DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN TERNAK RUMINANSIA KECIL
MELALUI TEKNOLOGI PASCAPANEN MENDUKUNG PSDSK 2014
Abubakar, Rudy
Tjahjohutomo dan Sri Usmiati
Balai Besar
Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor 16114
ABSTRAK
Tekad Indonesia untuk
mewujudkan swasembada daging melalui PSDSK 2014 me rupakan
langkah yang sudah on the right track dan harus didukung sepenuhnya
karena sangat terkait dengan ketahanan dan kedaulatan pangan. Importasi sapi
potong dan daging beku dari negara tetangga masih diperlukan untuk menutup
kesenjangan antara tingkat konsumsi dengan tingkat produksi. Untuk mengurangi importasi sapi potong dan daging beku, masih ada ternak
ruminansia kecil yaitu ternak kambing dan domba yang mempunyai potensi cukup
signifikan dalam penyediaan daging nasional, dimana sampai sat ini populasi
kambing sekitar 14,5 juta ekor dan domba 7,5 juta ekor atau total 22 juta ekor,
hal ini menunjukkan bahwa kontribusi daging ruminansia kecil pada konsumsi
daging nasional mencapai 6 persen. Sampai saat ini produksi hasil ternak
dirasakan pemanfaatannya belum optimal oleh karena adanya susut hasil,
beragamnya mutu produk, kurang berdaya gunanya cara-cara penanganan dan
pengolahan, mempunyai sifat mudah rusak, serta lemahnya sistem pemasaran. Diversifikasi produk olahan ternak ruminansia kecil melalui teknologi pascapanen, diharapkan dapat
menghasilkan produk ataupun hasil olahan yang bermutu, disukai konsumen sehingga meningkatkan nilai tambah dan daya saing,
sekaligus mendukung PSDSK.
Untuk mendukung diversifikasi olahan tersebut diperlukan strategi peningkatan produk hasil ternak yang
bermutu dan aman (food safety), yaitu
melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik,
tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen
yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat
produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara
terarah dan berkesinambungan. Penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen ternak ruminansia kecil diharapkan
dapat meningkatkan kualitas produk, nilai tambah dan daya saing sekaligus dapat men dukung PSDSK
khususnya dan pembangunan subsektor peternakan pada umumnya.
Kata kunci: ruminansia kecil,
diversifikasi olahan, pascapanen, PSDSK
PENDAHULUAN
Kementerian
Pertanian melalui Permentan No.19 Tahun 2010 menargetkan swasem bada daging sapi pada tahun 2014, melalui PSDSK 2014. Sejumlah program, penyediaan daging sapi dari
dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90
persen pada 2014. Upaya swasembada daging sapi akan ditempuh melalui sejumlah program, di antaranya memperbanyak
jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Selain
itu juga memanfaatkan lahan-lahan terlantar sekitar 7,13 juta ha yang masih
potensial digunakan untuk peternakan dan meningkatkan jumlah kelahiran anak
sapi menjadi 100.000 ekor dalam lima tahun.
Peningkatan produksi peternakan belum dikatakan berhasil
apabila tidak diikuti oleh teknologi pascapanen yang pada akhirnya untuk meningkatkan konsumsi daging melalui diversifikasi pangan
daging yang bertujuan untuk meningkatan
nilai tambah hasil peternakan melalui pembangunan industri untuk memperluas
kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan dan memacu pembangunan ekonomi
pedesaan dan memenuhi kebutuhan
pangan dan gizi masyarakat luas.
Potensi agroindustri
untuk meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk pada subsektor
peternakan, pada pengembangan ternak masih sangat luas. Hasil peternakan merupakan bahan yang
sangat mudah rusak sehingga perlu segera dilakukan penanganan dan pengolahan. Berbagai teknologi pascapanen
(penanganan / pengawetan dan
pengolahan) dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk.
Limbah hasil peternakan juga merupakan sumber bahan baku untuk berbagai
kegiatan industri kecil dalam menghasilkan produk akhir maupun produk setengah
jadi (Abubakar et al., 1999)
HASIL TERNAK
RUMINANSIA KECIL
Ternak
ruminansia kecil, merupakan ternak herbivora yang sangat populer dikalangan petani
di Indonesia terutama yang tinggal di pulau Jawa. Jenis ternak ini mudah
dipelihara, dapat memanfaatkan limbah dan hasil ikutan pertanian dan industri,
mudah di kembangbiakkan, dan pasarnya selalu tersedia setiap saat serta
memerlukan modal yang relatif sedikit dibanding ternak yang lebih besar.
Kemampuan ternak ini untuk memanfaatkan hijauan sebagai bahan makanan utama
menjadi daging, menempatkan ternak ruminansia
kecil sebagai bagian yang cukup penting
artinya bagi perekonomian nasional pada umumnya, maupun kesejahteraan keluarga
petani di pedesaan pada khususnya. Ruminansia
kecil tersebar luas di daerah pedesaan dan biasanya dipelihara
dengan tujuan sebagai tabungan hidup maupun sebagai ternak potong / ternak susu
untuk dikonsumsi keluarga disamping
kotorannya dapat dipergunakan untuk pupuk yang baik bagi tanaman.
Pemeliharaan
ternak ini di pedesaan merupakan bagian
dari usaha tani secara keseluruh an
dalam skala yang relatif kecil dengan rataan jumlah kepemilikan sebanyak
3-5 ekor per keluarga petani. Keadaan ini membuktikan bahwa ternak ruminansia kecil belum mendapat kan perhatian yang
besar dalam hal peningkatan potensinya
sebagai pemasok daging untuk dapat ditingkatkan kepada skala produksi yang
secara ekonomik memberikan keuntungan yang optimal.
Menurut
penelitian, di pulau Jawa diperkirakan bahwa ternak ruminansia kecil dapat dijumpai pada satu dari hampir setiap lima rumah tangga petani di
pedesaan. Kenyataan ini menunjukkan besarnya peranan ternak di pedesaan dan
penting artinya bagi perekonomian masyarakat
petani di Indonesia. Di daerah pedesaan, ternak ini biasanya dipelihara
secara tradisional dengan sistem dikandangkan atau setengah digembalakan.
Sistem perkandangan yang sederhana dan pemberian makanan yang berasal dari
penyediaan alam sekitarnya serta belum adanya sistem pemilihan bibit yang
terarah, merupakan ciri khusus dari cara pemeliharaan tradisional tersebut. Sampai saat ini usaha ternak ruminansia kecil dipedesaan di Pulau Jawa yang sudah berlangsung selama
beberapa abad ini masih merupakan bagian yang penting dalam sistem usaha tani
secara keseluruhan.
Ternak ruminansia
kecil, disamping sebagai penghasil daging,
juga mempunyai potensi sebagai penghasil kulit yang bernilai ekonomi tinggi,
sedangkan khusus kambing perah disamping sebagai penghasil susu, juga
meghasilkan daging setelah diafkir sebagai kambing perah disamping itu juga
menghasilkan kulit, tulang, tanduk dan kotoran yang sangat bermanfaat.
Teknologi PascaPanen RUMINANSIA
KECIL
Peningkatan produksi hasil peternakan yang sudah baik
telah mendorong dan sekaligus merupakan tantangan dalam teknologi pascapanen (penanganan dan
pengolahan) hasilnya, sehingga produksi hasil ternak dapat
dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan
gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja, meningkatkan ekspor dan mengurangi
impor serta memberikan dukungan yang kuat terhadap pembangunan (Abubakar, 1994).
Disamping produk utama (daging, susu), hasil ikutan dari ternak seperti kulit
dan tulang serta kotorannya juga mempunyai potensi yang besar dalam memberikan
nilai tambah dari sub sektor peternakan. Sifat produksi hasil ternak yang mudah
rusak dan kondisi lingkungan Indonesia dengan temperatur dan kelembaban yang
cukup tinggi akan mempercepat proses kerusakan komoditi, maka untuk itu memerlukan penanganan pascapanen yang baik dan
tepat sehingga mutu hasil ternak tetap terjaga dan aman dikonsumsi.
TEKNOLOGI PASCAPANEN DAGING
Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014, menyebutkan
bahwa sasaran produksi daging sapi tahun 2010 sebesar 412 ribu ton, dan pada
tahun 2014 sebesar 546 ribu ton (pertumbuhan 7,30%/tahun), dengan sasaran
konsumsi daging sapi tahun 2010 sebesar 2,7 kg/kap/tahun dan pada tahun 2014
sebesar 3,3 kg/kap/tahun, sementara sasaran produksi daging kerbau tahun 2010 sebesar
42 ribu ton dan pada tahun 2014 sebesar 55,4 ribu ton (pertumbuhan 0,32%/tahun)
dan sasaran produksi daging kambing/domba tahun 2010 sebesar 133 ribu ton dan
pada tahun 2014 sebesar 161 ribu ton (pertumbuhan 4,95%/tahun).
Daging ruminansia kecil untuk konsumsi pada umumnya dihasilkan dari jenis-jenis kambing-domba lokal pedaging
atau afkir dari kambing penghasil susu antara lain, kambing etawah, kacang,
bali/gembrong, domba garut, dll. Hasil utama kambing-domba tipe pedaging adalah berupa karkas yaitu tubuh kambing-domba yang
telah dihilangkan bagian-bagian isi perut, kepala, kaki dan kulit (Buckle, et.al. 1985).
Sebagian besar manfaat dari produk pangan hewani yang
dikonsumsi manusia adalah daging, karena daging merupakan bahan makanan yang
mengandung zat-zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia (Wilson, et al. 1991).
Orang makan
daging dipengaruhi oleh berbagai alasan antara lain tradisi, nilai gizi tinggi,
kesehatan, variasi, bersifat mengenyangkan dan prestise (gengsi). Faktor
kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur,
flavor dan aroma termasuk bau atau rasa, jus daging. Disamping itu lemak
intramuskular, susut masak, retensi cairan, ph daging ikut menentukan kualitas
daging. Salah satu penilaian mutu daging
adalah sifat keempukan yang dapat dinyatakan dengan sifat mudah dikunyah
(Soeparno, 1994). Teknologi pangan yang utama harus diterapkan adalah teknologi
penanganan daging segar, terutama teknologi sanitasi (Pearson dan Tauber, 1994).
Komposisi kimia daging yang utama adalah air,
protein, lemak dan abu. setiap 100 gram daging rata-rata dapat memenuhi
kebutuhan gizi orang dewasa setiap hari sekitar 10 % kalori, 50% protein, 35%
zat besi, dan 25-60% vitamin B komplek. Secara umum daging terdiri dari protein
18%, lemak 3,5%, bahan ekstrak tiada nitrogen 3,3%, air 75% dan karbohidrat
berupa glikogen dalam jumlah sedikit (Zweigert, 1991). Protein daging bersifat
lengkap karena mengandung semua asam amino essensial dan masing-masing terdapat
dalam susunan yang seimbang. Susunan asam amino essensial protein daging mendekati pola susunan asam
amino yang diperlukan oleh tubuh manusia. Lemak merupakan komponen utama dalam
daging. Lemak berfungsi sebagai pembentuk energi dan komposisi lemak terdiri
dari gliserol dan asam lemak. Karbohidrat merupakan komponen yang memegang
peranan utama didalam bahan-bahan organik. Kebanyakan karbohidrat didalam
jaringan tubuh hewan terdiri dari polisakarida komplek dan beberapa diantaranya
berkaitan dengan komponen protein dan sulit dipisahkan, glikogen merupakan
karbohidrat yang utama didalam daging (Price dan Schweigert, 1988).
Daging yang
disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan cepat rusak. Kerusakan daging
yang menyebabkan penurunan mutu daging segar terutama disebabkan oleh
mikroorganisme. Daging akan terkontaminasi secara internal apabila tidak
didinginkan setelah pemotongan hewan. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari
permukaan karkas dan daging ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan
hewan dan tingkat pengendalian hiegines yang dilaksanakan selama penanganan
pada saat penyembelihan dan pembersihan karkas hingga daging dikonsumsi
(Abubakar dan Putu, 1997). Untuk mengatasi atau mengurangi kontaminasi
diperlukan penanganan yang hieginis dengan sistem sanitasi yang sebaik-baiknya.
Besarnya kontaminasi mikroba pada daging akan menentukan kualitas dan masa
simpan daging.
Menurut
Buckle et, al (1985), penyimpanan
suhu rendah telah lama digunakan sebagai salah satu cara pengawetan bahan
pangan, karena dapat mempertahankan cita rasa dan menghambat kerusakan bahan
pangan tersebut. Dalam lemari pendingin suhu dapat dicapai jauh lebih rendah
dari pada menyimpan dengan es, juga dapat digunakan untuk menyimpan berbagai
bahan pangan dalam waktu terbatas. Pendinginan dapat memperlambat kecepatan
reaksi metabolisme keaktifan respirasi sehingga pertumbuhan bakteri dan
kebusukan dapat dihambat. Semakin rendah suhu lingkungan, enzim menjadi semakin
berkurang. Daging yang masih hangat akan menurunkan suhu ruang pendingin,
jumlah daging didalam ruang pendingin sebaiknya tidak berlebihan. Pendinginan
daging adalah penyimpanan daging pada suhu ruangan dengan suhu lebih rendah
dari 2oC. Faktor yang mempengaruhi laju pendinginan antara lain
adalah panas spesifik daging atau kapasitas panas, berat ukuran daging, jumlah
daging dalam ruangan pendingin dan jarak antar daging.
PENANGANAN
DAGING
- METODE PENDINGINAN
Daging
telah diketahui sebagai bahan yang mudah rusak, hal ini disebabkan karena
komposisi gizinya yang baik untuk manusia maupun mikroorganisme, dan juga
karena pencemaran permukaan pada daging oleh mikroorganisme perusak. Menurut
Buckle et,al (1985), sampai saat ini
suhu rendah selalu digunakan untuk memperlambat kecepatan berkembangnya
pencemaran permukaan dari tingkat awal sampai tingkat akhir dimana terjadi
kerusakan. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan mikroorganisme semacam itu
merupakan ukuran ketahanan penyimpanan.
Istilah “penyimpanan dingin” biasanya diartikan sebagai
penggunaan suhu rendah dalam kisaran 10 sampai 3,50 C ,
suhu yang jauh melebihi permulaan
pembekuan otot, tetapi masih berada dalam suhu optimum – 20 C
dan 70C bagi pertumbuhan organisme psikorofilik (Zweigert, 1991).
Jadi hal terpenting dalam pemasaran daging yang disimpan pada suhu dingin
adalah penjualan yag secepat mungkin berdasarkan pada daya tahan yang tidak
lebih dari 3 – 5 hari. Suhu dingin harus tetap terjaga selama penyimpanan dalam
jumlah besar, distribusi, penyimpanan di pengecer dan penjualan. Cara ini
sangat banyak dipergunakan di kota – kota modern, dan tergantung pada
pemotongan ternak dalam jumlah besar dengan distribusi berantai dan penyimpanan
dingin (dalam lemari es) di rumah konsumen. Kerusakan daging yang diproduksi
dan dipakai setempat dapat dihindari dengan cara menggunakan daging itu
secepatnya. Bila diperlukan waktu simpan yang lebih dari 5 hari seperti halnya
daging yang disiapkan untuk diekspor ke kota lain atau negara lain, maka suhu 10
sampai 3,50C tidak lagi memadai dan harus digunakan suhu yang
lebih rendah, bersama-sama dengan cara-cara lain yang ada untuk mengurangi
kecepatan kerusakan oleh mikroorganisme. Faktor-faktor ini menurut Buckle, et al (1985) antara lain adalah: 1) pengurangan
tingkat pencemaran awal sampai akhir ke tingkat serendah mungkin dengan
penggunaan prinsip-prinsip higiene yang ketat selama penyembelihan dan
penanganan karkas. 2) pemilihan suhu terendah yang dapat menghindarkan
pembekuan bagian tipis dari pada karkas dan pengawasannya seketat mungkin,
dalam pelaksanaannya suhu ini adalah -1,50C - 0,2 0 C.
3) dalam hal karkas, pemilihan kondisi penyimpanan supaya
terdapat kelembaban relatif 81 – 87 % sehingga pengeringan permukaan yang mencapai
2 – 4 % dari berat karkas terjadi di
permukaan. Hal ini akan menghalangi pertumbuhan bakteri. 4) penambahan kedalam
atmosfer penyimpanan sampai 25 % CO2 yang akan mengakibatkan
penurunan kecepatan pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah CO2 yang
melebihi 25 % cenderung untuk mempercepat pembentukan metmioglobin yang tak
diinginkan dan harus dihindari. 5) penggunaan daging dengan pH rendah,
sebaiknya dibawah pH 5,8. 6) pengurangan waktu proses pendinginan karkas ke
tingkat yang minimum.
B.
METODE
pembekuan
Menurut Soeparno (1994), pembekuan
atau penyimpanan beku daging dilaksanakan pada suhu dimana mikroorganisme tidak
akan tumbuh dan pada suhu dimana daging masih cukup keras dan tahan pada penimbunan secara besar – besaran. Dalam
pelaksanaannya ini berarti penggunaan
suhu dibawah – 15 0C. Daging, seperti bahan biologis yang lain tidak
mempunyai titik beku tertentu, akan tetapi mempunyai kisaran titik beku, jumlah
air yang terdapat sebagai es ditentukan oleh rendahnya suhu. Jadi pada suhu 00C
tidak terdapat es, pada suhu – 10 0C kira – kira 83 % dari air yang
ada membeku dan pada – 30 0C kira – kira 89% beku dan baru pada suhu
dibawah – 400C semua air yang ada membeku. Saat air mulai membeku kecepatan pembentukan es
ditentukan oleh kecepatan penghilangan panas dan kecepatan penyebaran air dari
struktur sel disekitarnya. Pada kecepatan beku yang rendah, terbentuk beberapa
pusat kristalisasi yang menyebabkan timbulnya kristal – kristal es yang besar
yang menyebabkan pecahnya sel dan banyak air yang hilang bila daging dicairkan.
Pada kecepatan yang tinggi, jumlah kristal es bertambah dan ukuran kristal
tetap kecil. Dan bila daging dicairkan hilangnya cairan tidak akan terlalu
banyak. Pendinginan daging tanpa tulang dari 100C menjadi – 120C
membebaskan panas kira –kira 250 Kj per
kilogram daging, dimana sebagian besar dari panas ini adalah panas laten yang
dibebaskan pada perubahan air menjadi es didalam daging.
Jenis
olahan daging yang telah populer dalam dunia industri pengolahan pascapanen
adalah: bakso, kornet, nugget, abon, dendeng, burger, nugget, sosis, dan daging
asap. Sedangkan teknologi pemotongan dan
penanganan daging sebelum pengolahan adalah berupa pembelahan karkas digantung
pada kaki belakang dan kepala menghadap ke bawah dan pembelahan dilakukan
persis membelah tulang punggung sampai ke tulang leher. Kemudian belahan kiri
dan kanan tersebut dipotong atas bagian-bagian paha, lulur, lambung, rusuk,
dada, bahu dan kaki depan, (Soeparno, 1994).
TEKNOLOGI PENGOLAHAN TERNAK RUMINANSIA KECIL
Teknologi Pengolahan Daging
Konsumsi daging kambing
dan domba di Indonesia memiliki kecenderungan hanya berlangsung dengan lonjakan
sporadis pada saat-saat tertentu saja. Pasokan domba dan kambing di Indonesia
saat ini masih terfokus memenuhi kebutuhan daging hewan kurban saat idul adha,
aqiqah, serta konsumsi daging potong untuk kuliner. Sementara itu, segmen untuk
pemasaran lain dalam bentuk produk olahan belum berkembang dengan baik.
Umumnya, konsumsi daging harian terdesak oleh daging sapi dan daging ayam.
Konsumsi daging domba dan kambing oleh masyarakat masih sangat rendah hanya
sekitar 5%.
Bagi kebanyakan orang di
Asia, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika, daging kambing merupakan
makanan yang dipercaya mempunyai khasiat yang tinggi dibanding daging sapi. Di
Taiwan, daging kambing dipercaya mempunyai khasiat menghangatkan badan sehingga
merupakan menu yang digemari di musim dingin.
Peningkatan konsumsi daging domba dan kambing oleh masyarakat Indonesia
masih ada tantangan yang harus diatasi. Selama ini ada suatu anggapan bahwa
daging domba dan kambing merupakan sumber kolesterol, akibatnya masyarakat
membatasi konsumsi daging domba dan kambing. Padahal, resiko tingginya
kolesterol juga dapat dipicu oleh berbagai produk makanan lain. Penggunaan minyak
atau lemak trans atau minyak yang dipanaskan berulang pada suhu tinggi dalam
penyiapan menu makanan sehari-hari juga dapat menyebabkan tingginya kolesterol
dalam tubuh. Bila dilihat dari kandungan kolesterol,
daging kambing mengandung kolesterol 5-39 mg/100 gram, sedangkan daging sapi
dan domba sekitar 42-47 mg/100 g dan 52-77 mg/100 g (Nutrition Society
of Australia, 1997 dalam Sumarmono, 2003).
Saat ini produk olahan
kambing dan domba yang ada dimasyarakat adalah sate dan tongseng. Pada proses
pembuatan sate melalui pembakaran, akan dihasilkan zat karsinogenik yang tinggi
dibandingkan yang diolah dengan cara perebusan (Rahyussalim, 2003 dalam
Tiven et.al., 2007).
Selain itu selama pembakaran, banyak zat gizi yang keluar. Daging kambing yang
dibuat tongseng goreng mengandung lemak yang tertimbun dalam serat daging,
sehingga mengandung kolesterol yang tinggi (Adisusetyanto, 2005 dalam
Tiven et al.,
2007). Beberapa cara pengolahan yang aman untuk daging kambing dan domba adalah
pengolahan produk olahan daging berjel seperti bakso, sosis dan nugget/burger,
produk dengan preparasi perebusan seperti abon, dan produk seasoning
rempah-rempah seperti dendeng. Jenis-jenis olahan tersebut selama ini telah
banyak dikembangkan dengan basis daging sapi dan unggas.
Masalah kekhawatiran
masyarakat terhadap kandungan lemak dan kolesterol pada olahan daging harus
dijawab melalui pengembangan produk rendah lemak dan kolesterol. Untuk produk
rendah lemak dapat dilakukan dengan metode pengaturan lemak sebelum dan sesudah
panen (Legowo, 2007). Beberapa alternatif untuk mengurangi kandungan lemak dan
kolesterol selama pascapanen diantaranya adalah dengan pengurangan lemak pada
daging secara langsung. Pengurangan lemak daging inter-muskuler dapat dilakukan
dengan teknik penghilangan secara fisik (trimming), pengempaan, pemanasan, atau
cara kombinasi. Disamping cara langsung, saat ini telah dikembangkan metode
substitusi lemak pada daging dan produk olahannya atau penggunaan fat replacer yang memiliki sifat seperti
lemak tetapi rendah kalori, dan digunakan sebagai aditif dalam produk makanan
kecil (Tranggono, 2001).
Substitusi bahan
tertentu dapat menurunkan kadar lemak secara proporsional dan menghasilkan
citarasa serta sifat menarik. Penggunaan putih telur sebagai pengganti lemak
dalam produk olahan daging telah dicoba untuk bakso (Liu et al., 1999). Modifikasi produk dengan pencampuran bahan
fungsional tertentu dapat memperbaiki karakteristik produk rendah lemak setelah
dioven ’microwave’ (Taki, 1991). Beberapa bahan fungsional yang telah dicoba
yaitu polisakarida, protein susu atau kedele, serat dari ’oat’ dan beras,
minyak dan ’shortening’. Pemberian protein kedele untuk mensubstitusi lemak
dapat memperbaiki tekstur produk (Hoogenkamp, 2002).
Pengembangan produk
pangan berkadar lemak rendah harus memperhatikan manfaat bagi kesehatan,
citarasa dan prospek pemasarannya. Upaya tersebut masih menyisakan permasalahan
yang harus dipecahkan. Salah satu permasalahan yang dihadapi pada produk-produk
olahan rendah lemak adalah adanya kecenderungan produk memiliki harga yang
lebih mahal.
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU
Menurut
laporan Dirjen Peternakan, konsumsi susu dari 6,8 liter/kap/tahun pada tahun
2005, menjadi 7,7 liter/kap/tahun pada tahun 2008. Pada tahun 2009, produksi
susu dalam negeri hanya mampu memenuhi 25,11% dari total kebutuhan nasional.
Sementara itu Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014, menyebutkan
bahwa sasaran produksi susu sapi segar tahun 2010 sebesar 726 ribu ton dan pada
tahun 2014 sebesar 1297 ribu ton (pertumbuhan 15,56 %/tahun).
Susu merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi
yang dapat diperoleh dari hasil pemerahan hewan seperti sapi, kerbau, kuda,
kambing dan hewan lainnya. Komponen-komponen yang penting dalam air susu adalah
protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa serta enzim-enzim dan beberapa
mikroba (Lampert, 1980).
Komposisi
susu dapat dikatakan sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, antara
lain bangsa, tingkat laktasi, pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur,
akan tetapi angka rata-rata untuk semua jenis kondisi dan jenis kambing perah
adalah sebagai berikut: kadar air 87,81%, lemak 4,09 %, protein 3,71 %, laktosa
4,20 %, kadar abu 0,79% dan beberapa vitamin yang larut dalam lemak susu, yaitu
vitamin A, D, E dan K (Handerson, 1981 dan Buckle et, al. 1985). Disini terlihat bahwa kadar lemak dan protein susu
kambing lebih tinggi dibandingkan susu
sapi, dimana pada susu sapi kadar lemak 3,50 % dan proteinnya 3,40 %. Walaupun susu masih segar dan berasal dari kambing
yang sehat tidak dijamin aman untuk dikonsumsi. Menurut Buckle et.al (1985), susu mudah terkontaminasi
oleh bakteri patogen yang berasal dari lingkungan, peralatan pemerahan atau
ternak itu sendiri. Tetapi susu yang telah mengalami pasteurisasi, sterilisasi
atau pemanasan pada suhu tinggi merupakan susu yang aman untuk dikonsumsi.
Kuman yang mencemari susu akan tumbuh dengan baik apabila lingkungan alam
sekitar seperti keadaan anaerob, suhu, kelembaban, pH dan adanya laktosa yang
mendukung.
Menurut
Buckle et.al (1985), beberapa kerusakan susu akibat aktivitas
mikroorganisme antara lain adalah: 1) pengasaman dan penggumpalan yang disebabkan karena
fermentasi laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya pH dan
kemungkinan terjadinya penggumpalan kasein. 2) berlendir seperti tali yang
disebabkan karena terjadinya pengentalan dan pembentukan lendir sebagai akibat
pengeluaran bahan seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri. 3) penggumpalan
susu yang timbul tanpa penurunan pH, hal ini disebabkan oleh bakteri seperti Bacillus cereus yang menghasilkan enzim
yang mencerna lapisan tipis fosfolipid disekitar butir-butir itu menyatu
membentuk suatu gumpalan yang timbul kepermukaan susu. Sifat-sifat fisik dan
kimiawi susu adalah: kerapatan susu bervariasi antara 1,0260 dan 1,0320 pada
suhu 20oC, pH susu segar berada antara 6,6-6,7 dan warna susu yang
normal adalah putih kebiru-biruan sampai kuning kecoklatan. Cita rasa susu,
menyenangkan dan agak manis, dimana rasa manis berasal dari laktosa, sedangkan
rasa asin berasal dari klorida. Penggumpalan susu merupakan sifat yang paling
khas, yang diakibatkan kegiatan enzim atau penambahan asam (Handerson, 1981).
Produk-produk olahan susu yang sudah dikenal dalam industri pengolahan
adalah: susu pasteurisasi, homogen, susu skim dan es krim, mentega, keju, susu
kental, susu bubuk, yoghurt, dadih, dali, kefir, es krim, karamel / kembang
gula susu, dodol susu, dan krupuk susu (Abubakar, 1994).
TEKNOLOGI
PENGOLAHAN KULIT
Kulit ternak ruminansia kecil dapat dijadikan sebagai bahan pokok pembuatan sepatu,
sandal, dompet, tas, ikat pinggang, jaket, dll. Sebelum digunakan sebagai bahan
industri, kulit segar harus diproses yaitu dibersihkan, diberi garam,
dikeringkan dengan matahari, dan disamak. Pada prinsipnya penyamakan kulit
terdiri dari tujuh tahapan utama, yaitu: pengeringan awal, perendaman dalam
larutan kapur, pencukuran bulu, pemberian obat-obatan dengan cara perendaman,
pengeringan akhir, peregangan dan penghalusan dan pengkilapan akhir.
Berdasarkan fungsinya, kulit yang sudah disamak dan sudah siap digunakan
sebagai bahan pokok industri ada tiga golongan yaitu, kulit kalf, kulit sol dan
kulit lapisan dalam. Kulit kambing dapat dibuat sebagai kulit kalf dan kulit
lapisan dalam, sedangkan kulit sol biasanya berasal dari kulit sapi (Abubakar, 2004).
TEKNLOGI PENGOLAHAN LIMBAH
- KOTORAN
Kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk kandang, dan mempunyai
keunggulan dibandingkan pupuk alam lainnya, kotoran ternak mengandung unsur N, P dan K, yang lebih tinggi dari pupuk
hijau dan kompos yaitu 0,95 % N, 0,35 % P205, dan 1,0% K20 (Subagyo dan Samad, 1985).
Selain itu kotoran ternak dapat digunakan sebagai gas bio dan bahan makanan
ternak, karena diduga mengandung vitamin B12 yang dapat merangsang pertumbuhan
ayam atau ternak lain (Wiryosuhanto, 1985).
- TULANG/TANDUK
Kekurangan
gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum dijumpai terutama
di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Zat gizi yang
mempunyai peranan penting dalam tubuh yaitu mineral zat besi, phospor dan
kalsium. Karena kekurangan zat besi sangat besar pengaruhnya dalam proses
terjadinya kekurangan gizi maka seringkali istilah anemia gizi diidentikkan
dengan istilah anemia besi. Kekurangan besi adalah penyebab utama terjadinya
anemia, yang menurut beberapa pakar gizi digambarkan sebagai suatu kondisi
menurunnya jumlah sel darah merah, sehingga kadar hemoglobin dalam tubuh berada
di bawah normal. Sumsum tulang yang berfungsi sebagai tempat pembentukan
sel-sel darah merah diyakini mengandung Fe yang siap digunakan untuk
pembentukan sel darah merah. Sumsum tulang sebelum digunakan terlebih dahulu ditentukan kadar Fe-nya.
Metode yang digunakan ialah destruksi dengan menggunakan HCl yang kandungan
Fe-nya diukur dengan spektrofotometer pada λ 460 nm dan Spektroskopi Absorpsi Atom (AAS) pada λ 248.3 nm. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan
bahwa kandungan Fe pada sumsum tulang dengan metode spektrofotometri sebesar
109 ppm (0.0109%), sedangkan dengan AAS sebesar 175.75 ppm (0.0176%) (Abubakar et al., 2004).
Menurut Abubakar et al., (2004), tulang juga mengandung kalsium, yang merupakan mineral
yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, khususnya bagi anak-anak dalam masa
pertumbuhan, wanita hamil, dan orang tua. Kalsium banyak terdapat dalam tulang,
oleh karena itu tulang ternak sebagai produk samping atau limbah dari pemotongan hewan
ternak dapat digunakan sebagai suplemen kalsium. Kadar kalsium tulang telah diukur dengan dua
metode, yaitu metode permanganometri dan Spektroskopi Absorpsi Atom (AAS). Dari
metode permanganometri diperoleh kadar kalsium tulang sebesar 1,56%, sedangkan
dari metode AAS sebesar 18,45%.
Rendemen
tepung tulang terhadap tulang diperoleh sebesar 60,86% (b/b). Dari hasil uji
kualitatif, tepung tulang mengandung klorida, kalsium, fosfat, magnesium, dan
besi, sedangkan sulfat ditemukan dalam jumlah sangat kecil. Dari hasil uji
proksimat, tepung tulang mempunyai kadar air sebesar 0,26%, kadar abu sebesar
48,55%, dan kadar lemak sebesar 2,34% (Abubakar et al., 2004).
PENINGKATAN MUTU PRODUK / HASIL RUMINANSIA KECIL
Hasil ternak
merupakan bahan yang sangat mudah rusak sehingga perlu segera dilakukan
penanganan. Diversifikasi olahan
produk ternak melalui teknologi pascapanen (penanganan/pengawetan
dan pengolahan) dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk.
Teknik-teknik penanganan dan pengolahan hasil ternak diharapkan dapat
mengamankan hasil produksi terhadap penurunan mutu agar dapat meningkatkan
kualitas dan nilai tambah hasil ternak, baik dari segi bobot, bentuk fisik,
rupa dan gizi maupun rasa, bebas dari jazat renik patogen serta residu bahan kimia, sehingga produk
aman (food safety) dan dapat memenuhi
persyaratan pasar dalam dan luar negeri serta agroindustri pengolahan (Abubakar, 2004).
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor
sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat
mempengaruhi kualitas daging antara lain, genetik, spesies, bangsa, tipe ternak,
jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif. Faktor setelah pemotongan
adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas, bahan
tambahan termasuk enzim pengempuk, hormon, lemak intra muskular atau marbling,
metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot
daging. Menurut Soeparno (1994), marbling menjadikan daging empuk, karena
marbling berperan sebagai bahan pelumas pada saat daging dikunyah dan ditelan,
juga berpengaruh terhadap sari minyak (juiceness) dan aroma (flavor) daripada
keempukan daging. Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna,
keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau atau rasa, jus daging.
Disamping itu lemak intramuskular, susut masak, retensi cairan, ph daging ikut
menentukan kualitas daging. Salah satu
penilaian mutu daging adalah sifat keempukan yang dapat dinyatakan dengan sifat
mudah dikunyah (Soeparno, 1994). Kualitas dan komposisi susu dapat dikatakan
sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, antara lain bangsa, tingkat laktasi,
pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur. Susu harus memenuhi
syarat-syarat kesehatan dan kebersihan, karena susu merupakan media yang paling
baik bagi petumbuhan mikroba, selain itu susu mudah pecah dan rusak bila
penanganannya kurang baik, sehingga masa simpannya selatif singkat. Parameter
spesifik kualitas susu sangat ditentukan oleh, berat jenis / total solid, kadar
lemak, protein, dan jumlah kuman. Disamping itu untuk menangani kelebihan
produksi air susu, maka langkah yang paling tepat adalah dengan mengawetkan
susu tersebut untuk memperpanjang masa simpannya. Sehubungan dengan itu diversifikasi pangan daging untuk mensukseskan PSDSK,
diperlukan strategi
peningkatan produk hasil ternak yang bermutu dan aman (food safety) melalui
pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik,
tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen
yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat produsen,
perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan
ber kesinambungan.
DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN TERNAK RUMINANSIA KECIL MELALUI TEKNOLOGI PASCAPANEN
Untuk meningkatkan konsumsi hasil ternak ruminansia kecil,
salah satu programnya adalah diversifikasi produk olahan melalui teknologi
pascapanen. Teknologi pascapanen mempunyai peran yang besar dalam peyediaan
pangan bergizi tinggi yang berasal dari protein hewani. Berdasarkan teknologi
pascapanen (penanganan
dan pengolahan hasil ternak) daging, susu dan
kulit, maka teknologi yang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh
pengguna, untuk meningkatkan
konsumsi, meningkatkan nilai tambah dan daya saing ternak, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel. Diversifikasi produk
olahan, dan peluang pascapanen ternak ruminansia kecil
KOMODITI
|
ASAL TERNAK
|
DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN
|
Peluang pascapanen
|
Daging
|
Ruminansia
kecil
|
Abon
Dendeng
Bakso
Sosis
Kornet
Nugget
Asap
|
Bagian karkas,
BTP,
Bahan dan teknik Pengemasan,
Penyimpanan,
Bahan dan
teknik
pengasapan
|
Susu
|
Kambing
|
Pasteurisasi
Yoghurt
Kefir
Dali
Dadih
Karamel
Dodol
Krupuk
Keju
|
Teknik pemanasan, suhu.
Penyimpanan,
Mikroba-probiotik,
Teknik pengolahan.
Renet alami dari
kambing
Keju lemak rendah
Keju probiotik
Pangan fungsional
|
Kulit & kulit
Bulu
|
Ruminansia
kecil
|
Kulit samak
Samak bulu
|
Teknik samak kulit,
kulit bulu.
|
Tulang
|
Ruminansia
kecil
|
Mineral
Ca, P, Fe
|
Sumber mineral
untuk kesehatan
|
KESIMPULAN
Peningkatan produksi ternak ruminansia kecil yang sudah baik harus diikuti dengan teknologi pascapanen
untuk meningkatkan konsumsi hasil
ternak, meningkatkan kualitas produk
hasil ternak, maupun dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan daya saing ternak. Produksi hasil ternak ruminansia kecil pemanfaatannya dirasakan belum
optimal oleh karena masih adanya susut hasil, beragamnya mutu produk, kurang
berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, mempunyai sifat mudah
rusak, serta lemahnya sistem pemasaran, maka strategi peningkatan produk hasil
ternak yang bermutu dan aman (food
safety) hendaknya dilakukan melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian
pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian
penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip
pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran
selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan berkesinambungan. Penelitian dan
pengembangan diversifikasi produk
olahan ternak ruminansia kecil melalui teknologi pascapanen diharapkan dapat
meningkatkan kualitas produk, meningkatkan
konsumsi / preferensi hasil ternak, sekaligus
dapat mendukung PSDSK khususnya dan pembangunan subsektor peternakan pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. 1994. Teknologi Penyimpanan
dan Pengemasan Hasil Ternak (Dukungan terhadap Agroindustri Komoditi
Ternak). Proseding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering.
Batu - Malang 26-27 Oktober. Sub BPT Grati.
Abubakar dan IG.Putu.
1997. Pengaruh Percikan Air Dingin (Spray
Chilling) terhadap Penurunan Susut Berat Karkas Sapi Brahman Cross selama
Penyimpanan pada Suhu Ruangan 5-6o C. Proseding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. 18-19 November. Puslitbang Peternakan Bogor.
Abubakar, Triyantini, R.Sunarlim dan H. Setiyanto. 1999. Teknologi Pasca Panen untuk meningkatkan
nilai tambah hasil ternak dalam usaha merangsang pertumbuhan agroindustri.
Proseding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 18-19 November. Puslibang
Peternakan Bogor.
Abubakar, D Mustika dan Sugiarto. 2004. Zat besi dari sumsum tulang sapi sebagai
suplemen untuk pencegahan anemia gizi. Proseding Seminar
Nasional, Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Abubakar. 2004. Strategi peningkatan kualitas produk
melalui teknologi pascapanen dalam pengembangan agribisnis kambing. Prosiding
Lokakarya Nasional Kambing Potong. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang
Pertanian. Bogor 6 Agustus 2004
Buckle, KA., RA. Edwards. GH.Fleet and
M.Wooton. 1985. Ilmu Pangan.
Terjemahan Hari
Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta
Dirjen Peternakan, 2009. Buku Statistik
Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Deptan, Jakarta.
Harderson. JL. 1981. The Fluid Milk Industri (3 rd Ed).
Connecticut: AVI Publishing Inc.
Hoogenkamp, H.
2002. Poultry allows processing to go further.
Meat International 12(5): 20-23.
Kementerian
Pertanian. 2009. Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014. Kementerian
Pertanian, Jakarta
Lampert. CM. 1980. Modern Dairy Prouct. New York Publishing , Co. Inc.
Legowo, A. M.
2007. Peranan Teknologi Pangan dalam Pengembangan Produk Olahan Hasil Ternak Di
Tengah Kompetensi Global. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Teknologi
Pasca Panen. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro.
Liu, D.C., M.T.,
Chen, C. S., Homg, and H. W. Ockerman. 1999. Liquid egg white used as a fat
replacer in pork meatball. Proc. 45th International Congress of Meat
Science and Technology, Yokohama: 162-163.
Price
JF and BS. Schweigert. 1988. The Science
of Meat and Meat Product. Food and Nutrition Press, Inc. Westport
Connecticut.
Pearson, AM and FW. Tauber. 1994. Processed Meat. Avi Publish Co, Inc. Westport, Connecticut.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi
Daging. Gadjah
Mada University Press. PO Box 14
Bulaksumur Yogyakarta.
Subagyo dan B. Samad. 1985. Dasar-dasar
Ilmu Tanah. Jilid II. PT. Soerongan, Jakarta.
Sumarmono, J.
2003. Jangan Takut Makan Daging Kambing.
Infovet. Edisi 112 Nopember
Taki, G.H. 1991 Functional ingredient blend
produces to meet consumer expectations. Food Technology, 45 (11): 70-74.
Tranggono. 2001. Liquid dalam perspektif ilmu dan teknologi panga. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Tiven, N. C.,
Suryanto, E., dan Rusman. 2007. Komposisi kimia, sifat fisik dan organoleptik
bakso daging kambing dengan bahan pengental yang berbeda.
Agritech. 27 (1): 1-6.
Wilson, ARP, J.
Dyett, RB. Hughes and CR Jones. 1991. Meat
and Meat Product: Factor Affecting
Quality Control. Applied Sci Publish. London.
Wiryosuhanto, SD. 1985. Produksi dan
penggunaan kotoran ternak. Monografi Limbah Pertanian. Kantor Menteri Muda
Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta.
Zweigert, P. 1991. Meat Science and
Technology. The
Science of Meat and Meat Product. WH.Freeman Co, San Francisco.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar