternak, khususnya penanganan dan pengolahan susu serta model sistem HACCP harus didiseminasikan dan dilakukan promosi kepada stakeholder, pelaku bisnis dan lain-lain. Teknik–teknik diseminasi yang dapat dilakukan berupa penerbitan jurnal, bulletin, leafleat, petunjuk teknis, seminar, penyuluhan, gelar teknologi dan lain sebagainya. Penanganan dan pengolahan terpadu pada susu sapi perah khususnya pada industri pengolahan susu cukup luas, tetapi faktor keamanan pangan dan masalah hieginis produk susu belum terbina dengan baik sehingga perlu adanya reorientasi dan reaktualisasi penanganan kesmavet. Untuk itu diperlukan teknologi penanganan dan pengolahan, sistem pengendalian yang intensif berupa pengamanan sejak pra-produksi, hingga pemasaran (preharvest food safety program), pengendalian infrastruktur dan penerapan UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen dan Sk Menteri tentang produksi dan keamanan susu sapi.
Saran
1.      Dalam rangka perlindungan konsumen terhadap produk susu yang tidak memenuhi syarat mutu, dan keamanan pangan, pemerintah harus dapat mengawasi secara ketat melalui instansi terkait.
2.      Keamanan pangan adalah hak setiap anggota masyarakat, sehingga peran pemerintah wajib memenuhi hak masyarakat tersebut, seperti tertuang dalam UU Pangan No.7 th 1996 dan PP No 28 th 2004.
DAFTAR  PUSTAKA

Abubakar. 1996. Deteksi antibiotika pada susu. Pros Sem Nas Pet dan Vet. Bogor,18-19 November. Puslitbang Peternakan.
Abubakar dan Purwanti. 2008. Mutu yoghurt susu sapi pada berbagai persentase penambahan  starter. Proseding Seminar Nasional  “Pengembangan Usaha Persusuan Nasional untuk Perbaikan Gizi Masyarakat dan Kesejahteraan Peternak”. Kerjasama Fapet UGM dengan P2HP Departemen Pertanian, Yogyakarta 5 November.
Abubakar. 2009. Standar mutu susu sapi di Indonesia. Proseding Seminar Nasional. BSN, Jakarta.
Abubakar  dan M. Ilyas. 2005.  Mutu susu karamel asal susu pecah selama penyimpanan. Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor,September 12-13. Puslitbang Peternakan, Bogor
Abubakar dan W. Broto. 2009. Strategi, kebijakan dan program teknologi pascapanen dan penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dalam peningkatan mutu dan keamanan pangan susu sapi segar. Prosiding Simposium Teknologi Inovatif Pascapanen II, Bogor 14 Agustus. BBPascapanen Bogor.
Abubakar dan Hadi Setyanto. 2010. Pengaruh penambahan bahan pengental terhadap kualitas  dadih susu sapi dengan starter Lactobacillus casei (belum terbit)
Abubakar. 2010. Teknologi pengolahan untuk peningkatan nilai tambah dan daya saing mendukung pemasaran serta konsumsi susu di Indonesia. Makalah disampaikan pada Koordinasi teknis dan Manajemen Penanganan Pascapanen Produk Ternak Perah/Susu di Bandung, 8-11 Desember. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian-Kementerian Pertanian.
Adnan 1994. Kimia dan teknologi pengolahan air susu. Penerbit Andi Offset  Yogyakarta.
Alfa. 1992. Dairy Handbook. Dairy and Food Enginering. Division Sweden 161-181.
Agriculture Canada. 1993. Food Safety Enhancement Program. Guideline and Principles for the Development of HACCP Generic Models. Implementation Manual: Volume 2, p15-16.
Buckle, K.A., RA. Edward. GH. Fleet and  M.Wooton. 1987. Ilmu Pangan.   
           Terjemahan Hari  Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2002. Pedoman 1004-2002 Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP).
Bauman, H.E., 1990. HACCP: Concept, Development and Application. Food Technology .44(5) :156-158
Dirjen Peternakan, 2008. Prospek Pengembangan Sapi Perah di Indonesia. http://dirjenak. go.id/indek=php?/option.com
Dirjen Peternakan, 2009. Buku Statistik Peternakan. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Food Review. 2009. Strategi Nasional Meningkatkan Produksi Susu. Majalah bulanan Food Review, July. http://www.food review.biz/prevew.php?view.id=122
Garriga, M.Higes, M.Aymerich and JM.Monfort. 1993.  Bacteriogenic activity of lactobacilli from fermented milk. J.Appl.Bact 73:140-141
GKSI Daerah Jawa Barat, 2000. Laporan Produksi dan Kualitas Susu Koperasi/KUD Jawa Barat Bulan Januari s.d Desember 2000.
