Kamis, 19 Januari 2012

MAKALAH RUMINANSIA KECIL 2012


DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN TERNAK RUMINANSIA KECIL MELALUI TEKNOLOGI PASCAPANEN MENDUKUNG PSDSK 2014

Abubakar,  Rudy Tjahjohutomo dan Sri Usmiati

Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor 16114

ABSTRAK

Tekad Indonesia untuk mewujudkan swasembada daging melalui PSDSK 2014 me rupakan langkah yang sudah on the right track dan harus didukung sepenuhnya karena sangat terkait dengan ketahanan dan kedaulatan pangan. Importasi sapi potong dan daging beku dari negara tetangga masih diperlukan untuk menutup kesenjangan antara tingkat konsumsi dengan tingkat produksi. Untuk mengurangi importasi sapi potong dan daging beku, masih ada ternak ruminansia kecil yaitu ternak kambing dan domba yang mempunyai potensi cukup signifikan dalam penyediaan daging nasional, dimana sampai sat ini populasi kambing sekitar 14,5 juta ekor dan domba 7,5 juta ekor atau total 22 juta ekor, hal ini menunjukkan bahwa kontribusi daging ruminansia kecil pada konsumsi daging nasional mencapai 6 persen. Sampai saat ini produksi hasil ternak dirasakan pemanfaatannya belum optimal oleh karena adanya susut hasil, beragamnya mutu produk, kurang berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, mempunyai sifat mudah rusak, serta lemahnya sistem pemasaran. Diversifikasi produk olahan ternak ruminansia kecil melalui teknologi pascapanen, diharapkan dapat menghasilkan produk ataupun hasil olahan yang bermutu, disukai konsumen sehingga meningkatkan nilai tambah dan daya saing, sekaligus mendukung PSDSK. Untuk mendukung diversifikasi olahan tersebut diperlukan strategi peningkatan produk hasil ternak yang bermutu dan aman (food safety), yaitu melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan berkesinambungan. Penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen ternak ruminansia kecil diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk, nilai tambah dan daya saing  sekaligus dapat men dukung PSDSK khususnya dan pembangunan subsektor peternakan pada umumnya.

Kata kunci: ruminansia kecil, diversifikasi olahan,  pascapanen, PSDSK


PENDAHULUAN

          Kementerian Pertanian melalui Permentan No.19 Tahun 2010 menargetkan swasem bada daging sapi pada tahun 2014, melalui PSDSK 2014. Sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada 2014. Upaya swasembada daging sapi akan ditempuh melalui sejumlah program, di antaranya memperbanyak jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Selain itu juga memanfaatkan lahan-lahan terlantar sekitar 7,13 juta ha yang masih potensial digunakan untuk peternakan dan meningkatkan jumlah kelahiran anak sapi menjadi 100.000 ekor dalam lima tahun.
     Peningkatan produksi peternakan belum dikatakan berhasil apabila tidak diikuti oleh teknologi pascapanen yang pada akhirnya untuk meningkatkan konsumsi daging melalui diversifikasi pangan daging yang bertujuan untuk meningkatan nilai tambah hasil peternakan melalui pembangunan industri untuk memperluas kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan dan memacu pembangunan ekonomi pedesaan dan memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat luas.
Potensi agroindustri  untuk meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk pada subsektor peternakan, pada pengembangan ternak masih sangat luas. Hasil peternakan merupakan bahan yang sangat mudah rusak sehingga perlu segera dilakukan penanganan dan pengolahan. Berbagai teknologi pascapanen (penanganan / pengawetan dan pengolahan) dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk. Limbah hasil peternakan juga merupakan sumber bahan baku untuk berbagai kegiatan industri kecil dalam menghasilkan produk akhir maupun produk setengah jadi (Abubakar et al., 1999)
HASIL TERNAK RUMINANSIA KECIL

        Ternak ruminansia kecil, merupakan ternak herbivora yang sangat populer dikalangan petani di Indonesia terutama yang tinggal di pulau Jawa. Jenis ternak ini mudah dipelihara, dapat memanfaatkan limbah dan hasil ikutan pertanian dan industri, mudah di kembangbiakkan, dan pasarnya selalu tersedia setiap saat serta memerlukan modal yang relatif sedikit dibanding ternak yang lebih besar. Kemampuan ternak ini untuk memanfaatkan hijauan sebagai bahan makanan utama menjadi daging, menempatkan ternak ruminansia kecil sebagai bagian yang cukup penting artinya bagi perekonomian nasional pada umumnya, maupun kesejahteraan keluarga petani di pedesaan pada khususnya. Ruminansia kecil tersebar luas  di daerah pedesaan dan biasanya dipelihara dengan tujuan sebagai tabungan hidup maupun sebagai ternak potong / ternak susu untuk dikonsumsi keluarga disamping  kotorannya dapat dipergunakan untuk pupuk yang baik bagi tanaman.     
       Pemeliharaan ternak ini di pedesaan merupakan bagian  dari usaha tani secara keseluruh an  dalam skala yang relatif kecil dengan rataan jumlah kepemilikan sebanyak 3-5 ekor per keluarga petani. Keadaan ini membuktikan bahwa ternak ruminansia kecil belum mendapat kan perhatian yang besar dalam hal  peningkatan potensinya sebagai pemasok daging untuk dapat ditingkatkan kepada skala produksi yang secara ekonomik memberikan keuntungan yang optimal.
       Menurut penelitian, di pulau Jawa diperkirakan bahwa ternak ruminansia kecil dapat dijumpai pada satu dari hampir setiap lima rumah tangga petani di pedesaan. Kenyataan ini menunjukkan besarnya peranan ternak di pedesaan dan penting artinya bagi perekonomian masyarakat  petani di Indonesia. Di daerah pedesaan, ternak ini biasanya dipelihara secara tradisional dengan sistem dikandangkan atau setengah digembalakan. Sistem perkandangan yang sederhana dan pemberian makanan yang berasal dari penyediaan alam sekitarnya serta belum adanya sistem pemilihan bibit yang terarah, merupakan ciri khusus dari cara pemeliharaan tradisional tersebut. Sampai saat ini usaha ternak ruminansia kecil dipedesaan di Pulau Jawa yang sudah berlangsung selama beberapa abad ini masih merupakan bagian yang penting dalam sistem usaha tani secara keseluruhan.
Ternak ruminansia kecil, disamping sebagai penghasil daging, juga mempunyai potensi sebagai penghasil kulit yang bernilai ekonomi tinggi, sedangkan khusus kambing perah disamping sebagai penghasil susu, juga meghasilkan daging setelah diafkir sebagai kambing perah disamping itu juga menghasilkan kulit, tulang, tanduk dan kotoran yang sangat bermanfaat. 

Teknologi  PascaPanen RUMINANSIA KECIL

 Peningkatan produksi hasil peternakan yang sudah baik telah mendorong dan sekaligus merupakan tantangan dalam teknologi pascapanen (penanganan dan pengolahan) hasilnya, sehingga produksi hasil ternak dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja, meningkatkan ekspor dan mengurangi impor serta memberikan dukungan yang kuat terhadap pembangunan (Abubakar, 1994). Disamping produk utama (daging, susu), hasil ikutan dari ternak seperti kulit dan tulang serta kotorannya juga mempunyai potensi yang besar dalam memberikan nilai tambah dari sub sektor peternakan. Sifat produksi hasil ternak yang mudah rusak dan kondisi lingkungan Indonesia dengan temperatur dan kelembaban yang cukup tinggi akan mempercepat proses kerusakan komoditi, maka untuk itu  memerlukan penanganan pascapanen yang baik dan tepat sehingga mutu hasil ternak tetap terjaga dan aman dikonsumsi.     

TEKNOLOGI PASCAPANEN DAGING

        Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014, menyebutkan bahwa sasaran produksi daging sapi tahun 2010 sebesar 412 ribu ton, dan pada tahun 2014 sebesar 546 ribu ton (pertumbuhan 7,30%/tahun), dengan sasaran konsumsi daging sapi tahun 2010 sebesar 2,7 kg/kap/tahun dan pada tahun 2014 sebesar 3,3 kg/kap/tahun, sementara sasaran produksi daging kerbau tahun 2010 sebesar 42 ribu ton dan pada tahun 2014 sebesar 55,4 ribu ton (pertumbuhan 0,32%/tahun) dan sasaran produksi daging kambing/domba tahun 2010 sebesar 133 ribu ton dan pada tahun 2014 sebesar 161 ribu ton (pertumbuhan 4,95%/tahun).
        Daging ruminansia kecil untuk konsumsi pada umumnya dihasilkan dari jenis-jenis kambing-domba lokal pedaging atau afkir dari kambing penghasil susu antara lain, kambing etawah, kacang, bali/gembrong, domba garut, dll. Hasil utama kambing-domba tipe pedaging adalah berupa karkas yaitu tubuh kambing-domba yang telah dihilangkan bagian-bagian isi perut, kepala, kaki dan kulit (Buckle, et.al. 1985).       
     Sebagian besar manfaat dari produk pangan hewani yang dikonsumsi manusia adalah daging, karena daging merupakan bahan makanan yang mengandung zat-zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia (Wilson, et al. 1991).
        Orang makan daging dipengaruhi oleh berbagai alasan antara lain tradisi, nilai gizi tinggi, kesehatan, variasi, bersifat mengenyangkan dan prestise (gengsi). Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau atau rasa, jus daging. Disamping itu lemak intramuskular, susut masak, retensi cairan, ph daging ikut menentukan kualitas daging.  Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukan yang dapat dinyatakan dengan sifat mudah dikunyah (Soeparno, 1994). Teknologi pangan yang utama harus diterapkan adalah teknologi penanganan daging segar, terutama teknologi sanitasi (Pearson dan Tauber, 1994).
        Komposisi kimia daging yang utama adalah air, protein, lemak dan abu. setiap 100 gram daging rata-rata dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap hari sekitar 10 % kalori, 50% protein, 35% zat besi, dan 25-60% vitamin B komplek. Secara umum daging terdiri dari protein 18%, lemak 3,5%, bahan ekstrak tiada nitrogen 3,3%, air 75% dan karbohidrat berupa glikogen dalam jumlah sedikit (Zweigert, 1991). Protein daging bersifat lengkap karena mengandung semua asam amino essensial dan masing-masing terdapat dalam susunan yang seimbang. Susunan asam amino essensial  protein daging mendekati pola susunan asam amino yang diperlukan oleh tubuh manusia. Lemak merupakan komponen utama dalam daging. Lemak berfungsi sebagai pembentuk energi dan komposisi lemak terdiri dari gliserol dan asam lemak. Karbohidrat merupakan komponen yang memegang peranan utama didalam bahan-bahan organik. Kebanyakan karbohidrat didalam jaringan tubuh hewan terdiri dari polisakarida komplek dan beberapa diantaranya berkaitan dengan komponen protein dan sulit dipisahkan, glikogen merupakan karbohidrat yang utama didalam daging (Price dan Schweigert, 1988).
        Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan cepat rusak. Kerusakan daging yang menyebabkan penurunan mutu daging segar terutama disebabkan oleh mikroorganisme. Daging akan terkontaminasi secara internal apabila tidak didinginkan setelah pemotongan hewan. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari permukaan karkas dan daging ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan hewan dan tingkat pengendalian hiegines yang dilaksanakan selama penanganan pada saat penyembelihan dan pembersihan karkas hingga daging dikonsumsi (Abubakar dan Putu, 1997). Untuk mengatasi atau mengurangi kontaminasi diperlukan penanganan yang hieginis dengan sistem sanitasi yang sebaik-baiknya. Besarnya kontaminasi mikroba pada daging akan menentukan kualitas dan masa simpan daging.
        Menurut Buckle et, al (1985), penyimpanan suhu rendah telah lama digunakan sebagai salah satu cara pengawetan bahan pangan, karena dapat mempertahankan cita rasa dan menghambat kerusakan bahan pangan tersebut. Dalam lemari pendingin suhu dapat dicapai jauh lebih rendah dari pada menyimpan dengan es, juga dapat digunakan untuk menyimpan berbagai bahan pangan dalam waktu terbatas. Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi metabolisme keaktifan respirasi sehingga pertumbuhan bakteri dan kebusukan dapat dihambat. Semakin rendah suhu lingkungan, enzim menjadi semakin berkurang. Daging yang masih hangat akan menurunkan suhu ruang pendingin, jumlah daging didalam ruang pendingin sebaiknya tidak berlebihan. Pendinginan daging adalah penyimpanan daging pada suhu ruangan dengan suhu lebih rendah dari 2oC. Faktor yang mempengaruhi laju pendinginan antara lain adalah panas spesifik daging atau kapasitas panas, berat ukuran daging, jumlah daging dalam ruangan pendingin dan jarak antar daging.

PENANGANAN DAGING
  1. METODE PENDINGINAN      
            Daging telah diketahui sebagai bahan yang mudah rusak, hal ini disebabkan karena komposisi gizinya yang baik untuk manusia maupun mikroorganisme, dan juga karena pencemaran permukaan pada daging oleh mikroorganisme perusak. Menurut Buckle et,al (1985), sampai saat ini suhu rendah selalu digunakan untuk memperlambat kecepatan berkembangnya pencemaran permukaan dari tingkat awal sampai tingkat akhir dimana terjadi kerusakan. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan mikroorganisme semacam itu merupakan ukuran ketahanan penyimpanan.
            Istilah “penyimpanan dingin” biasanya diartikan sebagai penggunaan suhu rendah dalam kisaran 10 sampai 3,50 C , suhu yang jauh melebihi permulaan  pembekuan otot, tetapi masih berada dalam suhu optimum – 20 C dan 70C bagi pertumbuhan organisme psikorofilik (Zweigert, 1991). Jadi hal terpenting dalam pemasaran daging yang disimpan pada suhu dingin adalah penjualan yag secepat mungkin berdasarkan pada daya tahan yang tidak lebih dari 3 – 5 hari. Suhu dingin harus tetap terjaga selama penyimpanan dalam jumlah besar, distribusi, penyimpanan di pengecer dan penjualan. Cara ini sangat banyak dipergunakan di kota – kota modern, dan tergantung pada pemotongan ternak dalam jumlah besar dengan distribusi berantai dan penyimpanan dingin (dalam lemari es) di rumah konsumen. Kerusakan daging yang diproduksi dan dipakai setempat dapat dihindari dengan cara menggunakan daging itu secepatnya. Bila diperlukan waktu simpan yang lebih dari 5 hari seperti halnya daging yang disiapkan untuk diekspor ke kota lain atau negara lain, maka suhu 10 sampai 3,50C tidak lagi memadai dan harus digunakan suhu yang lebih rendah, bersama-sama dengan cara-cara lain yang ada untuk mengurangi kecepatan kerusakan oleh mikroorganisme. Faktor-faktor ini menurut Buckle, et al (1985) antara lain adalah: 1) pengurangan tingkat pencemaran awal sampai akhir ke tingkat serendah mungkin dengan penggunaan prinsip-prinsip higiene yang ketat selama penyembelihan dan penanganan karkas. 2) pemilihan suhu terendah yang dapat menghindarkan pembekuan bagian tipis dari pada karkas dan pengawasannya seketat mungkin, dalam pelaksanaannya suhu ini adalah -1,50C -  0,2 0 C.
3) dalam hal karkas, pemilihan kondisi penyimpanan supaya terdapat kelembaban relatif 81 – 87 % sehingga pengeringan permukaan yang mencapai  2 – 4 % dari berat karkas terjadi di permukaan. Hal ini akan menghalangi pertumbuhan bakteri. 4) penambahan kedalam atmosfer penyimpanan sampai 25 % CO2 yang akan mengakibatkan penurunan kecepatan pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah CO2 yang melebihi 25 % cenderung untuk mempercepat pembentukan metmioglobin yang tak diinginkan dan harus dihindari. 5) penggunaan daging dengan pH rendah, sebaiknya dibawah pH 5,8. 6) pengurangan waktu proses pendinginan karkas ke tingkat yang minimum.

B. METODE pembekuan
            Menurut Soeparno (1994), pembekuan atau penyimpanan beku daging dilaksanakan pada suhu dimana mikroorganisme tidak akan tumbuh dan pada suhu dimana daging masih cukup keras dan tahan  pada penimbunan secara besar – besaran. Dalam pelaksanaannya  ini berarti penggunaan suhu dibawah – 15 0C. Daging, seperti bahan biologis yang lain tidak mempunyai titik beku tertentu, akan tetapi mempunyai kisaran titik beku, jumlah air yang terdapat sebagai es ditentukan oleh rendahnya suhu. Jadi pada suhu 00C tidak terdapat es, pada suhu – 10 0C kira – kira 83 % dari air yang ada membeku dan pada – 30 0C kira – kira 89% beku dan baru pada suhu dibawah – 400C semua air yang ada membeku. Saat air mulai membeku kecepatan pembentukan es ditentukan oleh kecepatan penghilangan panas dan kecepatan penyebaran air dari struktur sel disekitarnya. Pada kecepatan beku yang rendah, terbentuk beberapa pusat kristalisasi yang menyebabkan timbulnya kristal – kristal es yang besar yang menyebabkan pecahnya sel dan banyak air yang hilang bila daging dicairkan. Pada kecepatan yang tinggi, jumlah kristal es bertambah dan ukuran kristal tetap kecil. Dan bila daging dicairkan hilangnya cairan tidak akan terlalu banyak. Pendinginan daging tanpa tulang dari 100C menjadi – 120C membebaskan panas kira –kira 250 Kj  per kilogram daging, dimana sebagian besar dari panas ini adalah panas laten yang dibebaskan pada perubahan air menjadi es didalam daging.
        Jenis olahan daging yang telah populer dalam dunia industri pengolahan pascapanen adalah: bakso, kornet, nugget, abon, dendeng, burger, nugget, sosis, dan daging asap.  Sedangkan teknologi pemotongan dan penanganan daging sebelum pengolahan adalah berupa pembelahan karkas digantung pada kaki belakang dan kepala menghadap ke bawah dan pembelahan dilakukan persis membelah tulang punggung sampai ke tulang leher. Kemudian belahan kiri dan kanan tersebut dipotong atas bagian-bagian paha, lulur, lambung, rusuk, dada, bahu dan kaki depan, (Soeparno, 1994).

TEKNOLOGI PENGOLAHAN TERNAK RUMINANSIA KECIL
Teknologi Pengolahan Daging

Konsumsi daging kambing dan domba di Indonesia memiliki kecenderungan hanya berlangsung dengan lonjakan sporadis pada saat-saat tertentu saja. Pasokan domba dan kambing di Indonesia saat ini masih terfokus memenuhi kebutuhan daging hewan kurban saat idul adha, aqiqah, serta konsumsi daging potong untuk kuliner. Sementara itu, segmen untuk pemasaran lain dalam bentuk produk olahan belum berkembang dengan baik. Umumnya, konsumsi daging harian terdesak oleh daging sapi dan daging ayam. Konsumsi daging domba dan kambing oleh masyarakat masih sangat rendah hanya sekitar 5%.
Bagi kebanyakan orang di Asia, Timur Tengah, Amerika  Latin dan Afrika, daging kambing merupakan makanan yang dipercaya mempunyai khasiat yang tinggi dibanding daging sapi. Di Taiwan, daging kambing dipercaya mempunyai khasiat menghangatkan badan sehingga merupakan menu yang digemari di musim dingin.  Peningkatan konsumsi daging domba dan kambing oleh masyarakat Indonesia masih ada tantangan yang harus diatasi. Selama ini ada suatu anggapan bahwa daging domba dan kambing merupakan sumber kolesterol, akibatnya masyarakat membatasi konsumsi daging domba dan kambing. Padahal, resiko tingginya kolesterol juga dapat dipicu oleh berbagai produk makanan lain. Penggunaan minyak atau lemak trans atau minyak yang dipanaskan berulang pada suhu tinggi dalam penyiapan menu makanan sehari-hari juga dapat menyebabkan tingginya kolesterol dalam tubuh. Bila dilihat dari kandungan kolesterol, daging kambing mengandung kolesterol 5-39 mg/100 gram, sedangkan daging sapi dan domba sekitar 42-47 mg/100 g dan 52-77 mg/100 g (Nutrition Society of Australia, 1997 dalam Sumarmono, 2003). 
Saat ini produk olahan kambing dan domba yang ada dimasyarakat adalah sate dan tongseng. Pada proses pembuatan sate melalui pembakaran, akan dihasilkan zat karsinogenik yang tinggi dibandingkan yang diolah dengan cara perebusan (Rahyussalim, 2003 dalam Tiven et.al., 2007). Selain itu selama pembakaran, banyak zat gizi yang keluar. Daging kambing yang dibuat tongseng goreng mengandung lemak yang tertimbun dalam serat daging, sehingga mengandung kolesterol yang tinggi (Adisusetyanto, 2005 dalam Tiven et al., 2007). Beberapa cara pengolahan yang aman untuk daging kambing dan domba adalah pengolahan produk olahan daging berjel seperti bakso, sosis dan nugget/burger, produk dengan preparasi perebusan seperti abon, dan produk seasoning rempah-rempah seperti dendeng. Jenis-jenis olahan tersebut selama ini telah banyak dikembangkan dengan basis daging sapi dan unggas.
Masalah kekhawatiran masyarakat terhadap kandungan lemak dan kolesterol pada olahan daging harus dijawab melalui pengembangan produk rendah lemak dan kolesterol. Untuk produk rendah lemak dapat dilakukan dengan metode pengaturan lemak sebelum dan sesudah panen (Legowo, 2007). Beberapa alternatif untuk mengurangi kandungan lemak dan kolesterol selama pascapanen diantaranya adalah dengan pengurangan lemak pada daging secara langsung. Pengurangan lemak daging inter-muskuler dapat dilakukan dengan teknik penghilangan secara fisik (trimming), pengempaan, pemanasan, atau cara kombinasi. Disamping cara langsung, saat ini telah dikembangkan metode substitusi lemak pada daging dan produk olahannya atau penggunaan fat replacer yang memiliki sifat seperti lemak tetapi rendah kalori, dan digunakan sebagai aditif dalam produk makanan kecil (Tranggono, 2001).
Substitusi bahan tertentu dapat menurunkan kadar lemak secara proporsional dan menghasilkan citarasa serta sifat menarik. Penggunaan putih telur sebagai pengganti lemak dalam produk olahan daging telah dicoba untuk bakso (Liu et al., 1999). Modifikasi produk dengan pencampuran bahan fungsional tertentu dapat memperbaiki karakteristik produk rendah lemak setelah dioven ’microwave’ (Taki, 1991). Beberapa bahan fungsional yang telah dicoba yaitu polisakarida, protein susu atau kedele, serat dari ’oat’ dan beras, minyak dan ’shortening’. Pemberian protein kedele untuk mensubstitusi lemak dapat memperbaiki tekstur produk (Hoogenkamp, 2002).
Pengembangan produk pangan berkadar lemak rendah harus memperhatikan manfaat bagi kesehatan, citarasa dan prospek pemasarannya. Upaya tersebut masih menyisakan permasalahan yang harus dipecahkan. Salah satu permasalahan yang dihadapi pada produk-produk olahan rendah lemak adalah adanya kecenderungan produk memiliki harga yang lebih mahal.
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU
         Menurut laporan Dirjen Peternakan, konsumsi susu dari 6,8 liter/kap/tahun pada tahun 2005, menjadi 7,7 liter/kap/tahun pada tahun 2008. Pada tahun 2009, produksi susu dalam negeri hanya mampu memenuhi 25,11% dari total kebutuhan nasional. Sementara itu Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014, menyebutkan bahwa sasaran produksi susu sapi segar tahun 2010 sebesar 726 ribu ton dan pada tahun 2014 sebesar 1297 ribu ton (pertumbuhan 15,56 %/tahun).   
      Susu merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi yang dapat diperoleh dari hasil pemerahan hewan seperti sapi, kerbau, kuda, kambing dan hewan lainnya. Komponen-komponen yang penting dalam air susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa serta enzim-enzim dan beberapa mikroba (Lampert, 1980).
        Komposisi susu dapat dikatakan sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, antara lain bangsa, tingkat laktasi, pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur, akan tetapi angka rata-rata untuk semua jenis kondisi dan jenis kambing perah adalah sebagai berikut: kadar air 87,81%, lemak 4,09 %, protein 3,71 %, laktosa 4,20 %, kadar abu 0,79% dan beberapa vitamin yang larut dalam lemak susu, yaitu vitamin A, D, E dan K (Handerson, 1981 dan Buckle et, al. 1985). Disini terlihat bahwa kadar lemak dan protein susu kambing  lebih tinggi dibandingkan susu sapi, dimana pada susu sapi kadar lemak 3,50 % dan proteinnya 3,40 %.  Walaupun susu masih segar dan berasal dari kambing yang sehat tidak dijamin aman untuk dikonsumsi. Menurut Buckle et.al (1985), susu mudah terkontaminasi oleh bakteri patogen yang berasal dari lingkungan, peralatan pemerahan atau ternak itu sendiri. Tetapi susu yang telah mengalami pasteurisasi, sterilisasi atau pemanasan pada suhu tinggi merupakan susu yang aman untuk dikonsumsi. Kuman yang mencemari susu akan tumbuh dengan baik apabila lingkungan alam sekitar seperti keadaan anaerob, suhu, kelembaban, pH dan adanya laktosa yang mendukung.
       Menurut Buckle et.al (1985),  beberapa kerusakan susu akibat aktivitas mikroorganisme antara lain adalah: 1) pengasaman  dan penggumpalan yang disebabkan karena fermentasi laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya pH dan kemungkinan terjadinya penggumpalan kasein. 2) berlendir seperti tali yang disebabkan karena terjadinya pengentalan dan pembentukan lendir sebagai akibat pengeluaran bahan seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri. 3) penggumpalan susu yang timbul tanpa penurunan pH, hal ini disebabkan oleh bakteri seperti Bacillus cereus yang menghasilkan enzim yang mencerna lapisan tipis fosfolipid disekitar butir-butir itu menyatu membentuk suatu gumpalan yang timbul kepermukaan susu. Sifat-sifat fisik dan kimiawi susu adalah: kerapatan susu bervariasi antara 1,0260 dan 1,0320 pada suhu 20oC, pH susu segar berada antara 6,6-6,7 dan warna susu yang normal adalah putih kebiru-biruan sampai kuning kecoklatan. Cita rasa susu, menyenangkan dan agak manis, dimana rasa manis berasal dari laktosa, sedangkan rasa asin berasal dari klorida. Penggumpalan susu merupakan sifat yang paling khas, yang diakibatkan kegiatan enzim atau penambahan asam (Handerson, 1981).
        Produk-produk olahan susu yang sudah dikenal dalam industri pengolahan adalah: susu pasteurisasi, homogen, susu skim dan es krim, mentega, keju, susu kental, susu bubuk, yoghurt, dadih, dali, kefir, es krim, karamel / kembang gula susu, dodol susu, dan krupuk susu (Abubakar, 1994).

TEKNOLOGI  PENGOLAHAN KULIT

        Kulit ternak ruminansia kecil dapat dijadikan sebagai bahan pokok pembuatan sepatu, sandal, dompet, tas, ikat pinggang, jaket, dll. Sebelum digunakan sebagai bahan industri, kulit segar harus diproses yaitu dibersihkan, diberi garam, dikeringkan dengan matahari, dan disamak. Pada prinsipnya penyamakan kulit terdiri dari tujuh tahapan utama, yaitu: pengeringan awal, perendaman dalam larutan kapur, pencukuran bulu, pemberian obat-obatan dengan cara perendaman, pengeringan akhir, peregangan dan penghalusan dan pengkilapan akhir. Berdasarkan fungsinya, kulit yang sudah disamak dan sudah siap digunakan sebagai bahan pokok industri ada tiga golongan yaitu, kulit kalf, kulit sol dan kulit lapisan dalam. Kulit kambing dapat dibuat sebagai kulit kalf dan kulit lapisan dalam, sedangkan kulit sol biasanya berasal dari kulit sapi (Abubakar, 2004).

TEKNLOGI PENGOLAHAN LIMBAH

  1. KOTORAN

        Kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk kandang, dan mempunyai keunggulan dibandingkan pupuk alam lainnya, kotoran ternak mengandung unsur N, P dan K, yang lebih tinggi dari pupuk hijau dan kompos yaitu 0,95 % N, 0,35 % P205, dan 1,0% K20 (Subagyo dan Samad, 1985). Selain itu kotoran ternak dapat digunakan sebagai gas bio dan bahan makanan ternak, karena diduga mengandung vitamin B12 yang dapat merangsang pertumbuhan ayam atau ternak lain (Wiryosuhanto, 1985).

  1.  TULANG/TANDUK
        Kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum dijumpai terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Zat gizi yang mempunyai peranan penting dalam tubuh yaitu mineral zat besi, phospor dan kalsium. Karena kekurangan zat besi sangat besar pengaruhnya dalam proses terjadinya kekurangan gizi maka seringkali istilah anemia gizi diidentikkan dengan istilah anemia besi. Kekurangan besi adalah penyebab utama terjadinya anemia, yang menurut beberapa pakar gizi digambarkan sebagai suatu kondisi menurunnya jumlah sel darah merah, sehingga kadar hemoglobin dalam tubuh berada di bawah normal. Sumsum tulang yang berfungsi sebagai tempat pembentukan sel-sel darah merah diyakini mengandung Fe yang siap digunakan untuk pembentukan sel darah merah. Sumsum tulang sebelum digunakan  terlebih dahulu ditentukan kadar Fe-nya. Metode yang digunakan ialah destruksi dengan menggunakan HCl yang kandungan Fe-nya diukur dengan spektrofotometer pada λ 460 nm dan Spektroskopi Absorpsi Atom (AAS) pada λ 248.3 nm. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kandungan Fe pada sumsum tulang dengan metode spektrofotometri sebesar 109 ppm (0.0109%), sedangkan dengan AAS sebesar 175.75 ppm (0.0176%) (Abubakar et al., 2004).  Menurut Abubakar et al., (2004), tulang juga mengandung kalsium, yang merupakan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, khususnya bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, wanita hamil, dan orang tua. Kalsium banyak terdapat dalam tulang, oleh karena itu tulang ternak sebagai produk samping atau limbah dari pemotongan hewan ternak dapat digunakan sebagai suplemen kalsium.  Kadar kalsium tulang telah diukur dengan dua metode, yaitu metode permanganometri dan Spektroskopi Absorpsi Atom (AAS). Dari metode permanganometri diperoleh kadar kalsium tulang sebesar 1,56%, sedangkan dari metode AAS sebesar 18,45%.          
        Rendemen tepung tulang terhadap tulang diperoleh sebesar 60,86% (b/b). Dari hasil uji kualitatif, tepung tulang mengandung klorida, kalsium, fosfat, magnesium, dan besi, sedangkan sulfat ditemukan dalam jumlah sangat kecil. Dari hasil uji proksimat, tepung tulang mempunyai kadar air sebesar 0,26%, kadar abu sebesar 48,55%, dan kadar lemak sebesar 2,34% (Abubakar et al., 2004). 

PENINGKATAN MUTU PRODUK / HASIL RUMINANSIA KECIL
       Hasil ternak merupakan bahan yang sangat mudah rusak sehingga perlu segera dilakukan penanganan. Diversifikasi olahan produk ternak melalui teknologi pascapanen (penanganan/pengawetan dan pengolahan) dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk. Teknik-teknik penanganan dan pengolahan hasil ternak diharapkan dapat mengamankan hasil produksi terhadap penurunan mutu agar dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah hasil ternak, baik dari segi bobot, bentuk fisik, rupa dan gizi maupun rasa, bebas dari jazat renik  patogen serta residu bahan kimia, sehingga produk aman (food safety) dan dapat memenuhi persyaratan pasar dalam dan luar negeri serta agroindustri pengolahan (Abubakar, 2004).
     Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain, genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif. Faktor setelah pemotongan adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk, hormon, lemak intra muskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging. Menurut Soeparno (1994), marbling menjadikan daging empuk, karena marbling berperan sebagai bahan pelumas pada saat daging dikunyah dan ditelan, juga berpengaruh terhadap sari minyak (juiceness) dan aroma (flavor) daripada keempukan daging. Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau atau rasa, jus daging. Disamping itu lemak intramuskular, susut masak, retensi cairan, ph daging ikut menentukan kualitas daging.  Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukan yang dapat dinyatakan dengan sifat mudah dikunyah (Soeparno, 1994). Kualitas dan komposisi susu dapat dikatakan sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, antara lain bangsa, tingkat laktasi, pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur. Susu harus memenuhi syarat-syarat kesehatan dan kebersihan, karena susu merupakan media yang paling baik bagi petumbuhan mikroba, selain itu susu mudah pecah dan rusak bila penanganannya kurang baik, sehingga masa simpannya selatif singkat. Parameter spesifik kualitas susu sangat ditentukan oleh, berat jenis / total solid, kadar lemak, protein, dan jumlah kuman. Disamping itu untuk menangani kelebihan produksi air susu, maka langkah yang paling tepat adalah dengan mengawetkan susu tersebut untuk memperpanjang masa simpannya. Sehubungan dengan itu diversifikasi pangan daging untuk mensukseskan PSDSK, diperlukan strategi peningkatan produk hasil ternak yang bermutu dan aman (food safety)  melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan ber kesinambungan.

DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN TERNAK  RUMINANSIA KECIL MELALUI TEKNOLOGI PASCAPANEN

       Untuk meningkatkan konsumsi hasil ternak ruminansia kecil, salah satu programnya adalah diversifikasi produk olahan melalui teknologi pascapanen. Teknologi pascapanen mempunyai peran yang besar dalam peyediaan pangan bergizi tinggi yang berasal dari protein hewani. Berdasarkan  teknologi pascapanen (penanganan dan pengolahan hasil ternak) daging, susu dan kulit, maka teknologi yang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh pengguna, untuk meningkatkan konsumsi, meningkatkan nilai tambah dan daya saing ternak, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel. Diversifikasi produk olahan, dan peluang pascapanen ternak ruminansia kecil

KOMODITI
ASAL TERNAK
DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN
Peluang pascapanen
Daging
Ruminansia kecil

Abon
Dendeng
Bakso
Sosis
Kornet
Nugget
Asap

Bagian  karkas,
BTP,
Bahan dan teknik Pengemasan,
Penyimpanan,
Bahan dan teknik
 pengasapan
Susu
Kambing
Pasteurisasi
Yoghurt
Kefir
Dali
Dadih
Karamel
Dodol
Krupuk
Keju
Teknik pemanasan,  suhu.
Penyimpanan,
Mikroba-probiotik,
Teknik pengolahan.
Renet alami dari kambing
Keju lemak rendah
Keju probiotik
Pangan fungsional
Kulit & kulit
Bulu
Ruminansia kecil


Kulit samak
Samak bulu
Teknik samak kulit,
kulit bulu.
Tulang

Ruminansia kecil
Mineral
Ca, P, Fe
Sumber mineral untuk kesehatan

KESIMPULAN

Peningkatan produksi ternak ruminansia kecil yang sudah baik harus diikuti dengan teknologi pascapanen untuk meningkatkan konsumsi hasil ternak, meningkatkan kualitas produk hasil ternak, maupun dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan daya saing ternak. Produksi hasil ternak ruminansia kecil pemanfaatannya dirasakan belum optimal oleh karena masih adanya susut hasil, beragamnya mutu produk, kurang berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, mempunyai sifat mudah rusak, serta lemahnya sistem pemasaran, maka strategi peningkatan produk hasil ternak yang bermutu dan aman (food safety) hendaknya dilakukan melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan berkesinambungan. Penelitian dan pengembangan diversifikasi produk olahan ternak ruminansia kecil melalui teknologi pascapanen diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk, meningkatkan konsumsi / preferensi hasil ternak, sekaligus dapat mendukung PSDSK khususnya dan pembangunan subsektor peternakan pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. 1994. Teknologi Penyimpanan dan Pengemasan Hasil Ternak (Dukungan terhadap Agroindustri Komoditi Ternak). Proseding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Batu - Malang 26-27 Oktober. Sub BPT Grati.
Abubakar dan IG.Putu. 1997. Pengaruh Percikan Air Dingin (Spray Chilling) terhadap Penurunan Susut Berat Karkas Sapi Brahman Cross selama Penyimpanan pada Suhu Ruangan 5-6o C. Proseding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 18-19 November. Puslitbang Peternakan Bogor.
Abubakar, Triyantini, R.Sunarlim dan H. Setiyanto. 1999. Teknologi Pasca Panen untuk meningkatkan nilai tambah hasil ternak dalam usaha merangsang pertumbuhan agroindustri. Proseding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 18-19 November. Puslibang Peternakan Bogor.
Abubakar, D Mustika dan Sugiarto. 2004. Zat besi dari sumsum tulang sapi sebagai suplemen untuk pencegahan anemia gizi. Proseding Seminar Nasional, Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Abubakar. 2004. Strategi peningkatan kualitas produk melalui teknologi pascapanen dalam pengembangan agribisnis kambing. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Bogor 6 Agustus 2004

Buckle, KA., RA. Edwards. GH.Fleet and M.Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari 
            Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta
Dirjen Peternakan, 2009. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan,        Deptan, Jakarta.
Harderson. JL. 1981. The Fluid Milk Industri (3 rd Ed). Connecticut: AVI Publishing Inc.     
Hoogenkamp, H. 2002. Poultry allows processing to go further.
                  Meat International 12(5): 20-23.

Kementerian Pertanian. 2009. Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta
              
Lampert. CM. 1980. Modern Dairy Prouct. New York Publishing , Co. Inc.

Legowo, A. M. 2007. Peranan Teknologi Pangan dalam Pengembangan Produk Olahan Hasil Ternak Di Tengah Kompetensi Global. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Teknologi Pasca Panen. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro.

Liu, D.C., M.T., Chen, C. S., Homg, and H. W. Ockerman. 1999. Liquid egg white used as a fat replacer in pork meatball. Proc. 45th International Congress of Meat Science and Technology, Yokohama: 162-163.

Price JF and BS. Schweigert. 1988. The Science of Meat and Meat Product. Food and Nutrition Press, Inc. Westport Connecticut.

Pearson, AM and  FW. Tauber. 1994. Processed Meat. Avi Publish Co, Inc. Westport, Connecticut.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. PO Box 14             Bulaksumur Yogyakarta.

Subagyo dan B. Samad. 1985. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jilid II. PT. Soerongan, Jakarta.

Sumarmono, J. 2003.  Jangan Takut Makan Daging Kambing. Infovet. Edisi 112 Nopember

Taki, G.H. 1991 Functional ingredient blend produces to meet consumer expectations. Food Technology, 45 (11): 70-74.

Tranggono. 2001. Liquid dalam perspektif ilmu dan teknologi panga. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tiven, N. C., Suryanto, E., dan Rusman. 2007. Komposisi kimia, sifat fisik dan organoleptik bakso daging kambing dengan bahan pengental yang berbeda.    
                 Agritech. 27 (1): 1-6.

Wilson, ARP, J. Dyett, RB. Hughes and CR Jones. 1991. Meat and Meat Product: Factor  Affecting Quality Control. Applied Sci Publish. London.
Wiryosuhanto, SD. 1985. Produksi dan penggunaan kotoran ternak. Monografi Limbah Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta.
Zweigert, P. 1991. Meat Science and Technology. The Science of Meat and Meat Product. WH.Freeman Co, San Francisco.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar