Kamis, 24 Januari 2013

NARA SUMBER DI BANDUNG



Teknologi pengolahan untuk peningkatan nilai tambah dan daya saing MENDUKUNG pemasaran serta
konsumsi Susu DI INDONESIA

ABUBAKAR
Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor

ABSTRAK
         Tiga pilar sistem pengawasan bahan pangan yang menjadi prioritas utama yaitu: (1) Produsen, sistem pengawasan yang dilakukan oleh internal produsen pangan berpegang pada metode penanganan dan produksi yang baik atau good handling practices (GHP) dan good manufacturing practices (GMP) agar setiap penyimpangan dari standar mutu dapat segera diketahui. (2) Pemerintah, bertanggung jawab terhadap pengaturan, pembinaan, regulasi,standar mutu pangan, evaluasi produk sebelum diedarkan, pengawa san, pengambilan sampel untuk uji laboratorium, penetapan bahan-bahan yang dilarang digunakan pada proses produksi pangan. (3) Konsumen, masyarakat memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya dalam mewujud kan perlindungan bagi orang perseorangan yang mengkonsumsi pangan. Khusus standar mutu susu segar-olahan susu, tujuan peningkatan mutu susu adalah mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan susu melalui perlakuan dan teknologi yang bertitik tolak pada penyebab kerusakan. Sampai saat ini produksi susu segar dirasakan pemanfaatannya belum optimal oleh karena sifatnya mudah rusak, sehingga masih terdapat susu segar yang dibuang, beragamnya mutu produk, keamanannya belum terjamin (TPC masih tinggi), belum diterapkannya manajemen mutu secara benar, kurang berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, serta lemahnya sistem pemasaran, sehingga belum sesuai dengan SNI 01-3141-1998 dan SNI 01-6366-2000. Untuk itu diperlukan strategi, kebijakan dan program teknologi pascapanen (penanga nan-pengolahan) dan penerapan manajemen mutu secara konsisten sejak ditingkat produsen, perantara/pengumpul, koperasi, IPS selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan berkesinambungan sehingga susu segar dan olahan susu sesuai SNI, punya nilai tambah dan daya saing yang tinggi sehingga dapat mendukung pemasaran dan konsumsi susu.

Kata kunci: Susu, pengolahan, nilai tambah, daya saing, pemasaran




*Makalah disampaikan pada: Kegiatan “Koordinasi Teknis dan Manajemen Penanganan  Pascapanen Produk Ternak Perah (Susu)”,di Bandung tgl. 8-11 Desember 2010.





PENDAHULUAN

        Tingkat konsumsi susu segar masyarakat Indonesia terus meningkat. Meski begitu, dibandingkan dengan konsumsi susu di banyak negara lain, Indonesia masih tertinggal jauh. Saat ini tingkat konsumsi susu segar masyarakat Indonesia adalah 10,47 liter /kapita/ tahun. Konsumsi susu tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 yang baru mencapai 7,7 liter/kapita/tahun. Peningkatan konsumsi susu itu masih jauh tertinggal dibandingkan dengan konsumsi susu penduduk Malaysia serta di negara-negara maju seperti Jepang dan AS. Saat ini tingkat konsumsi susu segar masyarakat Malaysia mencapai 27 liter/ kapita/ tahun, Jepang 37 liter/kapita/ tahun, AS 83,9 liter/kapita/tahun, dan Belanda 120 liter/kapita/ tahun.
       Menurut Menteri Pertanian, tingkat konsumsi susu segar masyarakat Indonesia perlu terus ditingkatkan, selain untuk menjaga kesehatan, mengkonsumsi susu dapat mencerdaskan.  Sampai  saat ini pemasok susu terbesar di Indonesia berasal dari pulau Jawa, dari 95 koperasi susu di pulau Jawa, 45 berada di Jawa Timur, 25 di Jawa Tengah dan 25 di Jawa Barat dengan produksi 1-1,2 juta liter/hari. Jumlah ini akan bertambah seiring dengan kenaikan harga susu, karena adanya kesadaran para peternak dan pengusaha untuk meningkatkan jumlah sapi perah sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Sedangkan Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Riau, Lampung, Kalimantan Selatan, Bali, dan Gorontalo merupakan beberapa daerah selain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang dijadikan daerah pengembangan sentra produksi susu (Anonymous, 2008).  
        Pelaksanaan program yang telah ditetapkan pemerintah secara konsisten, diperkirakan dapat meningkatkan produksi susu domestik hingga 40% di tahun 2010, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan susu nasional hingga 100% diperlukan populasi sapi sekitar 4 kali dari populasi yang ada sekarang (377.772 ekor), yaitu sekitar 2 juta ekor sapi. Pengembangan sapi yang direncanakan tersebut juga dirancang untuk dapat meningkatkan konsumsi susu 50 ml/hari/kapita atau sekitar 25% dari konsumsi ideal 200 ml/hari/kapita mulai Tahun 2008. Pada tahun 2010 populasi penduduk akan mencapai 240 juta (Pertumbuhan 1,49% /tahun), 91,2 juta diantaranya adalah generasi muda usia wajib sekolah (<19 1="" 4="" gelas="" hari="" idealnya="" juta="" konsumsi="" memerlukan="" span="" susu="" tahun="" ton="">       
       Pengembangan produk susu daerah dinilai sangat potensial untuk meningkatkan angka konsumsi susu di Indonesia, seperti misalnya produk dadih yang banyak disukai oleh masyarakat Sumatera Barat, dangke yang merupakan hasil fermentasi susu menggunakan getah pepaya atau enzim papain milik masyarakat Enrekang, Sulawesi Selatan dan susu goreng yang diperkenalkan oleh masyarakat NTT. Beberapa produk unggulan tersebut memiliki keunikan sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut. Perubahan pola konsumsi susu bubuk yang sangat mendominasi sekarang ini kearah susu segar harus terus dilakukan. Budaya minum susu segar perlu banyak disosialisasikan, terutama untuk anak usia sekolah yang sangat membutuhkan protein untuk pertumbuhannya. Pemerintah sudah sering berpromosi mengenai pentingnya konsumsi susu segar bagi tubuh, baik melalui penyebaran leaflet-leaflet maupun pembagian susu gratis bagi anak usia sekolah. Untuk meningkatkan angka konsumsi susu nasional dan untuk memajukan agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia, peran dan dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan (Anonymous, 2009).
        Untuk meningkatkan mutu dan keamanan susu segar dapat diupayakan melalui penerapan teknologi pascapanen dan penerapan manajemen mutu pada tahap pemerahan, penanganan, pengolahan, pengemasan, penyimpan an dingin dan transportasi.  Indonesia telah mempunyai SNI 01-3141-1998  tentang standar mutu susu segar dan SNI 01-6366-2000  tentang batas mak simum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada keseluruhan tahap proses produksi merupakan usaha perbaikan manajemen penanganan susu segar, bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk pertanian dan menjamin keamanan pangan (Anonymous, 2002).  
KONDISI, MASALAH MUTU DAN KEAMANAN SUSU SAPI SEGAR

Kondisi dan Masalah
        Sebagian besar susu segar dihasilkan dari peternakan sapi perah rakyat dengan kepemilikan beberapa ekor sampai belasan ekor, dengan modal yang rendah mengakibatkan kandang, peralatan pemerahan, kualitas SDM, ke tersediaan air sangat terbatas mengakibatkan rendahnya mutu susu yang dihasilkan terutama TPC tinggi sehingga test alkohol positif. Hal ini yang memicu harga susu rendah bahkan susu dibuang karena penolakan susu oleh IPS. Konsumsi susu segar paling besar adalah IPS, sehingga per syaratan-persyaratan yang ditentukan oleh IPS harus yang di sepakati antara peternak melalui koperasi dan IPS. Adanya sikap ”dengan cara sederhana dan seadanya seperti yang dilakukan setiap hari saja susu yang dihasilkan dibeli oleh koperasi (laku dijual)”, anggapan salah tersebut perlu diubah, diperbaiki dan disadarkan kembali mengenai makna keamanan pangan yang akan berimbas terhadap peningkatan pendapatan peternak (bonus harga atas mutu dan keamanan susu yang baik).
        Menurut Dirjenak bahwa 80% sapi laktasi Indonesia menderita mastitis subklinis. Mastitis pada ambing merupakan masalah utama kesehatan ternak yang dapat menurunkan produksi susu sebesar 20%. Hal ini sangat terkait dengan kebersihan kandang dan peralatan yang digunakan saat pemerahan sangat menentukan jumlah total bakteri susu yang dihasilkan. Sampai saat ini fasilitas, infrastruktur dan penerapan hygiene sanitasi penanganan susu segar pada tingkat TPS (tempat penampungan susu) yang masih terbatas dan belum efektif, sekitar 30% susu segar dalam negeri memiliki TPC (Total Plate Count) lebih dari standar yang berlaku di Indonesia (SNI, harus kurang dari 1 Juta CFU/ml). Residu antibiotik yang terdapat pada susu juga mulai diperhatikan oleh pemerintah, untuk itu peningkatan pembinaan teknis dan pelatihan-pelatihan, khususnya dalam penerapan hygiene sanitasi saat pemerahan, sebagai upaya untuk menjamin keamanan dan mutu susu segar baik oleh Dinas Peternakan Daerah maupun oleh Direktorat Jenderal Peternakan perlu dilakukan. GKSI sendiri untuk menjamin kualitas susu di tingkat peternak, dilakukan Quality Control terhadap pemberian pakan, sanitasi kandang, kesehatan sapi dan peternak serta lingkungan oleh penyuluh teknis di tiap-tiap koperasi primer. Sedangkan ditingkat pusat, dilakukan negosiasi secara kontinu terhadap pemerintah dalam pemberantas an mastitis klinis, sub klinis serta penyakit keguguran (Brucellosis). ”Dengan peningkatan kesehatan dan pemberantasan mastitis, kenaikan produksi susu akan meningkat 10% tanpa harus menambah jumlah sapi” (Anonymous, 2009).
Peranan teknologi pengolahan dalam peningkatan nilai tambah dan daya saing susu sapi SEGAR

Peranan Teknologi Pengolahan
        Pada umumnya lokasi produksi susu berada jauh dari konsumen, dengan jarak tertentu yang sebagian besar konsumen umumnya berada diperkotaan. Jarak dan waktu tempuh akan memberikan konsekuensi tertentu terhadap sifat fisik, sifat kimia dan sifat mikrobiologis sebagai salah satu indikator mutu dan keamanan susu. Menurut Buckle et al., (1985), susu merupakan bahan makanan mudah dan cepat rusak, karena mengandung protein, lemak, mineral, air yang mudah bereaksi, terdegradasi, mendorong aktivitas enzim serta merupakan media yang baik untuk perkembangan mikroba, terutama pada kondisi lingkungan dengan suhu dan kelembaban tinggi. Oleh sebab itu teknologi pascapanen sebagai suatu inovasi, mulai dari pemerahan, penanganan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pengawetan hingga transportasi sangat menentukan tingkat kerusakan, mutu dan nilai ekonomi susu segar. Proses pemerahan, penanganan dan pengolahan susu di Insonesia, belum mendapat sentuhan inovasi teknologi yang memadai, oleh karena keterbatasan sarana/ peralatan dan tempat yang kurang memenuhi syarat. Oleh karena masih banyak dijumpai susu segar yang belum sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
       Untuk memperoleh susu yang bermutu tinggi diperlukan manajemen yang baik meliputi sanitasi alat-alat operasional pemerahan dan lingkungan (pakan, kandang, operator), kebersihan dan kesehatan ternak, serta kebersih an sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan (Henderson, 1981). Hasil penelitian tahun 2005 di Kabupaten Bandung, diperoleh perubahan perilaku peternak dalam manajemen/ penanganan susu yaitu setelah dilakukan modifikasi dan sosialisasi Standard Operational Procedure (SOP) yang sebelumnya telah disusun dan diterbitkan oleh Ditjen Peternakan Deptan, Dinas Peternakan Propinsi Jabar dan JICA (SOP lama). Salah satu parameter perubahan prilaku peternak tampak dengan perubahan nilai TPC susu menjadi lebih baik yaitu pagi 1.600.000 CFU/ml dan sore 1.580.000 CFU/ml dari nilai TPC susu semula pagi 4.220.000 CFU/ml dan sore 4.270.000 CFU/ml. Modifikasi SOP meliputi pembatasan cakupan  hanya pada manajemen pemerahan, menyederhanakan bahasa agar mudah dimengerti oleh peternak/pengumpul, serta mengintroduksi alat pemerahan sederhana dan pemanfaatan air yang telah didinginkan sebagai pendingin susu sementara sebelum diambil/disetor kepada pengumpul (Sri Usmiati et al., 2006). Khusus penggunaan alat pemerahan sederhana yang inovatif, ternyata kinerja alat pemerah sudah cukup baik ditinjau dari nilai TPC susu yang jauh lebih rendah yaitu pada pemerahan pagi mengandung TPC 2.260.000 CFU/ml dan  pemerahan sore mengandung TPC 2.300.000 CFU/ml dibandingkan nilai TPC dengan pemerahan secara manual yaitu pemerahan pagi dengan TPC 31.100.000 CFU/ml dan sore TPC nya 49.700.000 CFU/ml, walaupun kecepatan pemerahan susu dengan alat perah sederhana masih lebih rendah yaitu 0,77 liter/menit dibandingkan pemerahan susu secara manual yaitu 0,99 liter/menit (Sri Usmiati et al., 2006).
Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan
        Indikator mutu susu sapi segar terkait dengan: a) mutu fisik, yaitu warna, aroma, penampakan, kesegaran, konsistensi, b) mutu kimia, yaitu kandungan gizi, aroma, rasa, bebas cemaran logam berat; c) mutu biologi, yaitu bebas dari kontaminasi mikroba patogen yang membahayakan kesehatan.
        Tujuan peningkatan mutu susu adalah mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan pada  susu melalui perlakuan dan tek nologi yang bertitik tolak pada penyebab kerusakan. Indikator yang di guna kan adalah standar mutu pada proses produksi, pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum (Anonymous, 1993). Jaminan mutu merupakan kegiatan yang terus menerus dilakukan agar fungsi mutu dapat dilakukan dengan baik untuk membangun kepercayaan konsumen (Juran, 1988). Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability (keandalan), respon siveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya diri) dan emphaty (keramah tamahan) (Anonymous, 1992). Menurut Ishikawa (1990) jaminan mutu merupakan suatu jaminan bahwa produk akan dibeli konsumen dengan penuh kepercayaan dan diguna kan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dengan penuh keyakinan dan kepuasan. Tiga langkah utama dalam peningkatan mutu yaitu, menetapkan standar, menilai kesesuaian atau kinerja operasi (mengukur dan membandingkan dengan standar) dan melakukan tindakan koreksi bila diperlukan. 
Standar mutu dan Keamanan susu
        Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan selain memperhatikan kuantitas, kualitas susu perlu mendapat perhatian termasuk faktor keamanan produk yang bersangkutan, antara lain bebas dari cemaran kimia, fisik dan mikrobiologis. Keamanan pangan susu adalah interaksi antara status gizi, toksisitas mikrobiologis dan kimiawi yang saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi. Kualitas susu memperhatikan asas Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). Keamanan pangan susu ditentukan pada saat-saat pemerahan susu, pengolahan produk menjadi bahan pangan, serta ketika melalui rantai pemasaran. Suatu konsep jaminan mutu yang khusus diterapkan untuk pangan dikenal dengan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) yaitu sistem pengawasan mutu industri pangan yang menjamin keamanan pangan dan mengukur bahaya atau resiko yang mungkin timbul, serta menetapkan pengawasan tertentu dalam usaha pengendalian mutu pada seluruh rantai produksi pangan (Anonymous, 2002). 
        UU Pangan No.7 Th 1996 telah ditetapkan dan kemudian dijabarkan dalam PP No. 28 Th 2004. Tiga unsur penting yang digunakan dalam pembuatan UU tersebut adalah: 1) pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, 2) pangan yang aman, bermutu, bergizi dan beragam merupakan prasyarat utama untuk kesehatan, dan 3) pangan sebagai komoditas dagang memerlukan sistem perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab. Kesadaran terhadap mutu harus dimulai pada tahap sangat awal yaitu gagasan konsep produk setelah persyaratan-persyaratan konsumen di definisikan (Suratmono,2005). Khusus untuk mutu dan keamanan pangan, WTO telah mengembangkan dua kesepakatan yaitu SPS (Sanitary and Phytosanitary) untuk keamanan pangan dan TBT (Technical Barier To Trade) untuk mutu pangan. Kedua kesepakatan tersebut dikembangkan antara lain melalui ISO-9000, ISO-2000, HACCP, GMP, dan TQM dalam pembinaan mutu dan keamanan pangan (Jablonski, 1991). Persyaratan mutu susu berdasarkan SNI tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu susu segar ( SNI 01-3141-1998 )
No
Karakteristik
Syarat
a.
Berat Jenis (pada suhu 27,50C)
1,028
b.
Kadar lemak minimal (%)
3,0
c.
Kadar bahan kering tanpa lemak minimal (%)
8,0
d.
Kadar protein minimal (%)
2,7
e.
Warna,bau,rasa dan kekentalan
Tidak ada perubahan
f.
Derajat asam
6-70 SH
g.
Uji Alkohol (70%)
Negatif
h.
Uji katalase maksimal
3 (cc)
i.
Angka refraksi
36-38
j.
Angka reduktase
2-5 jam
k.
Cemaran mikroba, maksimum:
     1.Total kuman
     2. Salmonella
     3. E.coli (patogen)
     4. Caliform
     5. Streptococcus Group B
     6. Staphylococcus aureus

1 juta CFU/ml
Negatif
Negatif
20/ml
Negatif
1 x 102/ml
l.
Jumlah sel radang maksimal
4 x 105/ml
m.
Cemaran logam berbahaya, maksimal
  1. Timbal (Pb), ppm
  2. Seng (Zn), ppm
  3. Merkuri (Hg), ppm
  4. Arsen (As), ppm

                 0,3
0,5
0,5
0,5
n.
Residu:
-Antibiotika
-Pestisida/insektisida

Sesuai dengan aturan yang berlaku
o.
Kotoran dan benda asing
Negatif
p.
Uji pemalsuan
Negatif
q.
Titik beku
-0,5200C s/d -5,600C
r.
Uji peroksidase
Positif

Cemaran Mikroba pada Susu
        Pencemaran dapat berasal dari sapi, peralatan pemerahan, ruang pe nyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat dan penanganan oleh manusia. Untuk dapat dikonsumsi, susu harus memenuhi persyaratan keamanan pangan karena susu mudah terkontaminasi mikroba (bakteri, kapang, dan khamir), baik patogen maupun non patogen dari lingkungan (peralatan pemerahan, operator, dan ternak), residu pestisida, logam berat dan aflatoksin dari pakan serta residu antibiotik saat pengobatan penyakit pada ternak. Kandungan mikroba yang tinggi menyebabkan susu cepat rusak sehingga Industri Pengolahan Susu (IPS) menolak atau tidak dapat menerima atau membeli susu dari peternak. Akibatnya, sebagian besar IPS mengguna kan bahan dasar susu impor. Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan susu, yang ditandai oleh perubah an rasa, aroma, warna, konsistensi, dan penampakan. Oleh karena itu, susu segar perlu mendapat penanganan dengan benar, antara lain pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu (pasteurisasi) untuk membunuh mikroba yang ada. Apabila tidak tersedia pendingin, setelah diperah susu dapat diberi senyawa thiosianat dan hidrogen peroksida untuk memaksimalkan kerja laktoperoksidase (enzim dalam susu yang bersifat bakteriostatik). Namun penggunaan senyawa tersebut masih dikaji terutama efektivitas dan residu nya. Mikroba patogen yang umum mencemari susu adalah E.coli. Standar Nasional Indonesia SNI 01- 6366-2000 mensyaratkan bakteri E.coli tidak terdapat dalam susu dan produk olahannya. SNI ini mensyaratkan ambang batas cemaran mikroba yang diperbolehkan dalam susu adalah 3 x 104 CFU/g. Syarat mutu produk olahan susu seperti keju dan susu bubuk ditetapkan dalam SNI 01-2980-1992 dan SNI 01-3775-1995. Bakteri E.coli dalam susu maupun produk olahannya dapat menyebabkan diare pada manusia bila dikonsumsi. Beberapa bakteri patogen yang umum mencemari susu adalah Brucella sp., Bacillus cereus, Listeria monocytogenes, Campylo bacter sp., Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. Bahan baku susu pasteurisasi di beberapa produsen susu mengandung total mikroba 104-106 CFU/g susu, namun proses pasteurisasi dapat menurunkan kandungan mikroba hingga 0-103 CFU/g susu. Berdasarkan SNI 01-6366-2000, susu pasteurisasi yang dihasilkan oleh produsen susu aman dikonsumsi. Proses pengolahan susu memungkinkan terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya.
PENINGKATAN NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SUSU SEGAR
       Susu merupakan komoditas strategis yang bernilai gizi tinggi dan diperlukan sebagai asupan gizi tubuh ini hanya dikonsumsi sekitar 7-8 liter/kapita/tahun oleh masyarakat Indonesia, sangat rendah jika dibandingkan dengan Malaysia dengan tingkat konsumsi yang telah mencapai 20 liter/kapita/tahun. Kebutuhan susu Nasional belum tercukupi 100% oleh peternak lokal. Dari sekitar 2,5 juta ton susu yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, hanya 26% yang dapat dipenuhi oleh peternak, selebihnya tergantung impor. Susu impor yang dimaksud adalah bahan baku IPS dalam bentuk skim milk powder, dan bentuk jadi/olahan (keju, susu bubuk formula, yogurt, dan sebagainya).
      Bahan pangan (susu) mempunyai nilai tambah apabila susu tersebut diolah menjadi produk olahan yang mempunyai nilai guna dan nilai ekonomi yang lebih tinggi, misalnya susu diproses menjadi susu fermentasi, yoghurt, susu pasteurisasi. Sedangkan bahan pangan (susu) mempunyai daya saing, apabila susu diolah menjadi produk dengan bargaining positioning yang lebih tinggi, atau mempunyai karakteristik lebih baik, mempunyai nilai fungsional tinggi (menjadi pangan fungsional), misalnya susu probiotik, yoghurt yang ditambah L.casei dan atau L.plantarum (bersifat probiotik).
Industri Pengolahan Susu (IPS) dan Pemasaran Susu.
Sifat susu yang mudah rusak serta masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan membuat posisi tawar peternak menjadi rendah. Hal ini juga yang membuat peternak sangat bergantung pada IPS (industri pengolahan susu). Selama ini sekitar 80% susu dari koperasi disetorkan ke IPS, 5% untuk pakan pedet, 10% digunakan sebagai bahan baku koperasi dan sisanya dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Susu dengan kualitas yang bagus akan mendapatkan kompensasi yang tinggi dari IPS. Bahkan ada salah satu IPS yang memberikan subsidi pakan sebesar Rp 200,00/ liter susu bagi peternak yang susunya dikategorikan dalam grade yang tinggi. Kualitas tersebut biasanya berdasarkan pada kandungan total padatan susu (Total Solid, TS) dan jumlah bakteri susu (Total Plate Count/TPC). Jika kandungan TS susu tinggi dan jumlah bakteri susu rendah, maka susu akan dibayar dengan harga yang tinggi. Harga susu dengan kualitas yang baik telah mencapai Rp 3200 di tingkat peternak. Pemalsuan susu oleh peternak juga sering terjadi, untuk mendapatkan harga jual susu tinggi. Praktek pemalsuan dilakukan dengan menambahkan air atau santan untuk meningkatkan volume susu. Penambahan bahan-bahan tersebut tentunya tidak hanya meningkatkan jumlah mikroorganisme, namun juga penurunan TS sehingga harga tawar akan semakin murah dan kualitas semakin rendah. Untuk mengatasi kecurangan tersebut koperasi bekerja sama dengan IPS secara berkala mengadakan pembinaan di tingkat peternak. Selain menentukan harga, IPS sebagai instansi yang juga membutuhkan susu, memiliki peran untuk mengembangkan usaha peternak lokal melalui Agriservice, yaitu selain memfasilitasi koperasi berupa peralatan untuk menjamin kualitas susu seperti cooling unit, milk can, dan mobil tangki susu dilengkapi dengan sistem double jacket, sistem reward dan punishment harga juga diterapkan oleh IPS untuk memotivasi peternak agar tetap meningkatkan dan menjaga kualitas susu yang disetorkan. Kedepannya GKSI mengharapkan adanya usaha bersama antara koperasi dan IPS untuk pengembangan populasi sapi perah dan pembesaran pedet (rearing) untuk peningkatan produktivitas yang berkesinambungan.
Pengolahan susu
      Jarang sekali masyarakat di Indonesia mengkonsumsi susu segar. Susu lebih banyak dikonsumsi dalam berbagai bentuk produk pengolahan, seperti yoghurt atau susu fermentasi lainnya, es krim, permen susu, susu pasteurisasi maupun susu UHT. Pengembangan produk daerah dinilai sangat potensial untuk meningkatkan angka konsumsi susu di Indonesia, seperti misalnya produk dadih yang banyak disukai oleh masyarakat Sumatera Barat, dangke yang merupakan hasil fermentasi susu menggunakan getah pepaya atau enzim papain milik masyarakat Enrekang, Sulawesi Selatan dan susu goreng yang diperkenalkan oleh masyarakat NTT. Beberapa produk unggulan daerah tersebut memiliki keunikan sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut . Perubahan pola konsumsi susu bubuk yang sangat mendominasi sekarang ini kearah susu segar harus terus dilakukan. Budaya minum susu segar perlu banyak disosialisasikan, terutama untuk anak usia sekolah yang sangat membutuhkan protein untuk pertumbuhannya. Pemerintah sudah sering berpromosi mengenai pentingnya konsumsi susu segar bagi tubuh, baik melalui penyebaran leaflet-leaflet maupun pembagian susu gratis bagi anak usia sekolah. Untuk meningkatkan angka konsumsi susu Nasional dan untuk memajukan agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia, peran dan dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan.

Solusi Pemanfaatan Susu Kualitas Rendah Menjadi Produk olahan yang Bernilai Ekonomis

      Apa yang terfikir jika mendengar kata“Empat Sehat Lima Sempurna”? Tentu saja itu adalah menu makanan sehat yang terdiri dari nasi, sayuran, lauk-pauk, buah – buahan dan susu. Susu memang layak menjadi penyempurna karena susu memiliki kandungan nutrisi yang lengkap dibandingkan minuman lainnya sehingga susu memiliki banyak khasiat yang sangat bermanfaat bagi tubuh.Namun demikian, susu juga merupakan produk yang mudah rusak, sehingga memerlukan penanganan dan pengolahan secara cepat. Transportasi dan penyimpanan, merupakan faktor kritis yang berpengaruh terhadap mutu susu. Usaha − usaha pengolahan susu semakin berkembang pada skala rumah tangga dan skala kecil dengan berbagai ragam produk olahannya. Susu dapat diolah menjadi permen caramel, dodol, yoghurt, kerupuk susu dan lain – lain. Jika dodol susu dan permen karamel dibuat dari susu murni berkualitas, pembuatan kerupuk susu justru memanfaatkan susu yang tidak memenuhi standar kualitas atau diistilahkan dengan susu pecah. Pengolahan susu pecah menjadi kerupuk susu  dapat dilakukan di sentra – sentra penghasil susu seperti Boyolali. Petani yang susu ternaknya tidak memenuhi standar Koperasi Pengolah Susu (KPS), dapat tetap memanfaatkan susu pecah tersebut. Usaha ini merupakan solusi pemanfaatan bahan kualitas rendah, untuk dijadikan olahan kualitas tinggi dan lebih berdaya saing serta mengurangi ketergantungan kepada Koperasi Pengolah Susu (KPS). Disamping itu pemanfaatan susu pecah bertujuan untuk meningkatkan kandungan protein dari kerupuk. Kerupuk susu merupakan kerupuk yang dibuat dengan penambahan susu sebagai sumber protein yang mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tubuh seperti kalsium, fospor, dll. Sehingga dengan mengonsumsi kerupuk susu maka diharapkan akan didapatkan manfaat tidak hanya karbohidrat, tetapi juga kandungan protein yang tinggi yang terkandung didalamnya. Dengan proses pengolahan pangan yang tepat kerupuk susu dapat bertahan hingga berbulan-bulan tanpa bahan pengawet.
STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM pengolahan,peningkatan nilai tambah dan daya saing MENDUKUNG pemasaran
Susu Segar
Strategi.   
       Untuk memproduksi susu segar dan hasil olahannya yang bermutu dan baik serta aman bagi konsumen, diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan yang mantap. Hal ini dapat ditempuh  melalui: a) Sosialisasi dan advokasi tentang penerapan mana jemen mutu (GHP, GMP, GDP dan HACCP), pada industri persusuan, baik ditingkat pusat maupun daerah melalui pelatihan, seminar, penyuluhan dan pertemuan-pertemuan berkala dengan peternak rakyat, masyarakat luas, pelaku bisnis serta stakeholder lainnya. b) Pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan manajemen mutu terutama terhadap peternak rakyat, hendaknya dilakukan oleh dinas terkait. c). Melaksanakan secara konsisten perangkat pendukung, yaitu sekitar 12 peraturan perundangan yang berkaitan dengan keamanan pangan dan kesehatan produk-produk peternakan. Di samping peraturan perundangan tersebut, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM mengusulkan/mendirikan suatu Jejaring Keamanan Pangan Nasional, yaitu: (1) Jejaring Intelejen Pangan (Risk Assessment), (2) Jejaring Pengawas an Pangan (Risk Management), (3) Jejaring Promosi Keamanan Pangan (Risk Communication).
Kebijakan dan Program
a). Untuk meningkatkan mutu dan keamanan susu segar dan hasil olahan susu sesuai SNI, maka dipandang ada tiga unsur utama yang terlibat dalam pengamanan /pengendaliannya yaitu: (1) sistem pengendalian yang intensif berupa pengamanan dilakukan sejak pra-produksi, produksi, pascapanen hingga pemasaran (preharvest, postharvest food safety program). Dalam pelaksanaannya sistem pengamanan ditempuh melalui cara pengamatan (surveilance), pemantauan (monitoring) dan pemeriksaan (inspection) terhadap setiap mata rantai pengadaan susu segar sampai pemasaran, (2) pengendalian infrastruktur, antara lain melalui perbaikan perangkat keras, misalnya perbaikan / renovasi kandang ternak, peningkatan kualitas SDM persusuan (3) perangkat pendukung adalah UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, SNI, Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Dirjen Peternakan yang berkaitan erat dengan produksi, mutu dan keamanan susu segar. b). Direktorat Kesmavet telah mencanangkan program keamanan pangan produk ternak dengan membangun Siskesmavet dan Siskeswannas. Kedua sistem ini bersinergi dalam membangun masyarakat yang sehat dalam penyediaan pangan asal ternak yang ASUH. Program ini antara lain melakukan pembina an usaha pengimpor, pengumpul dan penampung, pengedar pangan produk ternak baik segar, olahan, maupun produk siap saji (Suratmono, 2005).  c). Beberapa program yang dapat diusulkan kepada pemerintah dalam pemecah an masalah mutu dan keamanan pangan produk ternak khususnya susu segar ditinjau dari aspek pascapanen: (1) pendidikan, penelitian, me ngembangkan dan membina aplikasi ilmu dan teknologi pascapanen susu segar, (2) menjaga ketersediaan susu segar, (3) melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan susu segar-olahan susu, (4) merencanakan dan melaksanakan program pencegahan masalah persusuan, (5) membentuk sistem pengaturan distribusi produk susu segar-olahan susu yang efisien, (6) melaksanakan penyuluhan keamanan susu segar-olahan susu, (7) menjalin kerjasama internasional di bidang: penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen, perdagangan, teknologi distribusi, teknologi pengelolaan susu, pencegahan dan penanggulangan masalah persusuan (Wiradarya, 2005). d). Perkembangan industri pangan khususnya penanganan dan pengolahan produk susu sangat pesat, dengan ditemukannya teknologi proses, baik proses biologi, kimia maupun fisika yang semuanya bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah, baik nilai tambah gizi, ekonomi, sosial maupun keamanan pangan susu. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dan pengembangan oleh Litbang Pertanian, maupun Perguruan Tinggi, secara terus menerus terhadap teknologi penanganan dan pengolahan produk  susu segar. e). Hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen produk ternak, khususnya penanganan dan pengolahan susu serta model sistem manajemen mutu harus didiseminasikan dan dilakukan promosi kepada stakeholder, pelaku bisnis dan lain-lain. Teknik–teknik diseminasi yang dapat dilakukan berupa penerbitan jurnal, bulletin, leafleat, petunjuk teknis, seminar, penyuluhan, gelar teknologi dan lain sebagainya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.     Untuk menghasilkan susu segar-olahan susu yang memenuhi syarat mutu dan keamanan susu (sesuai SNI), maka manajemen pemeliharaan ternak memegang peran penting, sejak pemeliharaan, pemberian pakan yang berkualitas, pemberian obat-obatan yang sesuai, manajemen perkandangan serta sanitasi peralatan dan pemerahan. Berat jenis, kadar protein, lemak, BKTL, warna, bau, rasa dan kekentalan susu segar sangat ditentukan oleh kualitas pakan ternak. Sedangkan TPC, cemaran logam, antibiotic, pestisida pada susu segar, sangat dipengaruhi oleh kualitas serta keamanan pakan dan air, pemberian obat-obatan, sanitasi pada kandang, ternak, peralatan pemerahan, dan tangan pekerja.
2.  Tuntutan pasar akan mutu dan keamanan susu segar-olahannya semakin tinggi. Sistem manajemen mutu sangat penting dalam mengantisipasi liberalisasi perdagangan dimasa yang akan datang. Oleh karena itu perlu pengkajian yang serius dan komprehensif terhadap kemungkinan penerapannya di Indonesia.
3.    Penanganan dan pengolahan terpadu pada susu segar khususnya pada industri pengolahan susu cukup luas, tetapi faktor mutu, keamanan pangan dan masalah hieginis produk-produk susu belum terbina dengan baik sehingga perlu adanya reorientasi dan reaktualisasi penanganan kesmavet sehingga mutu  dan keamanan susu dan olahannya sesuai SNI
4.    Agribisnis susu segar-olahannya dipengaruhi oleh tiga faktor: (a) terbukanya pasar dalam dan luar negeri terhadap produk susu, baik berbentuk segar maupun olahannya, (b) timbulnya industri pengolahan yang membutuhkan bahan baku produk susu dalam jumlah besar dan kontinyu, (c) perkembangan teknologi kimia, biologi, proses dan mekanisasi yang memungkinkan dilakukannya produksi besar-besaran, serta bisa mengontrol kualitas produk ternak susu.
Saran
1.    Dalam rangka perlindungan konsumen terhadap produk susu yang tidak memenuhi syarat mutu SNI, dan keamanan pangan, pemerintah harus dapat mengawasi secara ketat melalui instansi terkait.
2.    Keamanan pangan adalah hak setiap anggota masyarakat, sehingga peran pemerintah wajib memenuhi hak masyarakat tersebut, seperti tertuang dalam UU Pangan No.7 th 1996 dan PP No 28 th 2004.

DAFTAR  PUSTAKA

Abubakar. 1996. Deteksi antibiotika pada susu. Pros Sem Nas Pet dan Vet. Bogor,18-19 November. Puslitbang Peternakan.
Anonymous. 1992. Hazard Analysis and Critical Control Point System. The National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods. (NACMF). International J. Microbiol. 16:1-23.
Anonymous. 1993. Food Safety Enhancement Program. Guideline and Principles for the Development of HACCP Generic Models. Agriculture Canada. Implementation Manual: Volume 2, p15-16.
Anonymous. 1996. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996. Tentang Pangan. Pemerintah Republik Indonesia.
Anonymous. 2002. Pedoman 1004 - 2002. Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisa  Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP). BSN Jakarta.
Anonymous. 2008. Prospek Pengembangan Sapi Perah di Indonesia. Dirjen Peternakan.  http:// dirjenak. go.id/indek=php?/option.com
Anonymous. 2009. Strategi Nasional Meningkatkan Produksi Susu. Majalah bulanan Food Review, July. http://www.food review.biz/ prevew. php? view.id=122
Buckle, K.A.,  R.A, Edwards, G.H. Fleet and M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan Purnomo dan Adiono. Penerbit UI Press. Jakarta.
Bauman, H.E., 1990. HACCP: Concept, Development and Application. Food Technology .44 (5) :156-158.
Handerson, J.L.1981. 3The Fluid Milk Industries (3rd Ed) Connecticut AVI Publishing, Inc.
Ishikawa, K. 1990. Pengendalian Mutu Terpadu (terjemahan). PT. Remaja, Rosdakarya. Bandung.
Jablonski, J.R., 1991. Implementing Total Quality Management-An Overview. Pfeiffer & Co., San Diego CA. 39 pp
Juran, J.M.,1988. Quality Control Handbook. 4th ed. McGraw-Hill,  New York, NY. 41 pp
Misgiyarta, R.Sunarlim, J. Munarso, Abubakar dan Sri Usmiati. 2005. Status tingkat residu antibiotic pada susu segar. Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 12-13 Sept. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Misgiyarta dan Sri Usmiati. 2008. Status tingkat cemaran logam berat pada susu segar di beberapa KUD di Jawa Barat. Proseding Seminar Nasional Prospek Industri Sapi Perah menuju perdagangan bebas 2020. Kerjasama Puslitbang Peternakan dengan STEKPI, Jakarta 21 April
Sirait, C.H. dan Abubakar. 1989. Perubahan kualitas susu pada jalur pemasaran di daerah Jawa Tengah. Pros Sem Hasil Penelitian Pascapanen II. Bogor,18 Desember. Puslitbang Peternakan
Sri Usmiati dan Widaningrum. 2005. Mutu susu sapi dari peternak anggota koperasi Sarwa Mukti pada pemerahan pagi dan sore : Studi kasus tahun 2004. Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 12-13 Sept. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Sri Usmiati, R. Sunarlim, Pujoyuwono dan Sugiarto. 2006. Perbaikan mutu dan keamanan pangan susu di tingkat peternak dan koperasi susu. Laporan akhir. Sub Kegiatan Kerjasama. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
Sri Usmiati dan Nanan Nurjanah. 2007. Perbandingan kualitas susu sapi peternak anggota KUD Sarwa Mukti dan KSU Tandan Sari : Studi kasus. Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 21-22 Agustus. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Stevenson and Bernard. 1995. HACCP Establishing Hazard Analysis Critical Control Point Program, A Workshop Manual. The Food Processors Institute, Washington, DC. p 23-24.
Suratmono, 2005. Keamanan pangan produk olahan berbasis produk ternak. Pros Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Puslitbang Peternakan, Bogor 14 September 2005. Hlm 44-46
Widaningrum, Sri Usmiati dan Abubakar. 2006. Penerapan HACCP pada proses pemerahan susu sapi di tingkat Peternak (Kasus koperasi susu Sarwa Mukti Kec Cisarua Kab. Bandung 2005). Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 5-6 September. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Wiradarya, T.R., 2005. Keamanan Pangan Produk Peternakan ditinjau dari Aspek Pascapanen: Permasalahan dan Solusi. Pros Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Puslitbang Peternakan, Bogor 14 September 2005. Hlm 29-33
Winarno, F.G dan Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan.  Cetakan 2, M-BRIO PRESS. Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar