Teknologi pengolahan untuk peningkatan nilai tambah dan daya saing MENDUKUNG pemasaran serta
konsumsi Susu DI INDONESIA
ABUBAKAR
Balai Besar Litbang Pascapanen
Pertanian, Bogor
Email: abu.028@gmail.com
ABSTRAK
Tiga pilar sistem
pengawasan bahan pangan yang menjadi prioritas utama yaitu: (1) Produsen,
sistem pengawasan yang dilakukan oleh internal produsen pangan berpegang pada
metode penanganan dan produksi yang baik atau good handling practices (GHP) dan good
manufacturing practices (GMP) agar setiap penyimpangan dari standar mutu
dapat segera diketahui. (2) Pemerintah, bertanggung jawab terhadap pengaturan, pembinaan, regulasi,standar mutu
pangan, evaluasi produk sebelum diedarkan, pengawa san, pengambilan sampel untuk uji
laboratorium, penetapan bahan-bahan yang dilarang digunakan pada proses
produksi pangan. (3) Konsumen, masyarakat memiliki kesempatan berperan
seluas-luasnya dalam mewujud kan
perlindungan bagi orang perseorangan yang mengkonsumsi pangan. Khusus standar
mutu susu segar-olahan susu,
tujuan peningkatan mutu susu adalah mempertahankan kesegaran dan keutuhan,
serta mengurangi kerusakan susu melalui perlakuan dan teknologi yang bertitik
tolak pada penyebab kerusakan. Sampai saat ini produksi susu segar dirasakan
pemanfaatannya belum optimal oleh karena sifatnya mudah rusak, sehingga masih
terdapat susu segar yang dibuang, beragamnya mutu produk, keamanannya belum
terjamin (TPC masih tinggi), belum diterapkannya manajemen mutu
secara benar, kurang
berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, serta lemahnya sistem pemasaran, sehingga belum sesuai dengan SNI
01-3141-1998 dan SNI 01-6366-2000. Untuk
itu diperlukan strategi, kebijakan dan program teknologi pascapanen (penanga
nan-pengolahan) dan penerapan manajemen mutu secara konsisten sejak
ditingkat produsen, perantara/pengumpul, koperasi, IPS selanjutnya sampai
konsumen secara terarah dan berkesinambungan sehingga susu segar dan olahan
susu sesuai SNI, punya nilai tambah dan daya saing yang tinggi sehingga
dapat mendukung pemasaran dan konsumsi susu.
Kata kunci: Susu, pengolahan, nilai tambah, daya saing,
pemasaran
*Makalah disampaikan pada: Kegiatan “Koordinasi Teknis dan Manajemen
Penanganan Pascapanen Produk Ternak
Perah (Susu)”,di Bandung tgl. 8-11 Desember 2010.
PENDAHULUAN
Tingkat konsumsi susu segar masyarakat
Indonesia terus meningkat. Meski begitu, dibandingkan dengan konsumsi susu di
banyak negara lain, Indonesia masih tertinggal jauh. Saat ini tingkat konsumsi
susu segar masyarakat Indonesia adalah 10,47 liter /kapita/ tahun. Konsumsi
susu tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 yang baru mencapai 7,7
liter/kapita/tahun. Peningkatan konsumsi susu itu masih jauh tertinggal
dibandingkan dengan konsumsi susu penduduk Malaysia serta di negara-negara maju
seperti Jepang dan AS. Saat ini tingkat konsumsi susu segar masyarakat Malaysia
mencapai 27 liter/ kapita/ tahun, Jepang 37 liter/kapita/ tahun, AS 83,9
liter/kapita/tahun, dan Belanda 120 liter/kapita/ tahun.
Menurut Menteri Pertanian, tingkat
konsumsi susu segar masyarakat Indonesia perlu terus ditingkatkan, selain untuk
menjaga kesehatan, mengkonsumsi susu dapat mencerdaskan. Sampai saat
ini pemasok susu terbesar di Indonesia berasal dari pulau Jawa, dari 95 koperasi
susu di pulau Jawa, 45 berada di Jawa Timur, 25 di Jawa Tengah dan 25 di Jawa
Barat dengan produksi 1-1,2 juta liter/hari.
