STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI PASCAPANEN
DALAM MENINGKATKAN MUTU KEAMANAN KARKAS
AYAM
DI INDONESIA
Abubakar
Balai
Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
Email: abu.028@gmail.com
ABSTRAK
Daging ayam
merupakan komoditas strategis, baik dalam rangka meningkatkan gizi maupun dalam
meningkatkan taraf hidup peternak unggas. Hingga saat ini sebagian besar
peternakan rakyat menjual ayam pedaging dalam bentuk hidup, dimana pedagang
pengecer yang mengolah ayam tersebut menjadi karkas ayam siap dijual pada konsumen.
Di dalam proses pengolahan ayam hidup menjadi karkas ayam segar, mulai
penyembelihan, pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, pencucian, pengemasan,
pendinginan dan pengangkutan terhadap karkas ayam belum dilakukan sesuai dengan
norma dan kaidah-kaidah kesehatan, oleh karena itu mutu dan keamanan pangan
karkas ayam menjadi rendah, bahkan tingkat kehalalannya masih diragukan
sehingga harganya turun dan peluang pasarnya menjadi rendah. Untuk dapat
memproduksi karkas ayam bermutu dan aman bagi kesehatan, diperlukan adanya
penerapan inovasi teknologi pascapanen dan sistem jaminan mutu. Hal ini dapat
ditempuh melalui penerapan secara meluas
sistem produksi karkas ayam yang baik (GMP) dan
HACCP melalui strategi yaitu: sosialisasi dan advokasi, pemantauan dan
pengawasan, menerapkan peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan
mutu dan keamanan karkas ayam, dan standardisasi. Sedangkan kebijakan dan program yaitu: peningkatan
keamanan dan mutu produk, pembinaan pelaku dari aspek pascapanen, penelitian
dan pengembangan serta diseminasi dan promosi.
Kata
kunci: mutu dan
keamanan karkas ayam, strategi kebijakan dan program
PENDAHULUAN
Seiring dengan peningkatan
kesejahteraan, pendapatan, pendidikan dan ketaqwaan masyarakat, maka kebutuhan
akan pangan yang berkualitas, bergizi, aman dan halal dikonsumsi akan terus
menjadi tuntutan. Hal ini sejalan dengan deklarasi yang dihasilkan dalam FAO
dan WHO, Conference on Nutrition tahun
1992, dalam American Meat Institut Foundation (1996) bahwa untuk
mendapatkan pangan yang bergizi, bersih dan aman dikonsumsi adalah hak setiap
orang. Pangan yang dimaksud dapat berupa
hasil tanaman pangan dan atau hasil
ternak.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan
berupa hasil ternak, sampai saat ini sebagian besar dipenuhi oleh usaha
peternakan rakyat. Oleh karena itu diperlukan teknologi yang tepat guna pada
setiap rantai praproduksi, produksi dan pascapanen.
Hingga saat ini peternakan rakyat belum
memiliki akses yang baik terhadap tiga komponen bisnis yang sangat menentukan,
yaitu sarana produksi, teknologi, dan informasi harga. Kondisi ini mendorong
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.22 / 1990 yang bertujuan untuk
memberdayakan peternakan rakyat sebagai pelaku utama budidaya dan sekaligus
mewujudkan perunggasan yang tangguh memasuki era pasar global (Poultry
Indonesia, 1995).
Dalam KEPRES tersebut dinyatakan bahwa
perusahaan peternakan ayam yang melakukan kemitraan wajib memiliki sarana
penanganan dan pemotongan ayam. Ayam
pedaging yang dihasilkan harus memenuhi syarat kehalalan, kebersihan, dan
kesehatan. Hal ini mungkin salah satu upaya untuk mencegah mewabahnya virus flu
burung kedaerah lain sebagai akibat dari pengiriman ayam hidup antar daerah,
antar kota yang kurang higienis.
Hingga saat ini sebagian besar
peternakan rakyat (60-70%) menjual ayam broiler dalam bentuk hidup, dimana
pedagang pengecer yang mengolah ayam tersebut menjadi karkas ayam siap dijual
pada konsumen (Poultry Indonesia, 2005). Di dalam proses pengolahan ayam hidup
menjadi karkas ayam segar, mulai penyembelihan, pencabutan bulu, pengeluaran
jeroan, pencucian, pengemasan, pendinginan dan pengangkutan terhadap karkas
ayam belum dilakukan sesuai dengan norma dan kaidah-kaidah kesehatan, oleh
karena itu mutu dan keamanan pangan karkas ayam menjadi rendah, bahkan tingkat
kehalalannya masih diragukan sehingga harganya turun dan peluang pasarnya
menjadi rendah (Abubakar, 2005).
Untuk meningkatkan mutu dan keamanan
karkas ayam dapat diupayakan melalui penerapan inovasi teknologi pascapanen dan
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
mulai penyembelihan, hingga transportasi (Tompkin, 1990; Bauman, 1990 ; Abubakar, 2003). Teknologi Pascapanen
merupakan cabang/ bagian dari ilmu produksi mulai dari pemanenan, penanganan
hasil, pengolahan hingga transportasi, sedangkan HACCP adalah suatu piranti
untuk menilai suatu bahaya spesifik dan menetapkan sistem pengendalian yang
difokuskan pada pencegahan daripada pengujian produk akhir (American Meat
Institut Foundation,1994). Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan
wawasan dan gagasan dan kontribusi ilmiah terhadap pembuat kebijakan pembangunan
pertanian khususnya dalam peningkatan mutu dan keamanan karkas ayam.
KONDISI,
MASALAH DAN ARAH PENGEMBANGAN MUTU
DAN
KEAMANAN KARKAS AYAM
Kondisi
Keamanan karkas ayam adalah
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah karkas ayam dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan mem
bahayakan kesehatan manusia (American Meat Institut Foundation, 1994; American
Meat Institut Foundation, 1996). Tujuan peningkatan mutu karkas ayam adalah
mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan melalui
perlakuan dan teknologi yang bertitik tolak pada penyebab kerusakan.
Indikator mutu karkas ayam
terkait dengan: a) mutu fisik, yaitu keutuhan fisik, warna, penampakan, kesegar
an, keseragaman bentuk, b) mutu kimia, yaitu kandungan gizi, aroma, rasa, bebas
cemaran logam berat, c) mutu biologi, yaitu bebas dari kontaminasi mikroba
patogen yang membahayakan kesehatan (Abubakar et al., 1991b; NFPA. 1993).
Kenyataan dilapangan, 100% RPA
tradisional melakukan proses pemotongan ayam secara manual, tidak memiliki izin
operasional, tidak sesuai dengan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang), menimbulkan
polusi, 83,33% aktivitas pemotongan tidak terkontrol dari aspek kesmavet,
83,33% tidak melakukan labelisasi, 83,33% tidak melakukan pengemasan karkas dan
83,33% tidak melakukan penyimpanan dingin (Abubakar dan Budinuryanto, 2003).
Sebanyak 83,33% RPA tradisional tidak melakukan pengawasan terhadap kesehatan
ayam hidup, 83,33% tidak melakukan pemeriksaan secara klinis dan 71,83% tidak
melakukan pembuangan ayam mati dengan segera serta 74,5% kurang higinis pada
tempat pemotongan (Abubakar dan Widaningrum, 2006; Abubakar, 2006). Sebagai
akibat dari kondisi tersebut, di Bogor sering beredar ayam mati kemarin (tiren)
rata-rata sekitar 270-500 ekor / bulan, saat permintaan meningkat (Bulan
Ramadhan, dan menjelang Iedul Fitri).
Ayam tiren, merupakan ayam mati di
kandang atau mati saat pengangkutan kemudian disembelih dan diperjual belikan.
Ciri khas penampilannya adalah karkas memar, daging kuning-merah gelap,
terdapat cairan warna gelap, hati coklat-hitam, banyak pembekuan darah pada
usus, bau abnormal, konsistensi lemah, banyak kerusakan pada kulit dan daging,
uji Postma positif, pH 5 - 7 dan jumlah bakteri 1,02x1010–1,14x1010
(Abubakar dan Wahyudi, 1994 ; Abubakar, 2007). Dari kondisi inilah menyebabkan
mutu karkas ayam rendah, sehingga peluang pasar menjadi terbatas.
Masalah
Untuk menghasilkan karkas ayam
Aman Sehat Utuh dan Halal (ASUH) adalah sebuah kewajiban moral serta hukum dari
produsen. Untuk itu ayam yang akan disembelih harus sehat dan tidak mengandung
penyakit yang mengakibatkan kelainan metabolisme.
Di Indonesia penyembelihan
ayam masih dilakukan secara tradisional yaitu dengan menggunakan peralatan
sederhana dan dilakukan secara manual sehingga menghasilkan 56,88% karkas
bermutu rendah, serta sebagian karkas ayam belum sesuai dengan SNI, sehingga
konsumen enggan membeli (Abubakar,1992; Abubakar, 2003; Abubakar, 2006).
Akibat dari 84,5% kondisi sanitasi RPA
tradisional yang kurang memenuhi syarat, maka kandungan bakteri/gram daging
melebihi batas ambang yang dipersyaratkan. Hal ini terlihat dari jumlah
kuman/gram daging ayam yang diambil di beberapa RPA tradisional yaitu 4–29x108, sedangkan yang
diizinkan dalam SNI sebesar 5x106.
Adapun jenis bakteri utama yang terdeteksi
E. coli, E. aglomerans, E.
aerogenes, dan E. Marcescens (Abubakar et
al., 1994; Abubakar dan Budinuryanto, 2003, Abubakar dan Triyantini, 2005).
Rendahnya mutu pada karkas ayam dari hasil penyembelihan di RPA tradisional,
akibat dari kontaminasi kimia, fisika dan mikrobiologis yang menyebabkan
berdampak merugikan kesehatan pada manusia (Notermans, 1994; Stevenson dan Bernard, 1995).
Kontaminasi
kimia terjadi pada tahap produksi, hingga produk akhir yang berpengaruh
terhadap konsumen berjangka panjang (kronis), misalnya bahan kimia utama yang
dapat mencemari adalah deterjen, pestisida, herbisida, insektisida, nitrit,
nitrat, migrasi komponen kemasan plastik, residu antibiotika, aditif kimia dan
logam berat beracun (Tompkin, 1995; Pearson and Dutson, 1995). Berdasarkan
penelitian, kontaminasi fisik, berasal dari tubuh ternak yang terbawa dari
lokasi sebelumnya seperti: gelas, logam, batu, ranting, hama, pasir, yang
berpengaruh terhadap mutu fisik. Kontaminasi biologis disebabkan oleh aktivitas
mikro organisme yang berasal dari air dan tangan operator serta lingkungan
sekitarnya seperti: bakteri, fungi, virus, parasit, protozoa, ganggang dan
toksin, yang dapat merusak mutu karkas ayam (The National Advisory Committee on
Microbiological Criteria for Foods, 1992 ; Abubakar dan Widaningrum, 2006).
Arah dan Harapan ke depan
Peningkatan mutu pada karkas ayam harus
menghasilkan karkas yang ASUH, yaitu Aman, Sehat, Utuh dan Halal. Karkas ayam
aman yaitu tidak mengandung penyakit dan atau residu bahan kimia yang dapat
menyebabkan terganggunya kesehatan manusia. Karkas ayam sehat yaitu mengandung
zat yang berguna bagi tubuh, karkas ayam utuh yaitu tidak dicampur dengan
bagian lain dari hewan tersebut atau bagian hewan lain dan karkas ayam halal
yaitu disembelih sesuai dengan syariat Islam (Poultry Indonesia, 2008).
Sehingga prinsip ASUH mampu mencegah dan melindungi produk dari pemalsuan serta
ada jaminan mutu.
Jaminan mutu merupakan suatu jaminan
bahwa produk akan dibeli konsumen dengan penuh kepercayaan dan digunakan
terus–menerus dalam jangka waktu yang lama dengan penuh keyakinan dan kepuasan
(Juran, 1988). Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability (keandalan), responsiveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya diri)
dan emphaty (keramah tamahan) (The National
Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods, 1992; Suratmono,
2005). Dengan adanya peningkatan mutu dan keamanan karkas ayam, diharapkan
jangkauan pasarnya menjadi lebih luas dalam skala lebih besar.
PENINGKATAN MUTU DAN KEAMANAN KARKAS AYAM MELALUI INOVASI TEKNOLOGI PASCAPANEN
Karkas ayam mudah dan cepat rusak,
karena mengandung air (65-70%), protein (19-22%), lemak (10-12%), dan mineral
(1-2%), yang mudah bereaksi, terdegradasi, mendorong aktivitas enzim serta
merupakan media yang baik untuk perkembangan mikroba (Zweigert, 1991). Tipe
kerusakan produk tergantung pada komposisi, struktur, tipe mikroba dan kondisi
penyimpanan produk (Carpenter and Sandra, 1989; Moye, 1991; Winarno dan Surono, 2002). Beberapa faktor yang mempengaruhi
kerusakan, mutu dan keamanan karkas ayam adalah air, suhu, oksigen, zat gizi,
organisme pembusuk dan adanya zat penghambat pertumbuhan. Oleh sebab itu telah
dilakukan serangkaian kegiatan penelitian mengenai teknologi pascapanen mulai
dari penyembelihan, pencabutan bulu, pengeluaran organ dalam, pencucian,
pendinginan, pengemasan, penyimpanan hingga transportasi, untuk mengurangi
tingkat kerusakan, mutu dan nilai ekonomi karkas ayam.
Penyembelihan dan Pencabutan Bulu
Sebagian besar penyembelihan ayam di RPA
tradisional belum mendapat sentuhan inovasi teknologi yang memadai, sebanyak
74,5% RPA mengalami keterbatasan sarana dan tempat yang kurang memenuhi syarat,
seperti tempat penyembelihan bersatu dengan tempat pencucian dan 83,33% kurang
memperhatikan sanitasi pada alat-alat pemotongan dan penanganan karkas sehingga
menghasilkan karkas ayam yang bermutu rendah (Abubakar et al., 1991a). Untuk menghasilkan karkas ayam bermutu, maka
sebelum ayam disembelih harus diistirahatkan selama 12-24 jam. Hal ini untuk
menghindari stres pada ayam (Renwick and Shane. 1993; Soeparno, 1994). Kondisi stres pada ayam mengakibatkan adanya
perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga
pH daging turun menjadi 5-6 dan hal ini memberikan peluang bagi bakteri
dan mikroorganisme lain tumbuh subur yang dapat merusak daging (Forrest et al., 1975; Kotula and Kathryn, 1995).
Kerugian akibat kerusakan fisik pada
karkas selama penyembelihan ayam mencapai 10% (Abubakar dan Widaningrum, 2006).
Kerugian terbesar pada karkas, sebagai akibat memar-memar pada paha dan dada
yang terjadi 1-13 jam sebelum pemotongan (Abubakar dan Budinuryanto, 2003).
Faktor-faktor yang menyebabkan memar-memar pada karkas ayam: terlalu padatnya
tempat ayam, perlakuan kasar pada ayam saat pengangkutan/ pemotongan, iritasi
dan cysts pada dada, faktor genetis,
penyumbatan pembuluh darah, freezer burn,
darkened bones dan black melanin (Raj Mohan.1995; Ensminger,
1998).
Pada proses penyembelihan, pengeluaran
darah harus cepat dan keluar sebanyak mungkin, oleh karena itu saat dan setelah
penyembelihan ayam harus digantung, sebab disamping arteri dan vena yang
terpotong merupakan pintu saluran kontaminasi bakteri untuk masuk dalam tubuh
ayam dan lagi pula darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme (Abubakar et al., 2000
; Syamsul, 2007).
Teknik penyembelihan ayam yang baik
yaitu memotong arteri karotis, vena jugularis dan oesofagus sehingga darah
keluar secara keseluruhan (sekitar 3-4% dari bobot ternak) dan berlangsung
sekitar 60-120 detik (tergantung besar kecilnya ternak) yang berdampak terhadap
kebersihan dan kesehatan karkas ayam (Soeparno, 1994; Abubakar et al., 2000; Soekarto, 2007). Teknik
penyembelihan ayam yang dimasukkan kedalam corong dan pencabutan bulu dengan
tangan, menghasilkan karkas terbaik (mutu I) dengan persentase tertinggi
(66,7%), disusul oleh perlakuan pemotongan digantung dan pencabutan bulu dengan
tangan (57,6%). Karkas mutu I yang diperoleh dari pemotongan menggunakan corong
tidak banyak mengalami benturan,
sehingga mengurangi terjadinya memar dan ayam terlihat utuh serta bersih dan berakibat mempunyai peluang pasar yang
baik (Triyantini et al., 2000).
Teknik pencabutan bulu merupakan tahapan
untuk mendapatkan karkas yang bersih dari kotoran dan bulu. Dengan teknologi perendaman dalam air panas
pada temperatur 50-54oC selama 30-45 detik, untuk ayam muda,
temperatur 55-58oC selama 45-90 detik, untuk ayam tua, menyebabkan
mudahnya pencabutan bulu, kulit bersih dan cerah, serta tidak mudah
terkontaminasi bakteri (Waldroup, 1993; Abubakar
dan Budinuryanto, 2003).
Pengeluaran Organ
dalam dan Pencucian
Organ dalam ayam (Viscera) merupakan tempat kotoran, sehingga harus dikeluarkan
sesempurna mungkin. Proses pengeluaran organ dalam dimulai dari pengambilan
tembolok, trakhea, hati, empedu, empedal, jantung, paru-paru, ginjal, usus dan
ovarium/ testes. Setelah pengeluaran organ dalam, dilakukan pencucian karkas
dengan menggunakan air suhu 5-10oC dengan kadar klorin 0,5-1 ppm,
hal ini untuk menghindari dan menekan pertumbuhan bakteri, sehingga mutu dan
keamanan karkas ayam tetap terjaga (Abubakar, 2003).
Pengemasan dan Pendinginan
Karkas
ayam mudah terkontaminasi mikroorganisme dari tempat penyembelihan, alat-alat,
dan dari pekerja, sehingga karkas cepat rusak, serta menurunkan mutu. Oleh
karena itu untuk menghindari masuknya mikroorganisme pada karkas ayam perlu
dilakukan pengemasan dan pendinginan. Fungsi utama pengemasan adalah untuk
melindungi karkas terhadap kerusakan yang terlalu cepat, baik kerusakan fisik,
perubahan kimiawi, maupun kontaminasi mikroorganisme serta untuk menampilkan produk dengan cara yang menarik (Cunningham and Cox,
1987; Wiradarya, 2005).
Untuk mencegah perkembangan bakteri,
maka pada pengemasan karkas ayam, suhu karkas ayam sebelum dikemas maksimal 7 -
10oC, dengan bahan pengemas
plastik yang tidak toksik, tidak bereaksi dengan produk serta mampu mencegah
terjadinya kontaminasi pada produk (Abubakar et al., 1995; Abubakar dan Budinuryanto, 2003). Teknik pendinginan
karkas ayam yang baik menggunakan air pada temperatur maksimal 4 - 5oC
dengan total es yang dibutuhkan sekitar 1,5 – 2,0 kg/ekor ayam, dengan waktu
pendinginan yang dibutuhkan 15-20 menit
dan dalam waktu tidak lebih dari 8 jam setelah penyembelihan sehingga
kondisi fisik, kimia dan mikrobiologi karkas ayam tetap baik (Forrest et al., 1975; Abubakar et al., 1995; Abubakar dan Triyantini,
2005).
Penyimpanan
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
mutu karkas saat penyimpanan adalah temperatur, tingkat kebersihan karkas
sebelum disimpan, tempat penyimpanan, cara pemotongan / penanganan, dan bahan
pengemas (Abubakar et al.,1994 dan
Abubakar et al.,1995). Supaya karkas
ayam tidak mudah rusak, rasa dan nilai gizinya dapat dipertahankan, teknik
penyimpanan bertujuan melindungi konsumen dari berbagai reaksi senyawa yang
dikandung karkas ayam, akibat kontaminasi mikroba patogen yang dapat meracuni
konsumen (Franco, 1995; Abubakar et al., 2003).
Teknik
penyimpanan karkas ayam yang baik yaitu menggunakan suhu ruangan (-4)oC
sampai 0oC, karena dengan teknik ini dapat mempertahankan dan
melindungi karkas dari berbagai kontaminan berbahaya, mutu fisik dapat
dipertahankan, mutu gizinya tetap baik dan dapat menekan pertumbuhan bakteri
sehingga dapat mem perpanjang daya simpan 1 - 3 bulan, sedangkan pada suhu 5-10oC,
masa simpannya 7-10 hari (Abubakar et
al., 1995) dan pada suhu (-10) - (-18)oC, masa simpannya 3-6
bulan (Forrest et al., 1975;
International Commission on Microbiological Specification for Foods, 1988;
Abubakar et al., 1995). Penyimpanan
karkas dingin sebaiknya dibatasi dalam waktu yang relatif singkat, karena
adanya perubahan-perubahan kerusakan yang meningkat sesuai dengan lama waktu
penyimpanan (Blank and Greg, 1995).
Transportasi
Pada
umumnya lokasi produksi karkas ayam jauh dari konsumen, dengan jarak tertentu.
Jarak dan waktu tempuh akan memberikan konsekuensi terhadap perubahan sifat
fisik, kimia dan mikrobiologis sebagai satu indikator mutu dan keamanan pangan
karkas ayam. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu dan keamanan karkas
selama transportasi adalah: kondisi karkas, alat transportasi, waktu tempuh,
dan suhu ruangan/ lingkungan. Dalam pengangkutan karkas ayam, kondisi karkas
harus ASUH, alat transportasi yang digunakan harus tertutup (berupa boks) dan
temperatur ruangan harus (– 4o ) - 0 oC, yang
memungkinkan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme selama transportasi
(International Commission on Microbiological Specification for Foods,1988; Russell, 1996). Waktu tempuh
transportasi yang singkat, tempat tertutup pada suhu ruang tersebut dapat
mempertahankan mutu dan keamanan karkas ayam.
Berdasarkan kondisi, masalah
dan arah pengembangan kedepan serta penguasaan inovasi teknologi pascapanen
yang telah dimiliki, maka diperlukan suatu strategi, kebijakan dan program
dalam meningkatkan mutu dan keamanan karkas ayam ASUH yang sesuai SNI.
STRATEGI,
KEBIJAKAN DAN PROGRAM
Strategi
Untuk dapat memproduksi karkas ayam
bermutu dan aman bagi kesehatan, diperlukan adanya penerapan inovasi teknologi
pascapanen dan sistem jaminan mutu. Hal ini dapat ditempuh melalui penerapan secara meluas sistem
produksi karkas ayam yang baik (GMP) dan
HACCP melalui :
a. Sosialisasi dan advokasi
Pemahaman
masyarakat terhadap inovasi teknologi pascapanen dan HACCP masih terbatas dan beragam, oleh karena itu perlu dilakukan
sosialisasi dan advokasi pada pelaku yang terkait dengan kegiatan pascapanen
baik ditingkat pusat maupun daerah melalui pelatihan, seminar, penyuluhan dan
pertemuan-pertemuan.
b. Pemantauan dan Pengawasan
Inovasi teknologi pascapanen dan HACCP
merupakan kebutuhan dan kepentingan konsumen / masyarakat umum, sehingga
penerapannya harus dipantau dan diawasi oleh yang berwenang.
c. Perangkat
pendukung
Tidak kurang dari 18
peraturan perundangan yang sudah tersedia, berkaitan dengan keamanan pangan dan
kesehatan produk peternakan. Di samping itu perlu dibangun suatu Jejaring
Keamanan Pangan Nasional, yaitu: (1) Jejaring Intelejen Pangan (Risk Assessment),
(2) Jejaring Pengawasan Pangan (Risk
Management), (3) Jejaring Promosi Keamanan Pangan (Risk Communication), sebagaimana diusulkan oleh Badan POM. Semua
peraturan perundangan tersebut harus diterapkan secara efektif.
d. Standardisasi
Standar Internasional terhadap karkas
ayam telah diatur oleh USDA tahun 1997, meliputi konformasi, keutuhan,
kebersihan, warna, aroma, perlemakan di bawah kulit, dan jumlah bakteri pada
karkas ayam dengan penggolongan mutu A, B dan C. Standar Nasional Indonesia
telah mengadopsi Standar Internasional tersebut, dengan menetapkan penggolongan
standar menjadi klas mutu I, II dan III (Badan Standarisasi Nasional, 2002).
Standar tersebut harus diterapkan secara efektif agar produk karkas ayam yang
dihasilkan RPA dapat diekspor dan mampu
bersaing di pasar luar negeri.
Kebijakan dan Program
a. Peningkatan Keamanan dan Mutu Produk
Untuk
meningkatkan keamanan dan mutu karkas ayam halal, maka perlu dilakukan (1)
penerapan Inovasi teknologi pascapanen sejak penyembelihan ayam hingga
trasportasi karkas ayam dan penerapan HACCP, (2) penataan RPA yang sesuai RUTR,
(3) tersedianya infrastruktur, (4) pengadaan sarana / peralatan RPA yang
memadai serta (5) proses penyembelihan yang halal.
b. Pembinaan Pelaku dari Aspek Pascapanen
Beberapa program yang diusulkan kepada
pemerintah dalam pembinaan pelaku ditinjau dari aspek pascapanen: (1)
pendidikan, penelitian dan pengembang an dan pembinaan IPTEK teknologi
pascapanen, (2) melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan
produk ternak, (3) menjaga aksesbilitas masyarakat yang berkelanjutan terhadap
produk ternak, (4) membentuk sistem pengaturan distribusi produk ternak yang
efisien, (5) menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) melaksanakan
penyuluh an keamanan produk ternak, (7) menjalin kerja sama internasional di
bidang: penelitian dan pengembangan teknologi pasca panen, perdagangan,
teknologi distribusi, teknologi pengelolaan cadangan pangan, pencegahan dan
penanggulangan masalah produk ternak.
c. Penelitian dan
Pengembangan
Permasalahan pascapanen hasil pertanian,
khususnya produk ternak sangat komplek, baik dari segi mutu, keamanan pangan,
kehalalan serta aspek lainnya sehingga diperlukan penelitian dan pengembangan
secara terus menerus. Aspek penelitian dan pengembangan hendaknya dilakukan
terhadap proses teknologi pascapanen (penanganan, pengolahan, pengemasan,
pendinginan hingga pemasaran) serta penerapan HACCP.
Beberapa peran pemerintah dalam
pengembangan HACCP, adalah (1) aktif dalam pengembangan prinsip-prinsip HACCP
baik nasional maupun internasional, (2) mendorong penerapan HACCP pada pelaku
produsen pangan, (3) mendorong tumbuhnya kelembagaan pengawasan dan sertifikasi
yang kredibel dan terakreditasi, (4) verifikasi HACCP pada industri pangan bila
di perlukan, (5) melakukan program Risk
Analysis, (6) melakukan penelitian dan pengembangan tentang prinsip-prinsip
HACCP, (7) harmonisasi sistem HACCP di
Indonesia dengan negara-negara mitrabisnis.
d. Diseminasi dan Promosi
Inovasi Teknologi pascapanen dan
penerapan HACCP pada produksi karkas ayam yang didukung peraturan perundangan
belum sepenuhnya efektif dan dimanfaatkan oleh pengguna, sehingga perlu
didiseminasikan melalui media dan cara. Dalam hal ini BPTP punya peran
strategis dalam mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dari Balai Besar
Litbang Pasca panen Pertanian.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Beberapa
kesimpulan dan implikasinya terhadap pengembangan dan penerapan Inovasi
Teknologi Pascapanen dan HACCP dalam peningkatan mutu dan keamanan karkas
ayam adalah sebagai berikut:
1.
Sebagian besar karkas ayam berasal dari peternakan
rakyat, dimana proses penyembelihan ayam
masih dilakukan secara tradisional sehingga menghasilkan karkas yang mutunya
rendah, dan banyak dijumpai karkas ayam yang belum sesuai dengan SNI.
2.
RPA tradisional tidak memiliki izin operasional, tidak
sesuai dengan RUTR, menimbulkan polusi, aktivitas pemotongan tidak terkontrol
dari aspek kesmavet, tidak melakukan labelisasi, karkas tidak dikemas, dan
sebagian besar tidak melakukan penyimpanan dingin.
3.
Akibat kondisi sanitasi RPA yang kurang memenuhi syarat,
kandungan bakteri/gram daging melebihi batas ambang yang dipersyaratkan.
Rendahnya mutu pada karkas ayam akibat dari kontaminasi kimia, fisika dan
mikrobiologis yang menyebabkan berdampak merugikan kesehatan pada manusia serta
peluang pasarnya rendah.
4.
Peningkatan mutu pada karkas ayam harus menghasilkan
karkas ASUH, yaitu Aman, Sehat, Utuh dan Halal.
5.
Teknik penyembelihan ayam yang baik yaitu dimasukkan
kedalam corong, memotong arteri karotis, vena jugularis dan oesofagus,
pencabutan bulu dengan cara perendaman ayam terlebih dulu dalam air panas pada
temperatur 50-54oC selama 30-45 detik, untuk ayam muda, temperatur
55-58oC selama 45-90 detik, untuk ayam tua. Pencucian karkas ayam
dengan menggunakan air suhu 5-10oC dengan kadar klorin 0,5-1 ppm.
Suhu karkas ayam sebelum dikemas maksimal 7 - 10oC, dengan bahan pengemas plastik yang tidak
toksik, tidak bereaksi dengan produk serta mampu mencegah terjadinya
kontaminasi pada produk.
Teknik
pendinginan karkas ayam menggunakan air
temperatur maksimal 4 - 5oC dengan waktu pendinginan yang
dibutuhkan 15-20 menit dan dalam waktu
tidak lebih dari 8 jam setelah penyembelihan. Teknik penyimpanan karkas ayam
menggunakan suhu ruangan (-4)oC sampai 0oC.
Dalam
pengangkutan karkas ayam, kondisi karkas harus ASUH, alat transpotasi yang
digunakan harus tertutup (berupa boks) dan temperatur ruangan harus (-4o
) - 0 oC.
Dalam pelaksanaan
kebijakan dan program maka berimplikasi terhadap:
1. Harus kuatnya sistem pengendalian yang intensif sejak pra-produksi hingga pemasaran, melalui
pengamatan (surveilance), pemantauan (monitoring) dan pemeriksaan (inspection) terhadap setiap mata rantai pengadaan karkas ayam.
2.
Diperlukannya infrastruktur yang mantap, antara lain
melalui perbaikan perangkat keras (misal program renovasi RPA),
akreditasi dan sertifikasi halal RPA sekaligus pemberian Nomor Kontrol
Veteriner (NKV).-
3.
Diperlukan penerapan perangkat pendukung berupa: SK
Menteri Pertanian, tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta
Hasil ikutannya, SK Dirjen Peternakan, tentang Petunjuk Teknis Pemberian NKV
pada RPA dan tempat pemrosesan daging serta hasil ikutannya serta Pedoman
Penyembelihan Ayam Halal pada RPA dan Tata cara Sertifikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, C.H.
Sirait, dan N. Cahyadi. 1991a. Kondisi
rumah potong ayam di P.Jawa. Pros Sem
Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional.
Purwokerto, 4 Mei. Fapet Universitas Jenderal Soedirman.
Abubakar,
Triyantini dan H. Setiyanto. 1991b. Kualitas fisik karkas ayam broiler (Studi
kasus di empat ibukota Propinsi P. Jawa). Pros
Sem Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional.
Purwokerto, 4 Mei. Fapet Universitas
Jenderal Soedirman.
Abubakar, 1992. Grading karkas
ayam broiler. Pros Sem Nas ISPI Cabang
Bogor. Bogor, 26-27 Januari. Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia
(ISPI) Cabang Bogor.
Abubakar, C.H.
Sirait, Triyantini, H. Setiyanto dan T. Murdiati. 1992. Penelitian
Residu Pestisida Antibiotika dan Standarisasi Kualitas Karkas Broiler untuk
Ekspor : Laporan Penelitian. Puslitbang Peternakan.
Abubakar, C.H. Sirait, dan N. Cahyadi. 1994.
Standarisasi karkas broiler (Studi kasus di Medan, Lampung dan Denpasar). Pros Sem Nas Peng
olahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan. Semarang, 8-9 Februari. Sub Balai Penelitian Ternak
Klepu, Semarang.
Abubakar dan
Wahyudi. 1994. Pengaruh pemotongan sebelum atau sesudah rigor mortis terhadap
penampakan karkas broiler. Pros Sem Nas
Sains dan Teknologi Peternakan. Bogor, 25-26 Januari Balai Penelitian
Ternak.
Abubakar,
Triyantini, dan H. Setiyanto. 1995. Pengaruh suhu dan jenis kemasan plastik
terhadap mutu karkas ayam selama penyimpanan.
Pros Sem Nas Pet dan Vet.
Bogor, 7-8 Nopember. Puslitbang
Peternakan.
Abubakar, H.
Setiyanto, Triyantini dan R. Sunarlim. 1998. Teknologi pascapanen untuk meningkatkan
nilai tambah hasil ternak dalam usaha merangsang pertumbuhan agroindustri. Pros Sem Nas Pet dan Vet. Bogor, 1-2
Desember. Puslitbang Peternakan.
Abubakar,
Triyantini, H. Setiyanto, Supriyati, Sugiarto dan M.Wahyudi. 2000. Survey Potensi Ketersediaan Bulu Ayam, Cara
Pengolahan dan Pemotongan Ternak Ayam di RPA: Laporan Penelitian. Balai
Penelitian Ternak.
Abubakar.
2003. Mutu karkas ayam hasil pemotongan tradisional dan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 22(1):22-25.
Abubakar dan
D.C. Budinuryanto. 2003. Kinerja sistem keamanan, Karakteristik aktivitas
pemotongan dan penanganan karkas ayam di RPA tradisional, kaitannya dengan
penerapan sistem Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP). Pros Sem Nas
Tek Pet dan Vet. Bogor, 29-30 September. Puslitbang Peternakan.
Abubakar dan
Triyantini. 2005. Penerapan teknologi pascapanen untuk meningkatkan nilai
tambah hasil ternak mendukung pengembangan usaha ternak di lahan kering. Pros Sem Nas Pengembangan Usaha Peternakan
Berdaya Saing di Lahan Kering. Yogyakarta, 2 Juni. Kerjasama Fapet UGM dan
Puslitbang Peternakan.
Abubakar.
2005. Keamanan pangan daging ayam akibat flu burung (Avian Influenza). Pros
Sem Nas Teknologi Inovatif Pascapanen untuk pengembangan industri berbasis
pertanian. Bogor, 7-8 September. BB Pascapanen Pertanian.
Abubakar dan
Widaningrum. 2006. Penetapan CCP (Critical
Control Point) proses pemotongan ayam di RPA tradisional untuk meningkatkan
mutu dan keamanan pangan karkas ayam. Pros
Sem Nas PATPI. Yogyakarta, 2-3 Agustus. Kerjasama PATPI dengan Jur.
TPHP-UGM, Pusat Studi Pangan dan Gizi-UGM.
Abubakar.
2006. Mutu dan keamanan pangan produk dan olahan hasil ternak unggas. Pros Sem Nas PATPI. Yogyakarta, 2-3
Agustus. Kerjasama PATPI dengan Jur. TPHP-UGM, Pusat Studi Pangan dan Gizi-UGM.
Abubakar.
2007. Karakteristik fisik, kimiawi
dan mikro biologis karkas ayam
terindikasi dari ayam tiren. Pros Sem Nas
PATPI. Bandung, 17-18 Juli.
Kerjasama PATPI dengan Jur.TIP-UNPAD,TP Pasundan dan STIPER Jabar.
American Meat Institut
Foundation.1994. HACCP: The Hazard
Analysis Critical Control Point in the Meat and Poultry Product. HACCP
Manual. Washington, DC.
American Meat Institut
Foundation.1996. Generic HACCP Model for
poultry slaughter. HACCP Manual. Washington, DC.
Badan
Standarisasi Nasional. 2000. Standar
Nasional Indonesia (SNI)19-9001-2001. Sistem Manajemen Mutu Persyaratan.
Jakarta.
Badan
Standarisasi Nasional. 2002. Pedoman
1004-2002 Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian
Titik Kritis (HACCP). Jakarta.
Bauman, H.E.
1990. HACCP: Concept, development and aplication. J.Food Technology. 44(5)
156-158
Blank and Greg.
1995. Microbiological and Hydraulic Evaluation of Immersion Chilling for
Poultry. J.Food Protection.58: 1380-1385
Carpenter and
Sandra.1989.Factors affecting the persistence of Salmonella during the Processing of Poultry. J.Food Protection.
52:829-832
Cunningham, F.E and N.A. Cox. 1987. The Microbiology of Poultry Meat Product.
Academic Press Inc, San Diego. New York.
Ensminger, 1998. Poultry Science. The Interstate
Printer and Publisher Inc, Denvile.
Forrest, J.C.,
E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge, and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H.Freeman and Co., San Fransisco.
Franco, C.M.
1995. Determination of the Principal Sources of Listeria spp. Contamination in Poultry Meat and Poultry Processing
Plant. J.Food Protection.58:1320-1325
International Commission on
Microbiological Specification for Foods.1988. HACCP in Microbiological Safety and Quality. Blackwell Scientific
Publications. New York. NY.
Juran, J.M. 1988. Quality Control Handbook. 4th ed. McGraw-Hill, New York, NY.
Kotula and
Kathryn. 1995. Bacterial Contamination of Broiler Chickens before Scalding.
J.Food Protection. 58: 1386-1388
Moye, C.J. 1991.
Poultry Processing, An Innovative technology for Salmonella control and shelf life extension. J.Food Aust.
43:246-249
Notermans, S.
1994. The HACCP Concept:Identification of potentially hazardous microorganisms.
J.Food Microbiol. 11: 230-214
NFPA. 1993.
Implementation of HACCP in a food processsing plant. Microbiology and Food
Safety Committee of National Food Processors Assosiation. Washington DC. J.
Food Protection. 56(6):548-554
Poultry Indonesia.1995. Laporan Utama. Juli no. 197. Margie Group,Jakarta.
Poultry
Indonesia. 2005. Laporan Utama.
Oktober no.306. Margie Group, Jakarta.
Poultry Indonesia. 2008. Menciptakan Rumah Potong Unggas Hiegienis. Margie Group, Jakarta.
Pearson
and Dutson. 1995. HACCP in Meat, Poultry
and Fish Processing.
Blakie Academic & Professional, Glasgow.
Raj Mohan.1995.
Poultry Slaughter. Meat Focus International. Marck 1995:113-118
Renwick and
A.Shane. 1993. Variability an Determination of Carcass Bacterial Load at a Poultry
Abbatoir. J.Food Protection. 56:694-699
Russell, S.M.
1996. Spoilage Bacteria of Fresh Broiler Chicken Carcass. J.Poultry Sci.
75:2041-2047
Syamsul. 2007. Komunikasi langsung tentang proses pemotongan ayam di RPA, kendala dan
permasalahannya. RPA Cipaku, Bogor 18 Desember.
Soekarto, S.T. 2007. Komunikasi langsung tentang proses
pemotongan ayam yang benar. Fateta IPB, 24 April.
Stevenson
and Bernard. 1995. HACCP Establishing Hazard Analysis Critical
Control Point Program, A Workshop Manual. The Food Processors Institute,
Washington, DC.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada
University Press. PO Box 14 Bulaksumur, Yogyakarta.
Suratmono, 2005. Keamanan pangan produk olahan berbasis produk ternak. Pros Lokakarya Nasional Keamanan Pangan
Produk Peternakan. Bogor, 14 September. Puslitbang Peternakan.
The National Advisory Committee on
Microbiological Criteria for Foods. 1992. Hazard
Analysis and Critical Control Point System. Int’l J. Microbiol 16 (1)
:1-23.
Triyantini,
Abubakar, R. Sunarlim dan H. Setiyanto. 2000. Mutu karkas ayam hasil pemotongan
berbeda. Pros Sem Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Bogor, 18-19 September. Puslitbang Peternakan Bogor.
Tompkin, R.B.
1990. The Use of HACCP in the production of meat and poultry product. J.Food
Protect.53(9):795-803
Tompkin, R.B. 1995. The Use of HACCP for Producing and
Distibuting Processed Meat and Poultry Products. HACCP in Meat, Poultry and
Seafoods. Chapman & Hall. In
United States
Department of Agriculture. 1997. Standar
for Quality and Grades. Poultry Grading and Inspection Agricultural Marketing. Definition
and Illustration of US.
Waldroup,
A.L.1993. Summary of Work to Control pathogens in Poultry Processing. J.Poultry
Sci.72:1177-1179
Winarno, F.G dan Surono. 2002. HACCP
dan Penerapannya dalam Industri Pangan.
Cetakan 2, M-BRIO PRESS. Bogor.
Wiradarya, T.R. 2005. Keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek
pascapanen: permasalahan dan solusi. Pros
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor, 14 September.
Puslitbang Peternakan.
Zweigert, P. 1991. Meat Science and Technology. The Science of
Meat and Meat Product. WH. Freeman
Co, San Francisco.