GKSI Daerah Jawa Timur, 2000. Laporan Produksi dan Kualitas Susu Koperasi/KUD Jawa Timur Bulan Januari s.d Desember 2000.
Handerson. JL. 1981. The Fluid Milk Industri (3 rd Ed). Connecticut: AVI Publishing Inc. 
Helferich W, and D.Westhoff. 1980. All about yoghurt. Prentice Hall inc Inglewood Cliff New Jersey.   
Handerson, J.L.1981. 3The Fluid Milk Industries (3rd Ed) Connecticut AVI Publishing, Inc.
Ishikawa, K. 1990. Pengendalian Mutu Terpadu (terjemahan). PT. Remaja, Rosdakarya. Bandung.
Jablonski, J.R., 1991. Implementing Total Quality Management-An Overview. Pfeiffer & Co., San Diego CA. 39 pp
Setiyanto , Nurcahyadi, C H. Sirait 1999. Evaluasi Kualitas Yoghurt di Wilayah Bandung. Prossiding Seminar Nasional  Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan Bogor
Setiyanto.H, Abubaqkqr, W. Broto, S.Usmiyti, Miskiah dan E.Afdi 2009 Laporan akhir Kegiatan : Perbaikan Proses dan Pengemasan Dadih Sebagai Propbiotik dengan Daya Simpan Sampai 20 Hari. Balai Besar Litbang Pascapanen Bogor
Setiyanto H , Abubakar, W.Broto, Miskiah, S.Usmiyati, S.Yuliani dan E.Afdi 2010. Laporan Tengah Tahun Inovasi Teknologi Pembuatan Starter Kering untuk mendukung Agroindustri Dadih Skala 10 liter per hari. Balai Besai Litbang Pascapanen Bogor.
Sunarlim, R., Munarso, S.J., Abubakar, Usmiati, S., Setiyanto, H., Triyantini, Misgiyarta, Nurdjannah, N., Richana, N., Muhadjir, I., Laksmanahardja, P., Imanuel, E., Sugiarto, Kusningsih, Adom, G., Herawati, H., dan Dewi, R. 2004. Penelitian Perbaikan Mutu dan Keamanan Pangan Susu di Tingkat Peternak dan Koperasi Susu. Laporan akhir 2004. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Sirait, C.H. dan Abubakar. 1989. Perubahan kualitas susu pada jalur pemasaran di daerah Jawa Tengah. Pros Sem Hasil Penelitian Pascapanen II. Bogor,18 Desember. Puslitbang Peternakan
Stevenson and Bernard. 1995. HACCP Establishing Hazard Analysis Critical Control Point Program, A Workshop Manual. The Food Processors Institute, Washington, DC. p 23-24.
Sri Usmiati dan Abubakar. 2007. Teknologi Penanganan dan Penga,anan susu segar dan Olahannya. Prosiding Seminar nasional hari pangan Sedunia XXVI. Bogor.21 November. Puslitbang Peternakan Bogor.
Sri Usmiati, Sunarlim, R, Pujoyuono dan Sugiarto. 2006. laporan Kegiatan Perbaikan mutu dan keamanan pangan susu di tingkat peternak dan koperasi susu. BB Pascapanen, Bogor
Suratmono, 2005. Keamanan pangan produk olahan berbasis produk ternak. Pros Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Puslitbang Peternakan, Bogor 14 September 2005. Hlm 44-46
The National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods. (NACMF).
            1992. Hazard Analysis and Critical Control Point System. Int’l J. Microbiol. 16:1-23.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1996. Tentang Pangan. Pemerintah Republik Indonesia.
Wiradarya, T.R., 2005. Keamanan Pangan Produk Peternakan ditinjau dari Aspek Pascapanen: Permasalahan dan Solusi. Pros Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Puslitbang Peternakan, Bogor 14 September 2005. Hlm 29-33
Winarno, F.G dan Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan.  Cetakan 2, M-BRIO PRESS. Bogor.
Lampert, CM. 1980. Modern Dairy Product. New York Publishing , Co. Inc.
Paskawaty, D.1997. Perbaikan proses pembuatan caramel susu dengan  penambahan 
            Natrium bicarbonate (NaHCO3). Skripsi, Fakultas Teknologi  Pertanian. IPB  Bogor.
Robinson, R.K. 1991. Dairy Microbiology Vol: I. Applied Science Pub. London.
Singh, J and H.Chander.1988, Effect of Processing Temperature and Heat Treatment of  Milk from Cow and Buffalo. J.Food Protection , 24 : 39-40.
Tamime, AY and HC.Deeth.1989. Dairy technology and biochemistry. J. Food Prot. 73 : 93.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar