Kamis, 19 Januari 2012

SWASEMBADA DAGING 2014



REVITALISASI DAN PENINGKATAN kualitas rumah potong hewan (RPH) MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING 2014

RINGKASAN
Tekad  Indonesia untuk mewujudkan swasembada daging sapi merupakan langkah yang sudah on the right track dan harus didukung sepenuhnya karena sangat terkait dengan ketahanan dan kedaulatan pangan. Sebagai wujud tekad tersebut dan sebagai salah satu bagian dari kebijakan Revitalisasi Pertanian.  Indonesia telah berhasil dalam swasembada daging ayam dan telur, namun data statistika peternakan mengungkapkan bahwa Indonesia belum dapat memenuhi tingkat konsumsi daging yang semakin menanjak tiap tahunnya seiring dengan membaiknya perekonomian masyarakat. Laju konsumsi daging sapi (naik rata-rata 21,30% /tahun) belum dapat tertutupi dengan laju produksi daging sapi dalam negeri (naik rata-rata 16,25%/tahun). Importasi sapi potong dan daging beku dari negara tetangga masih diperlukan untuk menutup kesenjangan antara tingkat konsumsi dengan tingkat produksi. Adanya aturan yang melarang pemotongan sapi betina bertanduk yang produktif juga tidak akan berlaku secara efektif karena sulitnya mencari sapi jantan yang siap potong akan menyebabkan betina produktif pun akan diakali para jagal untuk bisa dipotong di RPH. Seiring dengan otonomi daerah, melalui dana dekonsentrasi maupun APBD, Dinas Peternakan telah mengalokasikan dana kompensasi untuk mengganti dan mengerem pemotongan sapi betina produktif di daerah-nya. Revitalisasi dan peningkatan kualitas rumah potong hewan melalui penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan daging atau product safety pada RPH ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu daging yang dihasilkan, termasuk kehalalan, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen, serta turut menjaga kesehatan manusia dan lingkungan mendukung swasembada daging.Tulisan ini bertujuan dan memberikan masukan serta saran dalam rangka keberhasilan swasembada daging 2014.


DASAR PEMIKIRAN
 
      Kementerian Pertanian melalui Permentan No.19 Tahun 2010 menargetkan swasembada daging sapi pada tahun 2014. Melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada 2014. Upaya swasembada daging sapi akan ditempuh melalui sejumlah program, di antaranya memperbanyak jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Selain itu juga memanfaatkan lahan-lahan terlantar sekitar 7,13 juta ha yang masih potensial digunakan untuk peternakan dan meningkatkan jumlah kelahiran anak sapi menjadi 100.000 ekor dalam lima tahun.
Dengan berbagai upaya ini, populasi sapi potong ditargetkan meningkat dari 12 juta ekor pada tahun 2009 menjadi 14,6 juta ekor pada tahun 2014. Dari berbagai kerja sama, baik dalam maupun luar negeri, Kemtan menargetkan hasil sebanyak 50.000 sapi dalam lima tahun. Di bidang pemanfaatan lahan potensial, integrasi perkebunan sawit dengan peternakan sapi diproyeksikan dapat menghasilkan 50.000 sapi dalam lima tahun. Dinamika  populasi sapi selama kurun waktu 2005-2009 mengalami kenaikan, dari 10,6 juta ekor menjadi 12,6 juta ekor, dilain pihak produksi daging lokal mengalami fluktuatif dimana dari tahun 2005 sampai 2006 mengalami peningkatan 19,2%, lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18,8% dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi hingga 2009 sebesar 19,1%. Impor daging baik yang berasal dari sapi bakalan dan daging selama 2005-2008 mengalami peningkat an rata-rata 10,6%, dan tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5% dibanding tahun 2008. Periode tiga tahun terakhir 2007-2009 laju pertumbuhan penyediaan daging dari produksi lokal lebih rendah dibanding konsumsi.
     Sampai saat ini kondisi sebagian besar rumah potong hewan (RPH) di Indonesia sudah tidak layak operasi. Pemerintah daerah (Pemda) diminta untuk merevitalisasi RPH agar kualitas sapi potong lebih baik. Anggota Komisi IV DPR Herman Khaeron mengungkapkan hal itu ketika meninjau langsung kondisi RPH Ciroyom Kota Bandung dan beberapa RPH lain di wilayah Jawa Barat  (Seputar Indonesia, 26 Agustus 2011). Kondisi RPH, terutama di wilayah Jawa Barat sudah tidak memadai. Dari kontruksi bangunan dan peralatan yang tersedia pada umumnya sudah tidak layak digunakan.“ Peralatan yang digunakan umumnya buatan tahun 1930 an, tentu sudah ketinggalan zaman,” Dengan peralatan yang sudah ketinggalan zaman, kualitas sapi potong yang dihasilkan RPH menjadi diragukan, terutama dari sisi higienitasnya. Kondisi tersebut diperparah dengan sistem sanitasi RPH yang umumnya tidak sesuai standard.“
Limbah yang dihasilkan RPH umumnya tidak melalui pengolahan dan dibuang begitu saja,” Berdasarkan kondisi tersebut,
seharusnya  pemerintah daerah melakukan revitalisasi RPH mulai bangunan hingga peralatan yang digunakan. Jika kondisi tersebut dibiarkan akan berdampak negatif kualitas daging sapi dan berpengaruh pula pada perdagangan sapi internasional seperti halnya kasus penolakan ekspor sapi asal Australia beberapa waktu lalu.
     Untuk mendukung program swasembada daging sapi/kerbau (PSDSK) ttelah dirancang 11 langkah pendekatan yang akan dan telah dilakukan dalam mencapai sasaran. Salah satu langkah yang penting adalah pemberdayaan dan peningkatan kualitas rumah potong hewan (RPH).  Oleh karena itu, tujuan tulisan ini adalah revitalisasi dan peningkatan kualitas RPH  mendukung swasembada daging. 
LANGKAH-LANGKAH MENCAPAI PSDSK 2014

      Ada 11 langkah pendekatan yang akan dilakukan dalam mencapai sasaran PSDSK tahun 2014 yaitu : 1) Pengembangan pembibitan dan penggemukan sapi lokal, 2) Penyediaan bibit sapi melalui KUPS, 3) Optimalisasi insemininasi buatan (IB) dan intensifikasi kawin alam (InKA), 4) Penyediaan dan pengembangan mutu pakan dan air, 5) Pengembangan usaha, 6) Pengembangan integrasi sapi dan tanaman, 7) Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan, 8) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas rumah potong hewan (RPH), 9) Pencegahan pemotongan sapi betina produktif, 10) Pengendalian sapi import bakalan dan daging, 11) Pengendalian distribusi dan pemasaran sapi dan daging. Kegiatan prioritas yang akan dilakukan untuk keberhasilan program ini yaitu melalui penyediaan bakalan/daging sapi lokal, peningkatan produktivitas dan reproduksi sapi lokal, pencegahan pemotongan betina produktif, penyediaan bibit sapi, serta revitalisasi aturan distribusi dan pemasaran ternak/daging sapi.
      Dalam rangka PSDSK 2014, Direktorat Jenderal Peternakan telah membahas penyempurna an blue print kegiatan prioritas pencapaian swasembada daging sapi 2014. Dari blue print terungkap bahwa beberapa skenario akan dilakukan untuk mencapai swasembada daging sapi yaitu yang bersifat pessimistic, sampai dengan optimistic. Diantara dua scenario tersebut terdapat scenario lainnya yaitu most likely. Ketiga scenario ini didasarkan pada scenario produksi domestic dan impor, baik sapi bakalan maupun daging. Skenario pessimistic adalah target-target yang telah ditetapkan yaitu produksi domestic 90% sehingga kita membuka kran import 10%. Skenario most likely sepenuhnya kita mampu memenuhi konsumsi termasuk pengolahan dan tidak diperlukan lagi impor, sehingga dibutuhkan populasi ternak domestic tahun 2014 sebanyak 14,38 juta ekor dan scenario optimistic apabila kita mampu dalam kurun waktu lima tahun mencapai target melebihi tingkat konsumsi masyarakat sehingga memiliki peluang eksport.

REVITALISASI dan peningkatan kualitas rumah potong hewan
Sebagai langkah awal revitalisasi, sudah ada kesepakatan antara pemerintah kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk segera memperhatikan RPH, khususnya RPH di Jawa Barat. Kedepan, berharap, daging sapi potong yang dihasilkan RPH di Jawa Barat disertai sertifikat halal berdasarkan rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Semua RPH harus menyertakan sertifikat halal sebagai jaminan keamanan dan kebersihan daging,”. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, mengakui, dari 663 RPH yang ada di Indonesia, hanya 13 RPH yang memenuhi syarat. “RPH Ciroyom termasuk di dalamnya,” ujarnya. Menurut Dirjen peternakan, pihaknya memiliki program revitalisasi RPH pada 2012 dengan dana dari pemerintah pusat sebesar Rp15 miliar. Harapannya pemerintah daerah pun mampu menyiapkan dana untuk revitalisasi itu.
     Penyediaan pangan yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi di Indonesia telah diatur oleh peraturan perundangan, yaitu Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Khusus untuk pangan asal hewan (daging, susu dan telur) diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, kebijakan pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, terhadap penyediaan daging di Indonesia harus memenuhi konsep penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).
     Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat.Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Dalam peraturan tersebut, persyaratan RPH dibagi menjadi empat kelas (A, B, C dan D) berdasarkan peredaran dagingnya. Pada tahun 1999 terbit Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan, yang memuat persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh RPH yang memenuhi ketentuan higiene dan sanitasi. Namun sayangnya SNI ini masih bersifat sukarela (voluntary). Berdasarkan sistem jaminan keamanan pangan yang dikenal dengan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), maka penyembelihan di RPH dapat dikategorikan sebagai titik kendali kritis (critical control point).
     Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH, melalui penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem product safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan di RPH. Penerapan product safety pada RPH ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu daging yang dihasilkan, termasuk kehalalan, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen, serta turut menjaga kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu, sistem tersebut berfungsi sebagai pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis di RPH sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional.
       Untuk menghasilkan daging yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi, maka perlu diterapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pada rantai penyediaan daging mulai dari peternakan sampai ke meja makan. Salah satu programnya adalah penerapan jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH. Jaminan product safety pada RPH diterapkan melalui penerapan praktek higiene dan sanitasi atau dikenal sebagai praktek yang baik/higienis, good manufacturing practices (GMP) atau good hygienic practices (GHP). Penerapan GMP/GHP pada RPH disebut pula Good Slaughtering Practices (GSP). Secara umum praktek higiene dan sanitasi pada pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi. Selain itu, sistem product safety pada RPH di Indonesia sebaiknya mencakup aspek kehalalan dan kesejahteraan hewan, dalam rangka penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).  Pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH, melalui penerapan higiene untuk personal di RPH mencakup kesehatan dan kebersihan diri, perilaku/kebiasaan bersih, serta peningkatan pengetahuan/pemahaman dan kepedulian melalui program pendidikan dan pelatihan yang terprogram dan berkesinambungan. Setiap pegawai yang menangani langsung daging harus sehat dan bersih. Higiene personal yang buruk merupakan salah satu sumber pencemaran terhadap daging. Lokasi, disain, konstruksi, tata letak (lay out) dan fasilitas bangunan RPH mempengaruhi kondisi higiene dan sanitasi. Lokasi RPH perlu dipertimbangkan dengan seksama dan terencana, sehingga RPH dan proses penyembelihan tidak dicemari dan mencemari lingkungan sekitarnya. Bangunan tempat proses penyembelihan RPH dibagi menjadi dua area terpisah, yaitu area kotor (mulai dari hewan masuk sampai pengeluaran jeroan/eviserasi) dan area kotor (setelah pengeluaran jeroan sampai karkas/daging didistribusikan). Bahan-bahan konstruksi RPH umum nya harus kuat, kedap air (tidak dari bahan kayu), mudah perawatan, serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi.
      Penyembelihan hewan harus memperhatikan syariat agama Islam (halal) dan ditangani dengan baik, hewan tidak menderita dan disakiti sebelum mati (kesejahteraan hewan). Penerapan sistem rantai dingin (cold chain system) pada penanganan daging sangat perlu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan proses autolisis daging oleh enzim-enzim dalam daging. Sistem rantai dingin adalah penerapan suhu dingin selama peyimpanan daging. Daging sebaiknya tidak disimpan pada suhu lebih dari 4oC dengan harapan suhu bagian dalam daging tetap terjaga di bawah 4oC untuk daging segar atau suhu –18oC untuk daging beku. Terdapat empat titik kendali kritis dalam proses penyembelihan di RPH, yaitu (1) pelepasan kulit, (2) eviserasi atau pengeluaran jeroan, (3) pemisahan sumsum tulang belakang (pada daerah tidak bebas penyakit sapi gila atau mad cow), dan (4) pendinginan. Pada pelepasan kulit, yang perlu diperhatikan adalah ketajaman dan kebersihan pisau. Sebaiknya pisau senantiasa dibersihkan dan didisinfeksi menggunakan air panas (suhu >82oC). Dalam proses penyembelih an, sebaiknya setiap pekerja yang menangani daging memiliki dua pisau, pisau pertama diguna kan dan pisau kedua direndam dalam air panas >82oC, kemudian ditukar, sehingga memperkecil terjadinya pencemaran silang pada daging. Hal ini dikenal dengan sistem dua pisau (two knives system). Pada eviserasi, pengikatan esofagus (rodding) dan anus sangat penting agar isi (cairan) bagian dalam saluran pencernaan tidak keluar dan mengenai daging.
      Hal utama mutlak dan sangat penting agar penerapan sistem product safety pada RPH adalah adanya komitmen dari manajemen dan seluruh sumberdaya manusia. Setelah itu komitmen dan keseriusan diterapkan pada perencanaan dan pelaksanaan sistem. Dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan sistem product safety atau sistem jaminan mutu dan keamanan daging di RPH maka perlu penerapan sistem tersebut secara bertahap, terencana dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan sumberdaya lokal (alat, manusia dan metode). Pada tahap awal, konsep “better practice” atau “best practice” perlu direncanakan dan diterapkan, yang artinya proses penyembelihan hewan di RPH menggunakan campuran antara metode/cara konvensional dan cara modern. Selain itu, peningkatan pengetahuan untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan kepedulian personal yang terlibat dalam proses penyembelihan hewan harus terus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Komitmen dan konsistensi Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk mengembalikan fungsi RPH sebagai unit pelayanan penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) sangat mutlak.
MASUKAN DAN SARAN KEBIJAKAN
 1). RPH di Indonesia saat ini perlu direvitalisasi dan ditingkatkan mutunya, terutama perlu ada komitmen kuat dan  konsistensi dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk menjadi kan RPH sebagai pelayanan  masyarakat dalam penyediaan daging yang ASUH. 
2).Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan mutu dan keamanan daging, serta persyaratan RPH harus dilaksanakan secara rutin dan konsekuen.
3).Perlu penyamaan visi dan persepsi mulai dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota terhadap PSDSK. Selain itu untuk keberhasilan PSDSK 2014 diperlukan regulasi untuk pengendalian impor baik sapi bakalan dan daging, serta pengendalian pengeluaran dan pengiriman ternak antar daerah.
4).Perlunya pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH melalui penerapan higiene dan sanitasi (termasuk halal dan kesejahteraan hewan) yang mencakup dari penerimaan hewan sampai distribusi daging.
5).Untuk penyediaan daging yang ASUH dan perlindungan konsumen diperlukan penerapan  sistem jaminan keamanan pangan konsep “safe from farm to table” penerap an higiene dan  sanitasi (GHP) sebagai persyaratan dasarnya. Higiene di RPH diterap kan pada bangunan (lokasi, lingkungan, disain, konstruksi, lay out),  sarana, alat, personal (higiene personal) dan proses di RPH.
6).Konsumsi protein hewani tidak hanya daging sapi/kerbau, masih banyak sumber protein hewani lain, seperti kambing/domba, rusa, ayam, itik, entog dan kelinci bisa menjadi sumber protein alternatif.



DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, C.H. Sirait  dan N. Cahyadi. 1991. Kondisi Rumah Potong Hewan di P. Jawa. Pros Sem Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Fapet Universitas Jenderal Soedirman 22-23 Mei. Purwokerto.
Abubakar, H. Setiyanto, Triyantini dan R. Sunarlim. 1998. Teknologi pascapanen untuk meningkatkan nilai tambah hasil ternak dalam usaha merangsang pertumbuhan agroindustri. Pros Sem Nas Pet dan Vet Jilid I. Puslitbang Peternakan Bogor 1-2 Desember 1998, hal 170-176.
Abubakar dan Triyantini. 2005. Penerapan teknologi pascapanen untuk meningkatkan nilai tambah hasil ternak mendukung pengembangan usaha ternak di lahan kering. Pros Sem Nas Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Kerjasama Fapet UGM dan Puslitbang Peternakan. Fapet UGM Yogyakarta 2 Juni 2005, hal 248-250
Arka, I.B. 1988. Peranan Ilmu Kesmavet Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia. Pidato Guru Besar. PSKH UNUD. Denpasar.
Arka, 1994. Ilmu Pengetahuan Daging dan Teknologinya. Universitas Udayana. Denpasar.
American Meat Institut Foundation (AMIF).1994. HACCP: The Hazard Analysis Critical Control Point in the Meat and Poultry Product. HACCP Manual, pp 43 -45.
American Meat Institut Foundation (AMIF). 1996. Generic HACCP Model for poultry slaughter. HACCP Manual, pp 6-9
Apriyantono A, Hermanianto J, dan Nurwahid. 2003. Pedoman produksi halal. Departemen Agama Republik Indonesia,  hal 56-58
Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999, tentang      Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta: BSN.
Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-9001-2001. Sistem Manajemen Mutu Persyaratan.
Badan Standarisasi Nasional. 2002. Pedoman 1004-2002 Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP).Bolton, DJ, Doherty, AM, Sherudan, JJ. 2001. Beef HACCP: intervention and non-intervention  systems. Int J Food Microbiol 66: 119-129.
Bauman, H.E., 1990. HACCP: Concept, Development and Application. Food Technology .44(5) : 156-158
Denny Widya Lukman.2009. Product safety pada RPH. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner,  Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
International Commission on Microbiological Specification for Foods (ICMSF).1988. HACCP in Microbiological Safety and Quality. Blackwell Scientific Publications, pp 27-28
Jasmal A Syamsu. 2009. Swasembada daging 2014. Sekretaris ASPI Cab. Sulawesi Selatan
Jablonski, J.R., 1991. Implementing Total Quality Management-An Overview. Pfeiffer & Co., San Diego CA,  pp 39-40
Juran, J.M., 1988. Quality Control Handbook. 4th ed. McGraw-Hill,  New York, NY, pp  41-42
Luning, PA, Marcelis, WJ, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality – a Techno Managerial Approach. Wageningen: Wageningen Pers.
Soeparno, 1994. Ilmu dan teknologi daging. Gadjah Mada University Press. PO Box 14 Bulaksumur Yogyakarta, hal 282-285
Stevenson and Bernard. 1995. HACCP Establishing Hazard Analysis Critical Control Point Program, A Workshop Manual. The Food Processors Institute, Washington, DC, pp 23-24.
Suratmono, 2005. Keamanan pangan produk olahan berbasis produk ternak. Pros Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Puslitbang Peternakan, Bogor 14 September 2005, hal 44-46
The National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods. (NACMF).1992. Hazard Analysis and Critical Control Point System. Int’l  J. Microbiol. 16:1-23.
Winarno, F.G dan Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam industri pangan.  Cetakan 2, M-BRIO PRESS. Bogor, hal 7-15
Wiradarya, T.R., 2005. Keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek pascapanen: permasalahan dan solusi. Pros Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Puslitbang Peternakan, Bogor 14 September 2005, hal 29-33
Zweigert, P. 1991. Meat Science and Technology. The Science of Meat and Meat Product. WH. Freeman  Co, San Francisco, pp 231-232


Abubakar
Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian

1 komentar:

  1. mens titanium necklace | TITanium-ART.com
    The gold-plated 바카라 게임 mens necklace is designed to titanium glasses frames fit both how to get titanium white octane the wrist and wrist, and is equipped with an additional 20 cm x 30 cm titanium iv chloride long handle. Its high quality nipple piercing jewelry titanium

    BalasHapus