Jumlah ini akan bertambah seiring dengan kenaikan harga susu, karena adanya
kesadaran para peternak dan pengusaha untuk meningkatkan jumlah sapi perah
sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Sedangkan Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Riau, Lampung, Kalimantan Selatan, Bali, dan
Gorontalo merupakan beberapa daerah selain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur yang dijadikan daerah pengembangan sentra produksi susu (Anonymous, 2008).
Pelaksanaan program yang telah
ditetapkan pemerintah secara konsisten, diperkirakan dapat meningkatkan
produksi susu domestik hingga 40% di tahun 2010, sedangkan untuk mencukupi
kebutuhan susu nasional hingga 100% diperlukan populasi sapi sekitar 4 kali
dari populasi yang ada sekarang (377.772 ekor), yaitu sekitar 2 juta ekor sapi.
Pengembangan sapi yang direncanakan tersebut juga dirancang untuk dapat
meningkatkan konsumsi susu 50 ml/hari/kapita atau sekitar 25% dari konsumsi
ideal 200 ml/hari/kapita mulai Tahun 2008. Pada tahun 2010
populasi penduduk akan mencapai 240 juta (Pertumbuhan 1,49% /tahun), 91,2 juta
diantaranya adalah generasi muda usia wajib sekolah (<19 1="" 4="" gelas="" hari="" idealnya="" juta="" konsumsi="" memerlukan="" span="" susu="" tahun="" ton=""> 19>
Pengembangan
produk susu daerah dinilai sangat potensial untuk meningkatkan angka konsumsi
susu di Indonesia, seperti misalnya produk dadih yang banyak disukai oleh
masyarakat Sumatera Barat, dangke yang merupakan hasil fermentasi susu
menggunakan getah pepaya atau enzim papain milik masyarakat Enrekang, Sulawesi
Selatan dan susu goreng yang diperkenalkan oleh masyarakat NTT. Beberapa produk
unggulan tersebut memiliki keunikan sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut.
Perubahan pola konsumsi susu bubuk yang sangat mendominasi sekarang ini kearah
susu segar harus terus dilakukan. Budaya minum susu segar perlu banyak
disosialisasikan, terutama untuk anak usia sekolah yang sangat membutuhkan
protein untuk pertumbuhannya. Pemerintah sudah sering berpromosi mengenai
pentingnya konsumsi susu segar bagi tubuh, baik melalui penyebaran leaflet-leaflet maupun pembagian susu
gratis bagi anak usia sekolah. Untuk meningkatkan angka konsumsi susu nasional
dan untuk memajukan agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia, peran dan
dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan (Anonymous, 2009).
Untuk meningkatkan mutu dan keamanan
susu segar dapat diupayakan melalui penerapan teknologi pascapanen dan penerapan manajemen mutu pada
tahap pemerahan, penanganan, pengolahan, pengemasan, penyimpan an dingin dan
transportasi. Indonesia
telah mempunyai SNI 01-3141-1998
tentang standar mutu susu segar dan SNI 01-6366-2000 tentang batas mak simum cemaran mikroba dan
batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point) pada keseluruhan tahap proses produksi merupakan usaha perbaikan manajemen
penanganan susu segar, bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk pertanian
dan menjamin keamanan pangan (Anonymous, 2002).
KONDISI, MASALAH MUTU DAN KEAMANAN
SUSU SAPI SEGAR
Kondisi dan Masalah
Sebagian besar susu segar dihasilkan dari
peternakan sapi perah rakyat dengan kepemilikan beberapa ekor sampai belasan
ekor, dengan modal yang rendah mengakibatkan kandang, peralatan pemerahan, kualitas SDM, ke tersediaan air
sangat terbatas mengakibatkan rendahnya mutu susu yang dihasilkan terutama TPC
tinggi sehingga test alkohol positif. Hal ini yang memicu harga susu
rendah bahkan susu dibuang karena penolakan susu oleh IPS. Konsumsi susu segar
paling besar adalah IPS, sehingga per syaratan-persyaratan yang ditentukan oleh
IPS harus yang di sepakati antara peternak melalui koperasi dan IPS. Adanya
sikap ”dengan cara sederhana dan seadanya seperti yang dilakukan setiap hari
saja susu yang dihasilkan dibeli oleh koperasi (laku dijual)”, anggapan
salah tersebut perlu diubah, diperbaiki dan disadarkan kembali mengenai makna
keamanan pangan yang akan berimbas terhadap peningkatan pendapatan peternak
(bonus harga atas mutu dan keamanan susu yang baik).
Menurut
Dirjenak bahwa 80% sapi laktasi Indonesia menderita mastitis subklinis.
Mastitis pada ambing merupakan masalah utama kesehatan ternak yang dapat
menurunkan produksi susu sebesar 20%. Hal ini sangat terkait dengan kebersihan
kandang dan peralatan yang digunakan saat pemerahan sangat menentukan jumlah
total bakteri susu yang dihasilkan. Sampai saat ini fasilitas, infrastruktur
dan penerapan hygiene sanitasi
penanganan susu segar pada tingkat TPS (tempat penampungan susu) yang masih
terbatas dan belum efektif, sekitar 30% susu segar dalam negeri memiliki TPC (Total Plate Count) lebih dari standar
yang berlaku di Indonesia (SNI, harus kurang dari 1 Juta CFU/ml). Residu
antibiotik yang terdapat pada susu juga mulai diperhatikan oleh pemerintah,
untuk itu peningkatan pembinaan teknis dan pelatihan-pelatihan, khususnya dalam
penerapan hygiene sanitasi saat
pemerahan, sebagai upaya untuk menjamin keamanan dan mutu susu segar baik oleh
Dinas Peternakan Daerah maupun oleh Direktorat Jenderal Peternakan perlu
dilakukan. GKSI sendiri untuk menjamin kualitas susu di tingkat peternak,
dilakukan Quality Control terhadap
pemberian pakan, sanitasi kandang, kesehatan sapi dan peternak serta lingkungan
oleh penyuluh teknis di tiap-tiap koperasi primer. Sedangkan ditingkat pusat,
dilakukan negosiasi secara kontinu terhadap pemerintah dalam pemberantas an
mastitis klinis, sub klinis serta penyakit keguguran (Brucellosis). ”Dengan peningkatan kesehatan dan pemberantasan
mastitis, kenaikan produksi susu akan meningkat 10% tanpa harus menambah jumlah
sapi” (Anonymous, 2009).
Peranan teknologi pengolahan dalam peningkatan nilai tambah dan
daya saing susu sapi SEGAR
Peranan Teknologi
Pengolahan
Pada umumnya lokasi produksi susu
berada jauh dari konsumen, dengan jarak tertentu yang sebagian besar konsumen
umumnya berada diperkotaan. Jarak dan waktu tempuh akan memberikan konsekuensi
tertentu terhadap sifat fisik, sifat kimia dan sifat mikrobiologis sebagai
salah satu indikator mutu dan keamanan susu. Menurut
Buckle et al., (1985), susu merupakan bahan makanan mudah
dan cepat rusak, karena mengandung protein, lemak, mineral, air yang mudah
bereaksi, terdegradasi, mendorong aktivitas enzim serta merupakan media
yang baik untuk perkembangan mikroba, terutama pada kondisi lingkungan dengan
suhu dan kelembaban tinggi. Oleh sebab itu teknologi pascapanen sebagai suatu
inovasi, mulai dari pemerahan, penanganan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan
dan pengawetan hingga transportasi sangat menentukan tingkat kerusakan, mutu
dan nilai ekonomi susu segar. Proses pemerahan, penanganan dan pengolahan susu
di Insonesia, belum mendapat sentuhan inovasi teknologi yang memadai, oleh
karena keterbatasan sarana/ peralatan dan tempat yang kurang memenuhi syarat.
Oleh karena masih banyak dijumpai susu segar yang belum sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI).
Untuk memperoleh susu yang bermutu
tinggi diperlukan manajemen yang baik meliputi sanitasi alat-alat operasional
pemerahan dan lingkungan (pakan, kandang, operator), kebersihan dan kesehatan
ternak, serta kebersih
an sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan (Henderson, 1981). Hasil
penelitian tahun 2005 di Kabupaten Bandung, diperoleh perubahan perilaku peternak
dalam manajemen/ penanganan
susu yaitu setelah dilakukan modifikasi dan sosialisasi Standard Operational Procedure (SOP) yang sebelumnya telah disusun
dan diterbitkan oleh Ditjen Peternakan Deptan, Dinas Peternakan Propinsi Jabar
dan JICA (SOP lama). Salah satu parameter perubahan prilaku peternak tampak
dengan perubahan nilai TPC susu menjadi lebih baik yaitu pagi 1.600.000 CFU/ml
dan sore 1.580.000 CFU/ml dari nilai TPC susu semula pagi 4.220.000 CFU/ml dan
sore 4.270.000 CFU/ml. Modifikasi SOP meliputi pembatasan cakupan hanya pada manajemen pemerahan, menyederhanakan
bahasa agar mudah dimengerti oleh peternak/pengumpul, serta mengintroduksi alat
pemerahan sederhana dan pemanfaatan air yang telah didinginkan sebagai
pendingin susu sementara sebelum diambil/disetor kepada pengumpul (Sri Usmiati et al., 2006). Khusus penggunaan alat pemerahan
sederhana yang inovatif, ternyata kinerja alat pemerah sudah cukup baik
ditinjau dari nilai TPC susu yang jauh lebih rendah yaitu pada pemerahan pagi
mengandung TPC 2.260.000 CFU/ml dan pemerahan sore mengandung TPC 2.300.000
CFU/ml dibandingkan nilai TPC dengan pemerahan secara manual yaitu pemerahan
pagi dengan TPC 31.100.000 CFU/ml dan sore TPC nya 49.700.000 CFU/ml, walaupun
kecepatan pemerahan susu dengan alat perah sederhana masih lebih rendah yaitu
0,77 liter/menit dibandingkan pemerahan susu secara manual yaitu 0,99
liter/menit (Sri Usmiati et
al., 2006).
Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan
Indikator mutu susu sapi segar
terkait dengan: a) mutu fisik, yaitu warna, aroma, penampakan, kesegaran, konsistensi, b) mutu kimia,
yaitu kandungan gizi, aroma, rasa, bebas cemaran logam berat; c) mutu biologi,
yaitu bebas dari kontaminasi mikroba patogen yang membahayakan kesehatan.
Tujuan peningkatan mutu susu adalah
mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan pada susu melalui perlakuan dan tek nologi yang
bertitik tolak pada penyebab kerusakan. Indikator yang di guna kan adalah
standar mutu pada proses produksi, pelayanan hasil produksi dan jasa pada
tingkat biaya yang efektif dan optimum (Anonymous, 1993). Jaminan mutu merupakan kegiatan yang terus
menerus dilakukan agar fungsi mutu dapat dilakukan dengan baik untuk membangun
kepercayaan konsumen (Juran, 1988).
Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles
(hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability
(keandalan), respon
siveness
(tanggap), assurancy (rasa aman dan
percaya diri) dan emphaty (keramah
tamahan) (Anonymous, 1992). Menurut
Ishikawa (1990) jaminan mutu merupakan suatu jaminan bahwa produk akan dibeli
konsumen dengan penuh kepercayaan dan diguna kan terus menerus
dalam jangka waktu yang lama dengan penuh keyakinan dan kepuasan. Tiga langkah
utama dalam peningkatan mutu yaitu, menetapkan standar, menilai kesesuaian atau
kinerja operasi (mengukur dan membandingkan dengan standar) dan melakukan
tindakan koreksi bila diperlukan.
Standar mutu dan Keamanan susu
Dalam upaya meningkatkan ketahanan
pangan selain memperhatikan kuantitas, kualitas susu perlu mendapat perhatian
termasuk faktor keamanan produk yang bersangkutan, antara lain bebas dari
cemaran kimia, fisik dan mikrobiologis. Keamanan pangan susu adalah
interaksi antara status gizi, toksisitas mikrobiologis dan kimiawi yang saling
berkaitan erat dan saling mempengaruhi. Kualitas susu memperhatikan asas
Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). Keamanan pangan susu ditentukan pada
saat-saat pemerahan susu, pengolahan produk menjadi bahan pangan, serta ketika
melalui rantai pemasaran. Suatu konsep jaminan mutu yang khusus diterapkan
untuk pangan dikenal dengan Hazard
Analysis Critical Control Points (HACCP) yaitu sistem pengawasan mutu
industri pangan yang menjamin keamanan pangan dan mengukur bahaya atau resiko
yang mungkin timbul, serta menetapkan pengawasan tertentu dalam usaha
pengendalian mutu pada seluruh rantai produksi pangan (Anonymous, 2002).
UU Pangan
No.7 Th 1996 telah ditetapkan dan kemudian dijabarkan dalam PP No. 28 Th 2004. Tiga
unsur penting yang digunakan dalam
pembuatan UU tersebut adalah: 1) pangan merupakan kebutuhan dasar manusia,
2) pangan yang aman, bermutu, bergizi dan beragam merupakan prasyarat utama
untuk kesehatan, dan 3) pangan sebagai komoditas dagang memerlukan sistem
perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab. Kesadaran terhadap mutu harus
dimulai pada tahap sangat awal yaitu gagasan konsep produk setelah
persyaratan-persyaratan konsumen di definisikan (Suratmono,2005). Khusus untuk mutu
dan keamanan pangan, WTO telah mengembangkan dua kesepakatan yaitu SPS (Sanitary and Phytosanitary) untuk
keamanan pangan dan TBT (Technical Barier
To Trade) untuk mutu pangan. Kedua kesepakatan tersebut dikembangkan antara
lain melalui ISO-9000, ISO-2000, HACCP,
GMP, dan TQM dalam pembinaan mutu dan keamanan pangan (Jablonski, 1991). Persyaratan
mutu susu berdasarkan SNI tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu susu segar ( SNI 01-3141-1998 )
No
|
Karakteristik
|
Syarat
|
a.
|
Berat Jenis (pada suhu
27,50C)
|
1,028
|
b.
|
Kadar lemak minimal
(%)
|
3,0
|
c.
|
Kadar bahan kering tanpa lemak minimal (%)
|
8,0
|
d.
|
Kadar protein minimal
(%)
|
2,7
|
e.
|
Warna,bau,rasa dan
kekentalan
|
Tidak ada perubahan
|
f.
|
Derajat asam
|
6-70 SH
|
g.
|
Uji Alkohol (70%)
|
Negatif
|
h.
|
Uji katalase maksimal
|
3 (cc)
|
i.
|
Angka refraksi
|
36-38
|
j.
|
Angka reduktase
|
2-5 jam
|
k.
|
Cemaran mikroba, maksimum:
1.Total kuman
2. Salmonella
3. E.coli
(patogen)
4. Caliform
5. Streptococcus Group B
6. Staphylococcus aureus
|
1 juta CFU/ml
Negatif
Negatif
20/ml
Negatif
1 x 102/ml
|
l.
|
Jumlah sel radang
maksimal
|
4 x 105/ml
|
m.
|
Cemaran logam berbahaya, maksimal
|
0,3
0,5
0,5
0,5
|
n.
|
Residu:
-Antibiotika
-Pestisida/insektisida
|
Sesuai dengan aturan yang berlaku
|
o.
|
Kotoran dan benda
asing
|
Negatif
|
p.
|
Uji pemalsuan
|
Negatif
|
q.
|
Titik beku
|
-0,5200C s/d -5,600C
|
r.
|
Uji peroksidase
|
Positif
|
Cemaran
Mikroba pada Susu
Pencemaran dapat berasal dari sapi,
peralatan pemerahan, ruang pe nyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat
dan penanganan oleh manusia. Untuk dapat dikonsumsi, susu harus memenuhi
persyaratan keamanan pangan karena susu mudah terkontaminasi mikroba (bakteri,
kapang, dan khamir), baik patogen maupun non patogen dari lingkungan (peralatan
pemerahan, operator, dan ternak), residu pestisida, logam berat dan aflatoksin
dari pakan serta residu antibiotik saat pengobatan penyakit pada ternak.
Kandungan mikroba yang tinggi menyebabkan susu cepat rusak sehingga Industri
Pengolahan Susu (IPS) menolak atau tidak dapat menerima atau membeli susu dari
peternak. Akibatnya, sebagian besar IPS mengguna kan bahan dasar susu impor.
Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan susu,
yang ditandai oleh perubah an rasa, aroma, warna, konsistensi, dan penampakan.
Oleh karena itu, susu segar perlu mendapat penanganan dengan benar, antara lain
pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu (pasteurisasi) untuk membunuh mikroba
yang ada. Apabila tidak tersedia pendingin, setelah diperah susu dapat diberi
senyawa thiosianat dan hidrogen peroksida untuk memaksimalkan kerja
laktoperoksidase (enzim dalam susu yang bersifat bakteriostatik). Namun
penggunaan senyawa tersebut masih dikaji terutama efektivitas dan residu nya.
Mikroba patogen yang umum mencemari susu adalah E.coli. Standar Nasional Indonesia SNI 01- 6366-2000 mensyaratkan
bakteri E.coli tidak terdapat dalam
susu dan produk olahannya. SNI ini mensyaratkan ambang batas cemaran mikroba
yang diperbolehkan dalam susu adalah 3 x 104 CFU/g. Syarat mutu
produk olahan susu seperti keju dan susu bubuk ditetapkan dalam SNI
01-2980-1992 dan SNI 01-3775-1995. Bakteri E.coli
dalam susu maupun produk olahannya dapat menyebabkan diare pada manusia bila
dikonsumsi. Beberapa bakteri patogen yang umum mencemari susu adalah Brucella sp., Bacillus cereus, Listeria
monocytogenes, Campylo bacter sp., Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. Bahan baku susu
pasteurisasi di beberapa produsen susu mengandung total mikroba 104-106
CFU/g susu, namun proses pasteurisasi dapat menurunkan kandungan mikroba hingga
0-103 CFU/g susu. Berdasarkan SNI 01-6366-2000, susu pasteurisasi
yang dihasilkan oleh produsen susu aman dikonsumsi. Proses pengolahan susu
memungkinkan terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya.
PENINGKATAN NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SUSU SEGAR
Susu merupakan komoditas strategis
yang bernilai gizi tinggi dan diperlukan sebagai asupan gizi tubuh
ini hanya dikonsumsi sekitar 7-8 liter/kapita/tahun oleh masyarakat Indonesia,
sangat rendah jika dibandingkan dengan Malaysia dengan tingkat konsumsi yang
telah mencapai 20 liter/kapita/tahun. Kebutuhan susu Nasional belum tercukupi
100% oleh peternak lokal. Dari sekitar 2,5 juta ton susu yang dibutuhkan oleh
masyarakat Indonesia, hanya 26% yang dapat dipenuhi oleh peternak, selebihnya
tergantung impor. Susu impor yang dimaksud adalah bahan baku IPS dalam bentuk
skim milk powder, dan bentuk jadi/olahan (keju, susu bubuk formula, yogurt,
dan sebagainya).
Bahan pangan (susu) mempunyai nilai tambah apabila susu tersebut
diolah menjadi produk olahan yang mempunyai nilai guna dan nilai ekonomi yang
lebih tinggi, misalnya susu diproses menjadi susu fermentasi, yoghurt, susu
pasteurisasi. Sedangkan bahan pangan (susu) mempunyai daya saing, apabila
susu diolah menjadi produk dengan bargaining
positioning yang lebih tinggi, atau mempunyai karakteristik lebih baik, mempunyai
nilai fungsional tinggi (menjadi pangan fungsional), misalnya susu probiotik,
yoghurt yang ditambah L.casei dan atau L.plantarum (bersifat
probiotik).
Industri
Pengolahan Susu (IPS) dan Pemasaran Susu.
Sifat susu yang mudah rusak serta masih
rendahnya kualitas susu yang dihasilkan membuat posisi tawar peternak menjadi
rendah. Hal ini juga yang membuat peternak sangat bergantung pada IPS
(industri pengolahan susu). Selama ini sekitar 80% susu dari koperasi
disetorkan ke IPS, 5% untuk pakan pedet, 10% digunakan sebagai bahan baku
koperasi dan sisanya dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Susu dengan
kualitas yang bagus akan mendapatkan kompensasi yang tinggi dari IPS. Bahkan
ada salah satu IPS yang memberikan subsidi pakan sebesar Rp 200,00/ liter
susu bagi peternak yang susunya dikategorikan dalam grade yang tinggi.
Kualitas tersebut biasanya berdasarkan pada kandungan total padatan susu
(Total Solid, TS) dan jumlah bakteri susu (Total Plate Count/TPC). Jika
kandungan TS susu tinggi dan jumlah bakteri susu rendah, maka susu akan
dibayar dengan harga yang tinggi. Harga susu dengan kualitas yang baik telah
mencapai Rp 3200 di tingkat peternak. Pemalsuan susu oleh peternak juga
sering terjadi, untuk mendapatkan harga jual susu tinggi. Praktek pemalsuan
dilakukan dengan menambahkan air atau santan untuk meningkatkan volume susu.
Penambahan bahan-bahan tersebut tentunya tidak hanya meningkatkan jumlah
mikroorganisme, namun juga penurunan TS sehingga harga tawar akan semakin
murah dan kualitas semakin rendah. Untuk mengatasi kecurangan tersebut
koperasi bekerja sama dengan IPS secara berkala mengadakan pembinaan di
tingkat peternak. Selain menentukan harga, IPS sebagai instansi yang juga
membutuhkan susu, memiliki peran untuk mengembangkan usaha peternak lokal
melalui Agriservice, yaitu selain memfasilitasi koperasi berupa peralatan
untuk menjamin kualitas susu seperti cooling unit, milk can, dan mobil tangki
susu dilengkapi dengan sistem double jacket, sistem reward dan punishment
harga juga diterapkan oleh IPS untuk memotivasi peternak agar tetap
meningkatkan dan menjaga kualitas susu yang disetorkan. Kedepannya GKSI
mengharapkan adanya usaha bersama antara koperasi dan IPS untuk pengembangan
populasi sapi perah dan pembesaran pedet (rearing)
untuk peningkatan produktivitas yang berkesinambungan.
Pengolahan
susu
Jarang sekali masyarakat di Indonesia
mengkonsumsi susu segar. Susu lebih banyak dikonsumsi dalam berbagai bentuk
produk pengolahan, seperti yoghurt atau susu
fermentasi lainnya, es krim, permen susu, susu pasteurisasi maupun susu UHT.
Pengembangan produk daerah dinilai sangat potensial untuk meningkatkan angka
konsumsi susu di Indonesia, seperti misalnya produk dadih yang banyak disukai
oleh masyarakat Sumatera Barat, dangke yang merupakan hasil fermentasi susu
menggunakan getah pepaya atau enzim papain milik masyarakat Enrekang,
Sulawesi Selatan dan susu goreng yang diperkenalkan oleh masyarakat NTT.
Beberapa produk unggulan daerah tersebut memiliki keunikan sehingga dapat
dikembangkan lebih lanjut . Perubahan pola konsumsi susu bubuk yang sangat
mendominasi sekarang ini kearah susu segar harus terus dilakukan. Budaya
minum susu segar perlu banyak disosialisasikan, terutama untuk anak usia
sekolah yang sangat membutuhkan protein untuk pertumbuhannya. Pemerintah
sudah sering berpromosi mengenai pentingnya konsumsi susu segar bagi tubuh,
baik melalui penyebaran leaflet-leaflet maupun pembagian susu gratis bagi
anak usia sekolah. Untuk meningkatkan angka konsumsi susu Nasional dan untuk
memajukan agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia, peran dan dukungan
dari berbagai pihak sangat dibutuhkan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar