Kamis, 24 Januari 2013

BUNGA RAMPAI



STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PASCAPANEN DALAM MENINGKATKAN MUTU KEAMANAN  KARKAS AYAM
DI INDONESIA

Abubakar
Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor

ABSTRAK
Daging ayam merupakan komoditas strategis, baik dalam rangka meningkatkan gizi maupun dalam meningkatkan taraf hidup peternak unggas. Hingga saat ini sebagian besar peternakan rakyat menjual ayam pedaging dalam bentuk hidup, dimana pedagang pengecer yang mengolah ayam tersebut menjadi karkas ayam siap dijual pada konsumen. Di dalam proses pengolahan ayam hidup menjadi karkas ayam segar, mulai penyembelihan, pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, pencucian, pengemasan, pendinginan dan pengangkutan terhadap karkas ayam belum dilakukan sesuai dengan norma dan kaidah-kaidah kesehatan, oleh karena itu mutu dan keamanan pangan karkas ayam menjadi rendah, bahkan tingkat kehalalannya masih diragukan sehingga harganya turun dan peluang pasarnya menjadi rendah. Untuk dapat memproduksi karkas ayam bermutu dan aman bagi kesehatan, diperlukan adanya penerapan inovasi teknologi pascapanen dan sistem jaminan mutu. Hal ini dapat ditempuh  melalui penerapan secara meluas sistem produksi karkas ayam yang baik (GMP) dan  HACCP melalui strategi yaitu: sosialisasi dan advokasi, pemantauan dan pengawasan, menerapkan peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan karkas ayam, dan standardisasi. Sedangkan  kebijakan dan program yaitu: peningkatan keamanan dan mutu produk, pembinaan pelaku dari aspek pascapanen, penelitian dan pengembangan serta diseminasi dan promosi.
Kata kunci: mutu dan keamanan karkas ayam, strategi kebijakan dan program

PENDAHULUAN
       Seiring dengan peningkatan kesejahteraan, pendapatan, pendidikan dan ketaqwaan masyarakat, maka kebutuhan akan pangan yang berkualitas, bergizi, aman dan halal dikonsumsi akan terus menjadi tuntutan. Hal ini sejalan dengan deklarasi yang dihasilkan dalam FAO dan WHO, Conference on Nutrition tahun 1992, dalam American Meat Institut Foundation (1996) bahwa untuk mendapatkan pangan yang bergizi, bersih dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang.  Pangan yang dimaksud dapat berupa hasil tanaman pangan dan atau  hasil ternak.
       Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan berupa hasil ternak, sampai saat ini sebagian besar dipenuhi oleh usaha peternakan rakyat. Oleh karena itu diperlukan teknologi yang tepat guna pada setiap rantai praproduksi, produksi dan pascapanen.
       Hingga saat ini peternakan rakyat belum memiliki akses yang baik terhadap tiga komponen bisnis yang sangat menentukan, yaitu sarana produksi, teknologi, dan informasi harga. Kondisi ini mendorong pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.22 / 1990 yang bertujuan untuk memberdayakan peternakan rakyat sebagai pelaku utama budidaya dan sekaligus mewujudkan perunggasan yang tangguh memasuki era pasar global (Poultry Indonesia, 1995).
       Dalam KEPRES tersebut dinyatakan bahwa perusahaan peternakan ayam yang melakukan kemitraan wajib memiliki sarana penanganan dan pemotongan ayam.  Ayam pedaging yang dihasilkan harus memenuhi syarat kehalalan, kebersihan, dan kesehatan. Hal ini mungkin salah satu upaya untuk mencegah mewabahnya virus flu burung kedaerah lain sebagai akibat dari pengiriman ayam hidup antar daerah, antar kota yang kurang higienis.
       Hingga saat ini sebagian besar peternakan rakyat (60-70%) menjual ayam broiler dalam bentuk hidup, dimana pedagang pengecer yang mengolah ayam tersebut menjadi karkas ayam siap dijual pada konsumen (Poultry Indonesia, 2005). Di dalam proses pengolahan ayam hidup menjadi karkas ayam segar, mulai penyembelihan, pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, pencucian, pengemasan, pendinginan dan pengangkutan terhadap karkas ayam belum dilakukan sesuai dengan norma dan kaidah-kaidah kesehatan, oleh karena itu mutu dan keamanan pangan karkas ayam menjadi rendah, bahkan tingkat kehalalannya masih diragukan sehingga harganya turun dan peluang pasarnya menjadi rendah (Abubakar, 2005).        
       Untuk meningkatkan mutu dan keamanan karkas ayam dapat diupayakan melalui penerapan inovasi teknologi pascapanen dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) mulai penyembelihan, hingga transportasi (Tompkin, 1990; Bauman, 1990 ; Abubakar, 2003). Teknologi Pascapanen merupakan cabang/ bagian dari ilmu produksi mulai dari pemanenan, penanganan hasil, pengolahan hingga transportasi, sedangkan HACCP adalah suatu piranti untuk menilai suatu bahaya spesifik dan menetapkan sistem pengendalian yang difokuskan pada pencegahan daripada pengujian produk akhir (American Meat Institut Foundation,1994). Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan wawasan dan gagasan dan kontribusi ilmiah terhadap pembuat kebijakan pembangunan pertanian khususnya dalam peningkatan mutu dan keamanan karkas ayam.
KONDISI, MASALAH DAN ARAH PENGEMBANGAN MUTU
DAN KEAMANAN KARKAS AYAM
Kondisi
       Keamanan karkas ayam adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah karkas ayam dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan mem bahayakan kesehatan manusia (American Meat Institut Foundation, 1994; American Meat Institut Foundation, 1996). Tujuan peningkatan mutu karkas ayam adalah mempertahankan kesegaran dan keutuhan, serta mengurangi kerusakan melalui perlakuan dan teknologi yang bertitik tolak pada penyebab kerusakan.
       Indikator mutu karkas ayam terkait dengan: a) mutu fisik, yaitu keutuhan fisik, warna, penampakan, kesegar an, keseragaman bentuk, b) mutu kimia, yaitu kandungan gizi, aroma, rasa, bebas cemaran logam berat, c) mutu biologi, yaitu bebas dari kontaminasi mikroba patogen yang membahayakan kesehatan (Abubakar et al., 1991b;  NFPA. 1993).
       Kenyataan dilapangan, 100% RPA tradisional melakukan proses pemotongan ayam secara manual, tidak memiliki izin operasional, tidak sesuai dengan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang), menimbulkan polusi, 83,33% aktivitas pemotongan tidak terkontrol dari aspek kesmavet, 83,33% tidak melakukan labelisasi, 83,33% tidak melakukan pengemasan karkas dan 83,33% tidak melakukan penyimpanan dingin (Abubakar dan Budinuryanto, 2003). Sebanyak 83,33% RPA tradisional tidak melakukan pengawasan terhadap kesehatan ayam hidup, 83,33% tidak melakukan pemeriksaan secara klinis dan 71,83% tidak melakukan pembuangan ayam mati dengan segera serta 74,5% kurang higinis pada tempat pemotongan (Abubakar dan Widaningrum, 2006; Abubakar, 2006). Sebagai akibat dari kondisi tersebut, di Bogor sering beredar ayam mati kemarin (tiren) rata-rata sekitar 270-500 ekor / bulan, saat permintaan meningkat (Bulan Ramadhan, dan menjelang Iedul Fitri).
       Ayam tiren, merupakan ayam mati di kandang atau mati saat pengangkutan kemudian disembelih dan diperjual belikan. Ciri khas penampilannya adalah karkas memar, daging kuning-merah gelap, terdapat cairan warna gelap, hati coklat-hitam, banyak pembekuan darah pada usus, bau abnormal, konsistensi lemah, banyak kerusakan pada kulit dan daging, uji Postma positif, pH 5 - 7 dan jumlah bakteri 1,02x1010–1,14x1010 (Abubakar dan Wahyudi, 1994 ; Abubakar, 2007). Dari kondisi inilah menyebabkan mutu karkas ayam rendah, sehingga peluang pasar menjadi terbatas.
Masalah
       Untuk menghasilkan karkas ayam Aman Sehat Utuh dan Halal (ASUH) adalah sebuah kewajiban moral serta hukum dari produsen. Untuk itu ayam yang akan disembelih harus sehat dan tidak mengandung penyakit yang mengakibatkan kelainan metabolisme.
       Di Indonesia penyembelihan ayam masih dilakukan secara tradisional yaitu dengan menggunakan peralatan sederhana dan dilakukan secara manual sehingga menghasilkan 56,88% karkas bermutu rendah, serta sebagian karkas ayam belum sesuai dengan SNI, sehingga konsumen enggan membeli (Abubakar,1992; Abubakar, 2003; Abubakar, 2006).
       Akibat dari 84,5% kondisi sanitasi RPA tradisional yang kurang memenuhi syarat, maka kandungan bakteri/gram daging melebihi batas ambang yang dipersyaratkan. Hal ini terlihat dari jumlah kuman/gram daging ayam yang diambil di beberapa RPA tradisional  yaitu 4–29x108, sedangkan yang diizinkan dalam SNI  sebesar 5x106. Adapun jenis bakteri utama yang terdeteksi  E. coli, E. aglomerans, E. aerogenes, dan E. Marcescens (Abubakar et al., 1994; Abubakar dan Budinuryanto, 2003, Abubakar dan Triyantini, 2005). Rendahnya mutu pada karkas ayam dari hasil penyembelihan di RPA tradisional, akibat dari kontaminasi kimia, fisika dan mikrobiologis yang menyebabkan berdampak merugikan kesehatan pada manusia (Notermans, 1994; Stevenson dan Bernard, 1995).
       Kontaminasi kimia terjadi pada tahap produksi, hingga produk akhir yang berpengaruh terhadap konsumen berjangka panjang (kronis), misalnya bahan kimia utama yang dapat mencemari adalah deterjen, pestisida, herbisida, insektisida, nitrit, nitrat, migrasi komponen kemasan plastik, residu antibiotika, aditif kimia dan logam berat beracun (Tompkin, 1995; Pearson and Dutson, 1995). Berdasarkan penelitian, kontaminasi fisik, berasal dari tubuh ternak yang terbawa dari lokasi sebelumnya seperti: gelas, logam, batu, ranting, hama, pasir, yang berpengaruh terhadap mutu fisik. Kontaminasi biologis disebabkan oleh aktivitas mikro organisme yang berasal dari air dan tangan operator serta lingkungan sekitarnya seperti: bakteri, fungi, virus, parasit, protozoa, ganggang dan toksin, yang dapat merusak mutu karkas ayam (The National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods, 1992 ; Abubakar dan Widaningrum, 2006).
Arah dan Harapan ke depan
       Peningkatan mutu pada karkas ayam harus menghasilkan karkas yang ASUH, yaitu Aman, Sehat, Utuh dan Halal. Karkas ayam aman yaitu tidak mengandung penyakit dan atau residu bahan kimia yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan manusia. Karkas ayam sehat yaitu mengandung zat yang berguna bagi tubuh, karkas ayam utuh yaitu tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau bagian hewan lain dan karkas ayam halal yaitu disembelih sesuai dengan syariat Islam (Poultry Indonesia, 2008). Sehingga prinsip ASUH mampu mencegah dan melindungi produk dari pemalsuan serta ada jaminan mutu.
       Jaminan mutu merupakan suatu jaminan bahwa produk akan dibeli konsumen dengan penuh kepercayaan dan digunakan terus–menerus dalam jangka waktu yang lama dengan penuh keyakinan dan kepuasan (Juran, 1988). Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability (keandalan), responsiveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya diri) dan emphaty (keramah tamahan) (The National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods, 1992; Suratmono, 2005). Dengan adanya peningkatan mutu dan keamanan karkas ayam, diharapkan jangkauan pasarnya menjadi lebih luas dalam skala lebih besar.
PENINGKATAN MUTU DAN KEAMANAN KARKAS AYAM MELALUI  INOVASI TEKNOLOGI PASCAPANEN
       Karkas ayam mudah dan cepat rusak, karena mengandung air (65-70%), protein (19-22%), lemak (10-12%), dan mineral (1-2%), yang mudah bereaksi, terdegradasi, mendorong aktivitas enzim serta merupakan media yang baik untuk perkembangan mikroba (Zweigert, 1991). Tipe kerusakan produk tergantung pada komposisi, struktur, tipe mikroba dan kondisi penyimpanan produk (Carpenter and Sandra, 1989; Moye, 1991; Winarno dan Surono, 2002). Beberapa faktor yang mempengaruhi kerusakan, mutu dan keamanan karkas ayam adalah air, suhu, oksigen, zat gizi, organisme pembusuk dan adanya zat penghambat pertumbuhan. Oleh sebab itu telah dilakukan serangkaian kegiatan penelitian mengenai teknologi pascapanen mulai dari penyembelihan, pencabutan bulu, pengeluaran organ dalam, pencucian, pendinginan, pengemasan, penyimpanan hingga transportasi, untuk mengurangi tingkat kerusakan, mutu dan nilai ekonomi karkas ayam.
Penyembelihan dan Pencabutan Bulu
       Sebagian besar penyembelihan ayam di RPA tradisional belum mendapat sentuhan inovasi teknologi yang memadai, sebanyak 74,5% RPA mengalami keterbatasan sarana dan tempat yang kurang memenuhi syarat, seperti tempat penyembelihan bersatu dengan tempat pencucian dan 83,33% kurang memperhatikan sanitasi pada alat-alat pemotongan dan penanganan karkas sehingga menghasilkan karkas ayam yang bermutu rendah (Abubakar et al., 1991a). Untuk menghasilkan karkas ayam bermutu, maka sebelum ayam disembelih harus diistirahatkan selama 12-24 jam. Hal ini untuk menghindari stres pada ayam (Renwick and Shane. 1993; Soeparno, 1994). Kondisi stres pada ayam mengakibatkan adanya perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga  pH daging turun menjadi 5-6 dan hal ini memberikan peluang bagi bakteri dan mikroorganisme lain tumbuh subur yang dapat merusak daging (Forrest et al., 1975; Kotula and Kathryn, 1995).
       Kerugian akibat kerusakan fisik pada karkas selama penyembelihan ayam mencapai 10% (Abubakar dan Widaningrum, 2006). Kerugian terbesar pada karkas, sebagai akibat memar-memar pada paha dan dada yang terjadi 1-13 jam sebelum pemotongan (Abubakar dan Budinuryanto, 2003). Faktor-faktor yang menyebabkan memar-memar pada karkas ayam: terlalu padatnya tempat ayam, perlakuan kasar pada ayam saat pengangkutan/ pemotongan, iritasi dan cysts pada dada, faktor genetis, penyumbatan pembuluh darah, freezer burn, darkened bones dan black melanin (Raj Mohan.1995; Ensminger, 1998). 
       Pada proses penyembelihan, pengeluaran darah harus cepat dan keluar sebanyak mungkin, oleh karena itu saat dan setelah penyembelihan ayam harus digantung, sebab disamping arteri dan vena yang terpotong merupakan pintu saluran kontaminasi bakteri untuk masuk dalam tubuh ayam dan lagi pula darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme (Abubakar et al., 2000 ; Syamsul, 2007).
       Teknik penyembelihan ayam yang baik yaitu memotong arteri karotis, vena jugularis dan oesofagus sehingga darah keluar secara keseluruhan (sekitar 3-4% dari bobot ternak) dan berlangsung sekitar 60-120 detik (tergantung besar kecilnya ternak) yang berdampak terhadap kebersihan dan kesehatan karkas ayam (Soeparno, 1994; Abubakar et al., 2000; Soekarto, 2007). Teknik penyembelihan ayam yang dimasukkan kedalam corong dan pencabutan bulu dengan tangan, menghasilkan karkas terbaik (mutu I) dengan persentase tertinggi (66,7%), disusul oleh perlakuan pemotongan digantung dan pencabutan bulu dengan tangan (57,6%). Karkas mutu I yang diperoleh dari pemotongan menggunakan corong tidak banyak mengalami  benturan, sehingga mengurangi terjadinya memar dan ayam terlihat utuh serta bersih  dan berakibat mempunyai peluang pasar yang baik (Triyantini et al., 2000).
       Teknik pencabutan bulu merupakan tahapan untuk mendapatkan karkas yang bersih dari kotoran dan bulu.  Dengan teknologi perendaman dalam air panas pada temperatur 50-54oC selama 30-45 detik, untuk ayam muda, temperatur 55-58oC selama 45-90 detik, untuk ayam tua, menyebabkan mudahnya pencabutan bulu, kulit bersih dan cerah, serta tidak mudah terkontaminasi bakteri (Waldroup, 1993; Abubakar dan Budinuryanto, 2003).
Pengeluaran Organ dalam dan Pencucian
       Organ dalam ayam (Viscera) merupakan tempat kotoran, sehingga harus dikeluarkan sesempurna mungkin. Proses pengeluaran organ dalam dimulai dari pengambilan tembolok, trakhea, hati, empedu, empedal, jantung, paru-paru, ginjal, usus dan ovarium/ testes. Setelah pengeluaran organ dalam, dilakukan pencucian karkas dengan menggunakan air suhu 5-10oC dengan kadar klorin 0,5-1 ppm, hal ini untuk menghindari dan menekan pertumbuhan bakteri, sehingga mutu dan keamanan karkas ayam tetap terjaga (Abubakar, 2003).
Pengemasan dan Pendinginan
       Karkas ayam mudah terkontaminasi mikroorganisme dari tempat penyembelihan, alat-alat, dan dari pekerja, sehingga karkas cepat rusak, serta menurunkan mutu. Oleh karena itu untuk menghindari masuknya mikroorganisme pada karkas ayam perlu dilakukan pengemasan dan pendinginan. Fungsi utama pengemasan adalah untuk melindungi karkas terhadap kerusakan yang terlalu cepat, baik kerusakan fisik, perubahan kimiawi, maupun kontaminasi mikroorganisme serta untuk  menampilkan produk  dengan cara yang menarik (Cunningham and Cox, 1987; Wiradarya, 2005).   
       Untuk mencegah perkembangan bakteri, maka pada pengemasan karkas ayam, suhu karkas ayam sebelum dikemas maksimal 7 - 10oC,  dengan bahan pengemas plastik yang tidak toksik, tidak bereaksi dengan produk serta mampu mencegah terjadinya kontaminasi pada produk (Abubakar et al., 1995; Abubakar dan Budinuryanto, 2003). Teknik pendinginan karkas ayam yang baik menggunakan air pada temperatur maksimal 4 - 5oC dengan total es yang dibutuhkan sekitar 1,5 – 2,0 kg/ekor ayam, dengan waktu pendinginan yang dibutuhkan 15-20 menit  dan dalam waktu tidak lebih dari 8 jam setelah penyembelihan sehingga kondisi fisik, kimia dan mikrobiologi karkas ayam tetap baik (Forrest et al., 1975; Abubakar et al., 1995; Abubakar dan Triyantini, 2005).
Penyimpanan
       Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu karkas saat penyimpanan adalah temperatur, tingkat kebersihan karkas sebelum disimpan, tempat penyimpanan, cara pemotongan / penanganan, dan bahan pengemas (Abubakar et al.,1994 dan Abubakar et al.,1995). Supaya karkas ayam tidak mudah rusak, rasa dan nilai gizinya dapat dipertahankan, teknik penyimpanan bertujuan melindungi konsumen dari berbagai reaksi senyawa yang dikandung karkas ayam, akibat kontaminasi mikroba patogen yang dapat meracuni konsumen  (Franco, 1995; Abubakar et al., 2003).
       Teknik penyimpanan karkas ayam yang baik yaitu menggunakan suhu ruangan (-4)oC sampai 0oC, karena dengan teknik ini dapat mempertahankan dan melindungi karkas dari berbagai kontaminan berbahaya, mutu fisik dapat dipertahankan, mutu gizinya tetap baik dan dapat menekan pertumbuhan bakteri sehingga dapat mem perpanjang daya simpan 1 - 3 bulan, sedangkan pada suhu 5-10oC, masa simpannya 7-10 hari (Abubakar et al., 1995) dan pada suhu (-10) - (-18)oC, masa simpannya 3-6 bulan (Forrest et al., 1975; International Commission on Microbiological Specification for Foods, 1988; Abubakar et al., 1995). Penyimpanan karkas dingin sebaiknya dibatasi dalam waktu yang relatif singkat, karena adanya perubahan-perubahan kerusakan yang meningkat sesuai dengan lama waktu penyimpanan (Blank and Greg, 1995).
Transportasi
       Pada umumnya lokasi produksi karkas ayam jauh dari konsumen, dengan jarak tertentu. Jarak dan waktu tempuh akan memberikan konsekuensi terhadap perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologis sebagai satu indikator mutu dan keamanan pangan karkas ayam. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu dan keamanan karkas selama transportasi adalah: kondisi karkas, alat transportasi, waktu tempuh, dan suhu ruangan/ lingkungan. Dalam pengangkutan karkas ayam, kondisi karkas harus ASUH, alat transportasi yang digunakan harus tertutup (berupa boks) dan temperatur ruangan harus (– 4o ) - 0 oC, yang memungkinkan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme selama transportasi (International Commission on Microbiological Specification for Foods,1988; Russell, 1996). Waktu tempuh transportasi yang singkat, tempat tertutup pada suhu ruang tersebut dapat mempertahankan mutu dan keamanan karkas ayam. 
       Berdasarkan kondisi, masalah dan arah pengembangan kedepan serta penguasaan inovasi teknologi pascapanen yang telah dimiliki, maka diperlukan suatu strategi, kebijakan dan program dalam meningkatkan mutu dan keamanan karkas ayam ASUH yang sesuai SNI.
STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM
Strategi
       Untuk dapat memproduksi karkas ayam bermutu dan aman bagi kesehatan, diperlukan adanya penerapan inovasi teknologi pascapanen dan sistem jaminan mutu. Hal ini dapat ditempuh  melalui penerapan secara meluas sistem produksi karkas ayam yang baik (GMP) dan  HACCP melalui :
a.    Sosialisasi dan advokasi
         Pemahaman masyarakat terhadap inovasi teknologi pascapanen dan HACCP masih terbatas dan beragam, oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi dan advokasi pada pelaku yang terkait dengan kegiatan pascapanen baik ditingkat pusat maupun daerah melalui pelatihan, seminar, penyuluhan dan pertemuan-pertemuan.
b.    Pemantauan dan Pengawasan 
      Inovasi teknologi pascapanen dan HACCP merupakan kebutuhan dan kepentingan konsumen / masyarakat umum, sehingga penerapannya harus dipantau dan diawasi oleh yang berwenang.
c.  Perangkat pendukung
                   Tidak kurang dari 18 peraturan perundangan yang sudah tersedia, berkaitan dengan keamanan pangan dan kesehatan produk peternakan. Di samping itu perlu dibangun suatu Jejaring Keamanan Pangan Nasional, yaitu: (1) Jejaring Intelejen Pangan (Risk Assessment), (2) Jejaring Pengawasan Pangan (Risk Management), (3) Jejaring Promosi Keamanan Pangan (Risk Communication), sebagaimana diusulkan oleh Badan POM. Semua peraturan perundangan tersebut harus diterapkan secara efektif.
d. Standardisasi
       Standar Internasional terhadap karkas ayam telah diatur oleh USDA tahun 1997, meliputi konformasi, keutuhan, kebersihan, warna, aroma, perlemakan di bawah kulit, dan jumlah bakteri pada karkas ayam dengan penggolongan mutu A, B dan C. Standar Nasional Indonesia telah mengadopsi Standar Internasional tersebut, dengan menetapkan penggolongan standar menjadi klas mutu I, II dan III (Badan Standarisasi Nasional, 2002). Standar tersebut harus diterapkan secara efektif agar produk karkas ayam yang dihasilkan RPA  dapat diekspor dan mampu bersaing di pasar luar negeri.
Kebijakan dan Program
a.    Peningkatan Keamanan dan Mutu Produk
       Untuk meningkatkan keamanan dan mutu karkas ayam halal, maka perlu dilakukan (1) penerapan Inovasi teknologi pascapanen sejak penyembelihan ayam hingga trasportasi karkas ayam dan penerapan HACCP, (2) penataan RPA yang sesuai RUTR, (3) tersedianya infrastruktur, (4) pengadaan sarana / peralatan RPA yang memadai serta (5) proses penyembelihan yang halal.
b. Pembinaan Pelaku dari Aspek Pascapanen
       Beberapa program yang diusulkan kepada pemerintah dalam pembinaan pelaku ditinjau dari aspek pascapanen: (1) pendidikan, penelitian dan pengembang an dan pembinaan IPTEK teknologi pascapanen, (2) melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan produk ternak, (3) menjaga aksesbilitas masyarakat yang berkelanjutan terhadap produk ternak, (4) membentuk sistem pengaturan distribusi produk ternak yang efisien, (5) menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) melaksanakan penyuluh an keamanan produk ternak, (7) menjalin kerja sama internasional di bidang: penelitian dan pengembangan teknologi pasca panen, perdagangan, teknologi distribusi, teknologi pengelolaan cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah produk ternak.
c.  Penelitian dan Pengembangan
       Permasalahan pascapanen hasil pertanian, khususnya produk ternak sangat komplek, baik dari segi mutu, keamanan pangan, kehalalan serta aspek lainnya sehingga diperlukan penelitian dan pengembangan secara terus menerus. Aspek penelitian dan pengembangan hendaknya dilakukan terhadap proses teknologi pascapanen (penanganan, pengolahan, pengemasan, pendinginan hingga pemasaran) serta penerapan HACCP.
       Beberapa peran pemerintah dalam pengembangan HACCP, adalah (1) aktif dalam pengembangan prinsip-prinsip HACCP baik nasional maupun internasional, (2) mendorong penerapan HACCP pada pelaku produsen pangan, (3) mendorong tumbuhnya kelembagaan pengawasan dan sertifikasi yang kredibel dan terakreditasi, (4) verifikasi HACCP pada industri pangan bila di perlukan, (5) melakukan program Risk Analysis, (6) melakukan penelitian dan pengembangan tentang prinsip-prinsip HACCP, (7) harmonisasi sistem HACCP di Indonesia dengan negara-negara mitrabisnis.
d. Diseminasi dan Promosi
       Inovasi Teknologi pascapanen dan penerapan HACCP pada produksi karkas ayam yang didukung peraturan perundangan belum sepenuhnya efektif dan dimanfaatkan oleh pengguna, sehingga perlu didiseminasikan melalui media dan cara. Dalam hal ini BPTP punya peran strategis dalam mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dari Balai Besar Litbang Pasca panen Pertanian.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
      Beberapa kesimpulan dan implikasinya terhadap pengembangan dan penerapan Inovasi Teknologi Pascapanen dan HACCP dalam peningkatan mutu dan keamanan karkas ayam  adalah sebagai berikut:
1.    Sebagian besar karkas ayam berasal dari peternakan rakyat, dimana proses  penyembelihan ayam masih dilakukan secara tradisional sehingga menghasilkan karkas yang mutunya rendah, dan banyak dijumpai karkas ayam yang belum sesuai dengan SNI.
2.    RPA tradisional tidak memiliki izin operasional, tidak sesuai dengan RUTR, menimbulkan polusi, aktivitas pemotongan tidak terkontrol dari aspek kesmavet, tidak melakukan labelisasi, karkas tidak dikemas, dan sebagian besar tidak melakukan penyimpanan dingin.
3.    Akibat kondisi sanitasi RPA yang kurang memenuhi syarat, kandungan bakteri/gram daging melebihi batas ambang yang dipersyaratkan. Rendahnya mutu pada karkas ayam akibat dari kontaminasi kimia, fisika dan mikrobiologis yang menyebabkan berdampak merugikan kesehatan pada manusia serta peluang pasarnya rendah.
4.    Peningkatan mutu pada karkas ayam harus menghasilkan karkas ASUH, yaitu Aman, Sehat, Utuh dan Halal.
5.    Teknik penyembelihan ayam yang baik yaitu dimasukkan kedalam corong, memotong arteri karotis, vena jugularis dan oesofagus, pencabutan bulu dengan cara perendaman ayam terlebih dulu dalam air panas pada temperatur 50-54oC selama 30-45 detik, untuk ayam muda, temperatur 55-58oC selama 45-90 detik, untuk ayam tua. Pencucian karkas ayam dengan menggunakan air suhu 5-10oC dengan kadar klorin 0,5-1 ppm. Suhu karkas ayam sebelum dikemas maksimal 7 - 10oC,  dengan bahan pengemas plastik yang tidak toksik, tidak bereaksi dengan produk serta mampu mencegah terjadinya kontaminasi pada produk.
      Teknik pendinginan karkas ayam menggunakan air  temperatur maksimal 4 - 5oC dengan waktu pendinginan yang dibutuhkan 15-20 menit  dan dalam waktu tidak lebih dari 8 jam setelah penyembelihan. Teknik penyimpanan karkas ayam menggunakan suhu ruangan (-4)oC sampai 0oC.
      Dalam pengangkutan karkas ayam, kondisi karkas harus ASUH, alat transpotasi yang digunakan harus tertutup (berupa boks) dan temperatur ruangan harus (-4o ) - 0 oC.
Dalam pelaksanaan kebijakan dan program maka berimplikasi terhadap:
   1. Harus kuatnya sistem pengendalian yang intensif   sejak pra-produksi hingga pemasaran, melalui pengamatan (surveilance), pemantauan (monitoring)  dan pemeriksaan (inspection) terhadap setiap mata rantai pengadaan karkas  ayam.
2.    Diperlukannya infrastruktur yang mantap, antara lain 
     melalui perbaikan perangkat keras (misal program renovasi RPA), akreditasi dan sertifikasi halal RPA sekaligus pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV).-
3.    Diperlukan penerapan perangkat pendukung berupa: SK Menteri Pertanian, tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil ikutannya, SK Dirjen Peternakan, tentang Petunjuk Teknis Pemberian NKV pada RPA dan tempat pemrosesan daging serta hasil ikutannya serta Pedoman Penyembelihan Ayam Halal pada RPA dan Tata cara Sertifikasinya.
DAFTAR  PUSTAKA
Abubakar, C.H. Sirait,  dan N. Cahyadi. 1991a. Kondisi rumah potong ayam di P.Jawa. Pros Sem Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Purwokerto, 4 Mei. Fapet Universitas Jenderal Soedirman.
Abubakar, Triyantini dan H. Setiyanto. 1991b. Kualitas fisik karkas ayam broiler (Studi kasus di empat ibukota Propinsi P. Jawa). Pros Sem Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Purwokerto,  4 Mei. Fapet Universitas Jenderal Soedirman.
Abubakar, 1992. Grading karkas ayam broiler. Pros Sem Nas ISPI Cabang Bogor. Bogor, 26-27 Januari. Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia (ISPI) Cabang Bogor.
Abubakar, C.H. Sirait, Triyantini, H. Setiyanto dan T. Murdiati. 1992.  Penelitian Residu Pestisida Antibiotika dan Standarisasi Kualitas Karkas Broiler untuk Ekspor : Laporan Penelitian. Puslitbang Peternakan.
Abubakar, C.H. Sirait, dan N. Cahyadi. 1994. Standarisasi karkas broiler (Studi kasus di Medan, Lampung dan Denpasar). Pros Sem Nas Peng olahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan. Semarang, 8-9 Februari. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, Semarang.
Abubakar dan Wahyudi. 1994. Pengaruh pemotongan sebelum atau sesudah rigor mortis terhadap penampakan karkas broiler. Pros Sem Nas Sains dan Teknologi Peternakan. Bogor, 25-26 Januari Balai Penelitian Ternak.
Abubakar, Triyantini, dan H. Setiyanto. 1995. Pengaruh suhu dan jenis kemasan plastik terhadap mutu karkas ayam selama penyimpanan.  Pros Sem Nas Pet dan Vet. Bogor, 7-8 Nopember.  Puslitbang Peternakan.
Abubakar, H. Setiyanto, Triyantini dan R. Sunarlim. 1998. Teknologi pascapanen untuk meningkatkan nilai tambah hasil ternak dalam usaha merangsang pertumbuhan agroindustri. Pros Sem Nas Pet dan Vet. Bogor, 1-2 Desember. Puslitbang Peternakan.
Abubakar, Triyantini, H. Setiyanto, Supriyati, Sugiarto dan M.Wahyudi. 2000. Survey Potensi Ketersediaan Bulu Ayam, Cara Pengolahan dan Pemotongan Ternak Ayam di RPA: Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak.
Abubakar. 2003. Mutu karkas ayam hasil pemotongan tradisional dan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point.  Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 22(1):22-25.
Abubakar dan D.C. Budinuryanto. 2003. Kinerja sistem keamanan, Karakteristik aktivitas pemotongan dan penanganan karkas ayam di RPA tradisional, kaitannya dengan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Pros Sem Nas Tek Pet dan Vet. Bogor, 29-30 September. Puslitbang Peternakan.
Abubakar dan Triyantini. 2005. Penerapan teknologi pascapanen untuk meningkatkan nilai tambah hasil ternak mendukung pengembangan usaha ternak di lahan kering. Pros Sem Nas Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Yogyakarta, 2 Juni. Kerjasama Fapet UGM dan Puslitbang Peternakan.
Abubakar. 2005. Keamanan pangan daging ayam akibat flu burung (Avian Influenza). Pros Sem Nas Teknologi Inovatif Pascapanen untuk pengembangan industri berbasis pertanian. Bogor, 7-8 September. BB Pascapanen Pertanian.
Abubakar dan Widaningrum. 2006. Penetapan CCP (Critical Control Point) proses pemotongan ayam di RPA tradisional untuk meningkatkan mutu dan keamanan pangan karkas ayam. Pros Sem Nas PATPI. Yogyakarta, 2-3 Agustus. Kerjasama PATPI dengan Jur. TPHP-UGM, Pusat Studi Pangan dan Gizi-UGM.
Abubakar. 2006. Mutu dan keamanan pangan produk dan olahan hasil ternak unggas. Pros Sem Nas PATPI. Yogyakarta, 2-3 Agustus. Kerjasama PATPI dengan Jur. TPHP-UGM, Pusat Studi Pangan dan Gizi-UGM.
Abubakar. 2007. Karakteristik fisik, kimiawi dan mikro biologis karkas  ayam terindikasi dari ayam tiren. Pros Sem Nas PATPI.  Bandung, 17-18 Juli. Kerjasama PATPI dengan Jur.TIP-UNPAD,TP Pasundan dan STIPER Jabar.
American Meat Institut Foundation.1994. HACCP: The Hazard Analysis Critical Control Point in the Meat and Poultry Product. HACCP Manual. Washington, DC.
American Meat Institut Foundation.1996. Generic HACCP Model for poultry slaughter. HACCP Manual. Washington, DC.
Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI)19-9001-2001. Sistem Manajemen Mutu Persyaratan. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2002. Pedoman 1004-2002 Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP). Jakarta.
Bauman, H.E. 1990. HACCP: Concept, development and aplication. J.Food Technology. 44(5) 156-158
Blank and Greg. 1995. Microbiological and Hydraulic Evaluation of Immersion Chilling for Poultry. J.Food Protection.58: 1380-1385
Carpenter and Sandra.1989.Factors affecting the persistence of Salmonella during the Processing of Poultry. J.Food Protection. 52:829-832
Cunningham, F.E and N.A. Cox. 1987. The Microbiology of Poultry Meat Product. Academic Press Inc, San Diego. New York.
Ensminger, 1998. Poultry Science. The Interstate Printer and Publisher Inc, Denvile.
Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge, and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H.Freeman and Co., San Fransisco.
Franco, C.M. 1995. Determination of the Principal Sources of Listeria spp. Contamination in Poultry Meat and Poultry Processing Plant. J.Food Protection.58:1320-1325
International Commission on Microbiological Specification for Foods.1988. HACCP in Microbiological Safety and Quality. Blackwell Scientific Publications. New York. NY.
Juran, J.M. 1988. Quality Control Handbook. 4th ed. McGraw-Hill,  New York, NY.
Kotula and Kathryn. 1995. Bacterial Contamination of Broiler Chickens before Scalding. J.Food Protection. 58: 1386-1388
Moye, C.J. 1991. Poultry Processing, An Innovative technology for Salmonella control and shelf life extension. J.Food Aust. 43:246-249
Notermans, S. 1994. The HACCP Concept:Identification of potentially hazardous microorganisms. J.Food Microbiol. 11: 230-214
NFPA. 1993. Implementation of HACCP in a food processsing plant. Microbiology and Food Safety Committee of National Food Processors Assosiation. Washington DC. J. Food Protection. 56(6):548-554
Poultry Indonesia.1995. Laporan Utama. Juli no. 197. Margie  Group,Jakarta.
Poultry Indonesia. 2005. Laporan Utama. Oktober no.306. Margie Group, Jakarta.
Poultry  Indonesia. 2008. Menciptakan Rumah Potong Unggas Hiegienis. Margie Group, Jakarta.
Pearson and Dutson. 1995. HACCP in Meat, Poultry and Fish Processing. Blakie Academic & Professional, Glasgow.
Raj Mohan.1995. Poultry Slaughter. Meat Focus International. Marck 1995:113-118
Renwick and A.Shane. 1993. Variability an Determination of Carcass Bacterial Load at a Poultry Abbatoir. J.Food Protection. 56:694-699
Russell, S.M. 1996. Spoilage Bacteria of Fresh Broiler Chicken Carcass. J.Poultry Sci. 75:2041-2047
Syamsul. 2007. Komunikasi langsung tentang proses pemotongan ayam di RPA, kendala dan permasalahannya. RPA Cipaku, Bogor 18 Desember.
Soekarto, S.T. 2007. Komunikasi langsung tentang proses pemotongan ayam yang benar. Fateta IPB, 24 April.
Stevenson and Bernard. 1995. HACCP Establishing Hazard Analysis Critical Control Point Program, A Workshop Manual. The Food Processors Institute, Washington, DC.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. PO Box 14 Bulaksumur, Yogyakarta.
Suratmono, 2005. Keamanan pangan produk olahan berbasis produk ternak. Pros Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor, 14 September. Puslitbang Peternakan.
The National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods. 1992. Hazard Analysis and Critical Control Point System. Int’l J. Microbiol 16 (1) :1-23.
Triyantini, Abubakar, R. Sunarlim dan H. Setiyanto. 2000. Mutu karkas ayam hasil pemotongan berbeda. Pros Sem Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September. Puslitbang Peternakan Bogor.
Tompkin, R.B. 1990. The Use of HACCP in the production of meat and poultry product. J.Food Protect.53(9):795-803
Tompkin, R.B. 1995. The Use of HACCP for Producing and Distibuting Processed Meat and Poultry Products. HACCP in Meat, Poultry and Seafoods. Chapman & Hall. In
United States Department of Agriculture. 1997. Standar for Quality and Grades. Poultry Grading and Inspection Agricultural Marketing. Definition and  Illustration  of US.
Waldroup, A.L.1993. Summary of Work to Control pathogens in Poultry Processing. J.Poultry Sci.72:1177-1179
Winarno, F.G dan Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan.  Cetakan 2, M-BRIO PRESS. Bogor.
Wiradarya, T.R. 2005. Keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek pascapanen: permasalahan dan solusi. Pros Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor, 14 September. Puslitbang Peternakan.
Zweigert, P. 1991. Meat Science and Technology. The Science of Meat and Meat Product. WH. Freeman  Co, San Francisco.